Tuesday, December 2, 2008

(2) Pakdhe Dewanto - Cerita dari masa silam


"Ah Rosa". Pikiran Bram melayang. Wajah teman barunya begitu lekat dalam sanubari yang paling dalam. Bertemu tak terduga. Seperti mimpi, begitu indah. Sulit dipercaya. Tak kuasa melepaskan dia dari ingatan. Hatinya berdesir melambung. Terasa kebahagiaan luar biasa. Tak kuasa dia mengingat saat Rosa menggeliat kejang dalam rangkulannya tadi. Tak hanya wanita yang menyerah karena rasa nikmat birahi. Pria seperti Bram pun merasa begitu dalam keterikatannya melihat Rosa mencapai puncak nikmat karena dirinya. Orang selalu berpikir salah seolah laki2 hanya cari kepuasan dari wanita satu ke yang lain. Bram merasa tak bisa lepas dari Rosa karena peristiwa sesaat dalam bis tadi.

Dia masih menunggu sampai matahari meninggi. Tak enak langsung datang ke rumah pak dhenya jika penghuni rumah masih tidur. Menunggu sambil melanglang lamunan mencari wanita yang baru dikenalnya. Baru kali ini dia mempunyai perasaan aneh seperti itu. Luar biasa. Naik opelet ke jurusan Dago arah utara. Jam setengah tujuh, dia sudah mengetuk pintu kediaman pak dhe Dewanto. Di daerah Dago atas. Hawa sejuk menerpa. Rasa lelah kurang tidur tesaput rasa aneh yang menghinggapi dirinya.

" Welcome young man. Selamat datang di Bandung. Naik kereta atau bis malam?" Pakdhenya punya kebiasaan memanggil dirinya dengan anak muda. Sejak dulu sewaktu dia masih kanak kanak. Selalu dicampur bahasa Inggris. Mungkin karena mantan diplomat. Generasi awal republik. Lain dengan para mantan pegawai pemerintah Hindia Belanda yang selalu pakai bahasa Belanda, campur campur.

"Naik bis malam pakdhe. Sungkem dari romo ibu untuk pakdhe berdua".
Bram selalu berbicara dalam bahasa Jawa halus dengan pakdhenya. Suatu kebiasaan dan disiplin keluarga yang tertanam sejak lama. "Istirahat dulu Bram. Lama kan di Bandung? Budhe Larasati selalu menyambutnya ramah. Tak lupa dia mencium tangan pasangan yang sangat dihormatinya itu."Silahkan di kamar tamu depan. Kedua kakakmu, Rio sama Mia masih di Jakarta". Ryanto, panggilannya Rio adalah putra pakdhe Dewanto yang pertama. Dia seorang pilot. "Terima kasih Bu Dhe, saya akan mandi dulu".

Rumah pakdhe Dewanto berhalaman luas. Di daerah perbukitan. Pohon pohon cemara nampak indah menghiasi halaman di bawah sana. Sementara berbagai tanaman bunga menghiasi tepian jalan jalan kecil di halaman. Bram ingat benar dia selalu bermain dengan sepupunya Rio di halaman itu sewaktu masih kanak kanak dulu. Pakdhe Dewanto berputra dua orang, Ryanto sama Mia. Mia seumur dengan Bram. Dia lulusan perguruan tinggi di Budapest. Sekarang bekerja di salah satu bank swasta. Juga di Jakarta. Selesai mandi Bram bergegas ke ruang belakang. Bergabung dengan pakdhe Dewanto dan budhe Larasati di meja makan.

"Ada acara khusus di Bandung Bram?"pakdhenya cepat bertanya.
"Hanya pengin bertemu sama pakdhe berdua. Sekalian pengin nasehat untuk karier masa depan".
" Omong omong sudah punya calon belum ? Kata ibumu kau sudah punya sir-siran. Calon dokter ya? Budhe Larasati memberondong pertanyaan beruntun.
"Wah belum punya Budhe. Hanya sekedar teman dekat saja di Bandung sini" Bram berkata sekenanya. Ingatannya melayang ke Rosa. Tak sengaja.
"Jaman saya muda dulu, kalau ada pemuda seumurmu belum punya minat sama perempuan, biasanya lantas disuruh minum jamu. STMJ. Susu telur madu sama jahe".

Sialan pikir Bram, dipikir saya ini sapi. Dia ingat cerita pakdhenya dulu, kalau eyangnya punya peternakan sapi. Sapi pejantan selalu dikasih jamu susu madu telur jahe. Supaya birahi dan kuat kawin. Orang kampung sekitar biasanya akan mengawinkan sapi betinanya dengan pejantan bagus kepunyaan Eyangnya. Mereka harus bayar. Untung pemilik sapi pejantan karena akan terima bayaran jika ada orang yang ingin mengawinkan sapi betinanya. Sapi pejantan juga ikut untung, dapat jamu STMJ. Pria yang mengharapkan bayaran saat kawin atau mengawini wanita, hampir menyerupai sapi jantan. Atau akan menjelma menjadi sapi jika meninggal nanti.

"Bapak ibumu sudah tahu kalau kamu punya teman wanita di sini ? Pertanyaan menyelidik dari budhe. "Jangan membuat kejutan untuk orang tua dalam memilih jodoh. Ada pakem dan ada adatnya sendiri"

"Jangan pikirkan Bram. Jika kamu sudah seneng mantep ya, orang tua bisa apa? Jaman sudah banyak berubah. "

Pakdhe Dewanto berpikiran luas. Tak begitu peduli dengan adat istiadat Jawa yang ketat. Dia sering bercerita tentang masa mudanya. Beberapa kali Bram mendengar cerita yang hampir sama. Pemuda Dewanto dulunya suka mendekati gadis gadis pingitan di jeron beteng. Tak biasa di jaman itu pemuda main ke tempat gadis yang sudah menginjak dewasa. Tetapi pemuda Dewanto nggak peduli. Di mana ada putri yang cantik, dia coba berkenalan dan berkunjung ke rumah sang gadis. Siapa tahu ada wahyu dewata dan ada yang cocok. Dia selalu pakai sepeda merk BSA. Sepeda torpedo tanpa lampu.

Suatu sore di tahun lima puluh, Dewanto bertandang ke rumah seorang gadis kenalan barunya di daerah Ngabean. Dia duduk di bangku SMA kelas akhir waktu itu. Di SMA Padmanaba. Seperti biasanya dia naik sepeda kebanggaannya. Pamit sama ibunya ya Eyang putrinya Bram, katanya mau tentir untuk ujian akhir. Nggak tahunya hanya menuju rumah kenalan barunya Lena. Baru dikenal sehari sebelumnya dalam acara antar sekolah.

Lewat jam enam sore, dia masih asyik ngobrol di kursi panjang di samping rumah. Rumah kebetulan sepi. Bapak Ibu Lena baru bepergian. Nggak tahu kemana. Bukan urusannya mau tahu kemana orang tua Lena pergi. Urusan saya hanya bertamu mengunjungi Lena. Sementara sepedanya terkunci di samping rumah. Situasi memang aman. Nggak ada orang lewat. Nggak ada anak kecil bermain di halaman. Nggak ada pemuda kampung yang ronda malam. Masih terlalu dini untuk ronda. Mereka berdua asyik duduk bersama di kursi panjang di bawah pohon mangga. Pembicaraan biasa biasa saja. Tak menyangkut hal hal yang menjurus ke masalah asmara. Tak lajim di jaman itu muda mudi bicara hal hal yang agak menjurus ke birahi. Paling paling cerita tentang buku yang baru saja dibaca. Mana tentang Siti Nurbaya, mana tentang Atheis, tentang Aku Ini Binatang Jalang, tentang karangan St Takdir Alisyahbana. Pemuda Dewanto secara basa basi melayani pembicaraan Lena. Tak berkonsentrasi benar. Dia senang buku buku terjemahan dari penulis penulis Eropa. Baru saja menyelesaikan bacaan terjemahkan karya Boris Pasternak.

Jam setengah delapan pas asyik asyiknya bercerita, tiba tiba ada andhong berhenti di halaman depan. Kedua orang tua Lena datang naik andhong. Bapaknya seorang petinggi di Kepatihan, KRT Tantoro. Suaranya parau dan berat berwibawa. "Lena, kok lampu pendhopo masih gelap". Tak merasa berbuat kesalahan apa apa. Tetapi pemudha Dewanto, begitu ciut nyalinya mendengar suara menggelegar itu. Ini bukan main main. Baru kali ini dia mendengar suara demikian berat. Dia mencoba menenangkan diri. Mencoba mengingat kakek moyangnya Ki Ageng Singayuda, yang gagah berani melawan tentara Belanda di jaman perang Diponegoro. Legenda dan kebanggaan keluarga. Mengingat kakek moyangnya untuk sekedar mengembalikan rasa percaya diri. Tak juga membantu. Kakinya gemetaran. Hatinya berdebar keras, sementara Lena menyambut ayah ibunya ke ruang depan. Dia mencoba mengingat cerita tentang kakek moyangnya yang selalu gagah naik kuda hitam mulus Pasopati. Konon ketika terjepit sewaktu disergap pasukan Belanda di utara Sleman, Ki Singayuda berhasil lolos meloncat ke punggung kuda kesayangannya. Dan sempat melempar tombak ke komandan Kumpeni yang menyergapnya.

"Sampeyan siapa nakmas? Kok sampai malam begini sama Lena" Belum sempat dia memperkenalkan diri dia sudah dicerca dengan pertanyaan yang menusuk dan meluluh lantakkan keberaniannya sebagai keturunan Ki Ageng Singayuda. Sementara Lena berdiri gemetar ketakutan melihat ayahandanya begitu marah. "Pemuda masa kini harus tanggung jawab ys mas. Jangan sembrono ndekem di tempat gadis saja". Edan gelagat semakin buruk. Suara Kanjeng Raden Tumenggung Tantoro semakin menggelegar, hampir membentak. Sementara pemuda Dewanto sudah habis kehilangan nyali. Ketika dia melihat KRT Tantoro mulai meraba raba pinggangnya dia berpikir, orang ini bisa bunuh saya. Mungkin ada keris atau pistol di pinggangnya. Kainnya sudah disingkap ke atas. Nampak celana komprang warna hitam sepanjang bawah lutut. Lebih baik mundur. Menurut kepercayaan jika seorang manggala yuda sudah menyingkapkan kain sampai kelihatan celana komprangnya, pasti dia siap bertempur dan siap membunuh.

Untung suasana di bawah pohon mangga itu remang remang. Wajahnya yang pucat pasi tak nampak. Dia bergeser pelan kesamping menghampiri sepedanya. Dia ingat cerita moyangnya Ki Ageng Singayuda yang loncat ke atas kuda Pasopati, yang meloloskannya dari kepungan Belanda. Pemuda Dewanto secara instink loncat ke atas sepeda torpedonya. Sial baginya. Sepeda itu terkunci. Dia jatuh terjerembab bersama sepeda kesayangannya di halaman yang berpasir. Dia langsung bangun. Tak ada nyali seperti kakek moyangnya Ki Ageng Singayuda melempar tombak ke komandan Kompeni. Tetapi karena begitu grogi dia angkat sepeda itu dan dia bawa lari keluar halaman. Nyalinya baru kembali sesudah keluar pintu halaman. Di jalan raya Ngabean dia merasa merebut lagi sifat pemberaninya. Dia letakkan pelan pelan itu sepeda. Dia cari kunci yang ada di kantong celananya. Dia naiki sepedanya kembali. Dengan tenang pulang ke rumahnya di Pugeran. Pikirnya, tak layak turunan Ki Ageng Singayuda kok terbirit lari karena gertakan seorang Tumenggung yang pakai kathok kolor. "Belum tahu siapa saya"

Bramantyo selalu ketawa mendengar kisah seru itu. Budhenya hanya tersenyum mendengar cerita konyol yang sudah berkali kali dikisahkan itu. Dia juga tak pernah ingin tahu siapa itu Lena, sang gadis anak Tumenggung. Cerita masa silam, puluhan tahun berlalu.

2 comments:

  1. terus menyimak ki.......terimakasih sudah dapat bacaan asik, seru dan gratis lagi.......

    ReplyDelete
  2. Pak Djoko,
    Terima kasih sempat membacanya. Moga moga bisa sempat neruskan seminggu sekali. Salam hangat

    ReplyDelete