Sunday, December 6, 2009

(20) Pintu masa depan

Esok harinya jam delapan tepat Bram sudah sampai di Pejambon, kantor Departemen Luar Negeri. Pagi yang cerah. Langit membiru tanpa awan. Tak tertutup kabut asap. Dia langsung menuju ke Biro Personalia. Masih sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang sudah datang. Sebagian mungkin masih terjebak kemacetan di jalan. Lalu lintas Jakarta memang tak pernah ramah. Selalu menjadi penghambat bagi mereka yang setiap pagi harus berangkat kerja. Sebagian mungkin memang terbiasa datang terlambat. Toh tak ada sangsi jika terlambat. Juga tak ada penghargaan jika rajin datang pagi. Mau rajin atau mau malas tak memberikan banyak perbedaan. Semua bersatu dalam dinamika birokrasi kepegawaian yang rumit. Hanya sikap dan etos kerja yang membedakan perilaku kerja masing masing. Bukan karena sistem. Tak ada habisnya menggerutu jika memikirkan dinamika kepegawaian di tanah air. Seperti lingkaran setan.

Bram duduk di ruang tunggu. Rosa tak ikut pagi itu. Ada urusan ke Pasar Rumput, menemui pelanggan pelanggannya. Mereka janji akan bertemu siang nanti di penginapan. Bram termenung diam. Badannya terasa segar, tak seperti kemarin letih kurang tidur. Semalam tidur enak. Mimpi indah bersama Rosa. Semuanya memang hanya terasa indah dan nikmat saat berkasih dengan orang yang dicintai. Semua beban dan rasa sesal hanya datang kemudian. Tetapi dia tak pernah menyesal. Dia melakukan dengan penuh kesadaran dan penuh cinta. Dia mencintai Rosa, wanita yang dikenalnya beberapa bulan lalu. Mencintainya dengan sepenuh hati. Hanya bagaimana memberitahu orang tuanya, itu saja yang masih menghantui pikirannya. Tiba tiba seorang pegawai berseragam datang mendekat. Bram sedikit kaget. Pasti ini petugas yang menguurusi berkas berkas lamaran, pikirnya. Ternyata salah.
"Bung punya korek? Boleh minta apinya?" Petugas itu bertanya sambil lalu. Ternyata dia hanya butuh pinjam korek api untuk merokok.
" Maaf saya tidak merokok" Bram menjawabnya singkat. "Apakah Bapak Kepala sudah datang?"
"Apakah ada janji sama Bapak? Ada keperluan khusus?"
" Saya diminta menemui beliau. Ada surat dari pak Rinto".
" O begitu. Pak Rinto pejabat eselon satu di depan ya?"
" Kemarin saya menghadap beliau. Lalu saya dianjurkan ke sini menghadap Kepala Biro".

Ada perubahan sikap dari petugas itu ketika Bram mengatakan bahwa dia membawa surat dari pak Rinto. Jam sembilan tepat dia dipersilahkan masuk. Menghadap Drs.Parmono MA, Kepala Biro Kepegawaian. Orangnya nampak berwibawa. Berwajah ramah dan pembawaan tenang. Bram menyampaikan surat dari pak Rinto. Langsung dibuka dan dibaca.
"Anda fresh graduate ya? Punya pengalaman kerja?"
" Baru saja lulus pak. Belum pernah bekerja kecuali di organisasi mahasiswa".
" Apakah berkas lamaran sudah dilengkapi?"
" Sudah, semuanya lengkap pak".
"Bagus. Nanti selesaikan prosedur lamaran dan tunggu panggilan sewaktu waktu".
" Apakah prosesnya panjang pak ?"
" Ada beberapa ujian yang harus dilalui. Tak usah takut. Anda pasti bisa melaluinya. Jangan sampai lupa baca materi Wawasan Nusantara dan Panca Sila".
" Terima kasih pak. Kapan ujiannya?".
" Lupa kapan persisnya, nanti bisa ditanyakan di administrasi. Mungkin beberapa minggu lagi. Yang penting semua prosedur dan persyaratan harus dipenuhi".
" Begitu pak.Terima kasih nasehatnya"
Bram sebentar kemudian minta diri dan menyelesaikan proses lamaran di bagian administrasi.Tak terlalu lama. Pegawai yang menerima tak banyak bertanya. Bram diminta mengisi beberapa formulir.
" Nanti tunggu panggilan untuk test . Mungkin tiga minggu lagi"
"Terima kasih Bu".
Bram meninggalkan kantor Biro Kepegawaian dengan perasaan tenang. Tak ada beban lagi. Berkas lamaran sudah masuk. Tinggal menunggu proses lebih lanjut, test. Moga moga semua berjalan lancar sampai selesai. Ini adalah langkah pertama ke pintu masuk perjalanan kariernya. Dia buru buru kembali ke penginapan di kompleks TIM. Rosa belum datang. Bram tiduran sambil baca majalah. Jam setengah dua belas siang. Dia pikir sebentar lagi Rosa pasti datang. Dia menunggu untuk makan siang. Bram ketiduran ketika ada ketukan di pintu. Jam setengah satu. Rosa berdiri di muka pintu. Wajahnya memerah kepanasan. Tetapi matanya berbinar begitu melihat Bram membukakan pintu.

" Sudah lama?. Saya cepat cepat menyelesaikan urusan. Takut mas Bram menunggu terlalu lama"
" Sejam yang lalu. Tak terasa tertidur".
Bram menjawab pelan sambil menggamit tangan Rosa. Tangan yang halus. Wajah yang lembut. Hatinya berdesir keras. Pikirannya melayang, ingin menemani dan melindungi wanita cantik yang lembut ini selamanya.
" Jangan melamun mas. Kita makan siang dulu. Saya cuci tangan dan membersihkan muka dulu".
" Habis makan siang nanti rencana kita kemana Rosa?"
" Apakah urusan lamaran telah selesai?"
" Semua berkas dan persyaratan sudah saya serahkan. Tinggal tunggu panggilan test beberapa minggu lagi".
" Jika urusan selesai, apa kita terus ke Bandung sore nanti ? Nanti malam nginap di Bandung".

Bram terdiam. Pikirannya semula dia akan terus pulang ke Yogya tanpa lewat Bandung. Tetapi dia sadar datang ke Jakarta bersama Rosa. Dia harus menemaninya pulang ke Bandung dulu. Tak mungkin dia biarkan Rosa sendirian ke Bandung, walau sudah terbiasa pulang pergi Jakarta Bandung.
" Tetapi saya belum bilang kalau mau nginap di Bandung sama Budhe atau Pakdhe".
" Tak apalah. Nginap di tempat saya. Ada kamar tamu yang selalu kosong. Nanti saya bilang mama sama papa".
Bram terdiam sesaat. Tak pernah terencanakan sebelumnya akan menginap di rumah Rosa. Ini terlalu cepat di luar rencana.
" Iya lah. Besok pagi saya ke Yogya dengan kereta. Jam tujuh ada kereta ke Yogya."
" Ambil kereta sore saja mas jika tak tergesa gesa. Kita bisa lihat lihat Bandung dulu".
" Saya pikir dulu dan kita putuskan setelah sampai di Bandung nanti. Jam berapa berangkat ke Bandung?".
" Kita naik suburban saja nanti. Paling tidak berangkat setiap jam. Mungkin kita bisa ikut berangkat jam tiga".

Kantin tak terlalu ramai siang itu. Mungkin tak ada rombongan dari daerah. Hanya tamu perseorangan. Mereka menikmati makan siang bersama. Sayur asam Jakarta dan daging sapi empal. Kegemaran Bram.
" Gimana urusanmu Rosa?"
" Lumayan bagus banyak pesanan baru masuk. Harus meningkatkan jumlah produksi".
" Tak bisa setengah setengah. Lakukanlah sepenuhnya. Jangan hanya sebagai sambilan mengisi waktu luang".
" Iya pikiran saya memang akan saya kembangkan. Cuma saya sendirian. Iwan mengurus pabrik sama mama".
" Pasti ada saja jalan jika kita berusaha serius. Sayang saya tak bisa membantu. Bukan bidang saya"
" Tak apa apa. Tak perlu dipikirkan. Kita punya jalan dan karier berbeda. Asal saling mengerti dan mendukung".

Selesai makan mereka berkemas kemas. Tak terlalu lama oleh karena memang tak banyak bawaan. Masing masing hanya bawa satu travelling bag. Ketika menyelesaikan pembayaran di kasir depan, seorang pegawai wanita menyapa Rosa.
" Cik tas tangannya ketinggalan di kantin tadi"
" Terima kasih sekali. Malah nggak sadar saya kalau ketinggalan tas".
" Kok keburu buru sih tacik?".
" Urusan sudah selesai, kami terus pulang Bandung".
" Anda berdua pengantin baru? Kelihatan masih muda sekali anda berdua".
Bram terkejut mendengar pertanyaan sambil lalu itu. Dia menjawab pelan sekenanya.
" Iya, kami tinggal di Bandung".
"Mas Bram asli Yogya. Saya asli Bandung" Rosa menimpali.

Jam tiga kurang seperempat mereka sudah sampai di tempat pemberangkatan taksi suburban di daerah Senen. Masih ada tempat, tetapi pemberangkatan kemudian baru jam setengah empat nanti. Perjalanan Jakarta Bandung lancar tanpa hambatan. Bukan seperti perjalanan di akhir pekan. Hawa mulai terasa dingin setelah melewati Bogor. Rosa bersandar ke bahu Bram sepanjang perjalanan. Sementara lengan Bram memeluk tubuh Rosa. Tak banyak bicara. Kecuali kadang kadang penumpang di samping sopir bertanya tentang temat tempat yang dilewati. Mungkin belum pernah menempun jalur itu. Suatu saat dia bertanya ke arah Bram.
" Dik sampeyan asli Jakarta?"
" Bukan. Saya dari Yogya. Ini akan ke Bandung dulu".
" Apakah anda berdua pengantin baru?"
" Belum lagi. Mungkin sebentar lagi. Nama saya Bram. Ini tunangan saya Rosa, tinggal di Bandung. Bapak tinggal di mana?".
" Saya dari Medan. Mau lihat anak saya mondok di Bandung. Dia kuliah di UNPAD".
" Di jurusan apa pak di UNPAD?".
" Ambil pertanian. Baru tahun ketiga. Agak khawatir saya, dia aktif di organisasi mahasiswa". Tanpa diminta orang itu bercerita terus tentang anaknya.
" Mengapa pak? Asalkan kuliahnya lancar lancar saja kan nggak apa apa".
" Maunya begitu. Tetapi saya sama ibunya sering khawatir kalau terjadi apa apa. Kondisi tak menentu. Protes sedikit disekap dan dipukuli tentara".

Bram ingat bapak dan ibunya yang selalu merasa khawatir setiap ada demo mahasiswa di kampus. Tak jarang memang banyak aktivis yang keluar masuk markas KOREM dan dipermak habis habisan.
" Jangan terlalu khawatir Bapak. Keadaan pasti akan membaik. Sebagai aktivis mahasiswa putra bapak tak bisa diam melihat penyelewengan kekuasaan saat ini. Di mana mana".
" Kami sebagai orang tua tak mungkin tak memikirkannya, apalagi jika menyangkut keselamatan anak. Siapa yang mau disalahkan jika sampai jadi korban seperti mahasiswa ITB tempo hari?".
" Bapak dinasnya di mana ? Bram mencoba mengalihkan pokok pembicaraan.
" Saya pengusaha perkebunan. Teutama kopi dan kelapa sawit. Tak luas sekali tetapi cukuplah. Ada di luar kota, satu jam perjalanan dari Medan".
" Sering ke Bandung pak?'.
" Sudah lama sekali tak ke Bandung. Tahun lima puluhan saya kuliah pertanian di Bogor. Begitu selesai terus mulai usaha di Sumatra Utara. Saya memang asli Medan".
Mungkin orang itu seumur bapaknya. Namanya pak Simon. Simon Simamora. Kelihatannya suka cerita. Bram hanya banyak mendengar.
"Anak muda sekarang setiap selesai kuliah rata rata pengin ke Jakarta. Siapa yang mau membangun daerah?".
" Kesempatan mengembangkan karier di daerah terbatas pak. Saya juga baru lulus jurusan sosial politik. Baru saja melamar di Deplu".
" Wah pengin jadi diplomat ya?'
" Moga moga pak. Masih jauh. Karier saya belum jelas mau mulai dari mana".
" Anda sendiri yang memutuskan. Jangan menunggu nasib. Dan jangan hanya membuat satu pilihan. Dulu saya pengin jadi pejabat. Bapak saya dulu residen'.
" Mengapa pindah jalur pak?".
"Saya sempat bekerja di kantor pemerintah propinsi selama tiga tahun. Tak betah saya terus mulai usaha swasta sendiri".
"Bapak saya dinas di pemerintah propinsi DIY pak. Sudah hampir tiga puluh tahun. Sebentar lagi pensiun".
" Hanya orang orang yang sabar dan ulet yang bisa bertahan. Birokrasi pemerintahan sangat rumit".
" Bapak saya juga sering cerita pak. Saya tak pernah tertarik bekerja di kantor pemerintahan daerah. Penginnya kalau bisa pengin dinas di departemen luar negeri. Sokur bisa bertugas di perwakilan RI di luar negri".
" Asal tekun dan sabar pasti ada jalan. Jangan mudah bosan. Moga moga cita cita anda terpenuhi. Bapak ibumu pasti bahagia sekali".
" Terima kasih pak".

Putra pak Simon menyewa rumah di daerah utara Bandung. Saat turun dari mobil, pak Simon agak tertatih. Maklum usia menjelang enampuluh tahun. Bram iba melihatnya. Begitu besar harapannya sebagai bapak terhadap anaknya. Bram ingat Bapaknya. Mungkin dia juga demikian, walau tak banyak diungkapkan.
" Salam untuk putra Bapak. Mungkin satu saat nanti kita ketemu lagi pak Simon"
" Selamat jalan Bram. Semoga tercapai ciita citamu bersama Rosa. Pasangan serasi. Keep that way forever".

Menjelang jam delapan malam mereka sampai di rumah Rosa. Papa mama Rosa agak terkejut melihat Rosa datang bersama Bram.
" Semuanya baik baik Rosa?"
" Baik baik ma. Mas Bram menginap semalam di sini ma. Besok pulang ke yogya naik kereta".
" Silahkan ada kamar tamu didepan".

Bram menyalami papa mama Rosa. Dia menjelaskan kalau perjalanan agak lambat. Berangkat dari Jakarta sebelum pukul empat sore. Bram kemudian mandi setelah menempatkan tasnya di dalam kamar. Sementara Rosa buru buru melihat anaknya Tita yang telah tertidur di kamar pavillion samping rumah. Rosa sejenak memeluk Tita yang tertidur pulas.

" Tadi sebelum tidur menanyakan kapan kau pulang Rosa", Mama memberitahu. "Saya bilang besok pagi".
" Aturan memang baru besok pagi ma. Cuma karena urusan telah selesai maka kami cepat cepat pulang, walau telah sore. Saya beli boneka kecil untuk Tita".
" Dia baik baik saja dua hari ini. Tak rewel sama sekali".
" Biar terbiasa ma. Toh saya tak pernah pergi lama".
" Ajak Bram makan malam dulu".

Habis mandi Bram duduk sebentar omong omong sama papa. Iwan masih belum pulang sejak sore tadi turun ke bawah. Mungkin masih banyak urusan kerjaan. Makin banyak pesanan akhir akhir ini.

" Mas Bram makan malam dulu. Papa sama mama sudah makan sejak tadi. Iwan biar nanti sendirian".
" Bagaimana Tita?"
" Sudah tidur sejak tadi. Kata mama dia menanyakan kapan saya pulang".
" Besok pagi pasti gembira sekali bangun tidur lihat mamanya".
" Barusan saya peluk dan saya ciumi, tak terbangun sama sekali. Pulas sekali tidurnya".
" Silahkan makan malam seadanya Bram. Biar ditemani Rosa. Saya sama papa sudah makan sejak tadi", mama menghampiri.

Papa dan mama kemudian pamit masuk kamar. Mereka selalu tidur awal. Tak biasa tidur larut.Tak banyak yang dibicarakan Bram sama Rosa. Mereka makan dengan tenang. Hati masing masing melayang membayangkan masa masa yang akan datang. Lewat jam sepuluh Bram pamit akan masuk kamar, istirahat. Dia peluk Rosa dengan lembut. " Selamat tidur mas Bram. Mimpi indah"
" Bukan hanya mimpi. Kenyataan yang indah dan membahagiakan. Pengin mengulangi dan melakukan selamanya bersamamu".

Bram tiduran di kamar. Badan terasa letih. Tetapi pikiran melayang kemana mana. Tak bisa memincingkan mata. Selalu mengingat peristiwa semalam. Terbang melayang bersama Rosa. Dalam kenikmatan dan kedamaian yang dalam. Dalam desiran desiran rasa yang aneh. Akhirnya terlena dia bersama impian impian indahnya. Tidur pulas dalam buaian mimpi indah. Ada tangan lembut meraba dan membelai mukanya dengan mesra. Ada irama napas lembut memburu. Ada degub jantung bernada riang terdengar dekat sekali. Ada bau harum semerbak yang dia telah hapal sekali.

Bram menggapai tangan lembut itu. Dia genggam dan dia belai tangan itu. Dia peluk tubuh yang indah itu. Aaah ternyata bukan mimpi semata. Rosa telah tergolek mesra disampingnya. Bram menyambutnya dengan seluruh perasaan. Dengan seluruh jiwa. Suara napas mereka yang tersengal memburu berubah hening. Tak ada napsu yang berkobar membara. Yang ada hanyalah keheningan dan kedamaian yang dalam. Perasaan mereka melayang bersama gerakan gerakan ritmis dua tubuh yang berpadu dalam asmara. Melayang dalam kedamaian dan keheningan yang dalam. Seolah melayang menari bersama di antara bintang. Tarian asmara yang lembut, hening dan membuai. Bram dan Rosa bersatu dalam raga, dalam rasa dan jiwa. Akhirnya mereka terjaga ke dunia nyata. Peluh membasahi tubuh tubuh yang indah. Mereka terlelap tidur dalam kedamaian. Tergolek di atas kain seprei putih dengan renda warna warni. Menjelang pagi Rosa terbangun. Tangis Tita telah membangunkannya.

" Mas Bram saya kembali ya. Tita mencari saya"
" Silahkan, besok masih ada waktu"
" Apakah anda kecewa ?"
" Tak ada kata kecewa. Kita melakukannya dengan sadar. Saya juga tahu segala konsekuenaisnya".
" Terima kasih mas Bram".

Bram bangun agak siang. Jam setengah tujuh baru bangun. Matahari sudah meninggi. Rosa sibuk di pavillion memandikan Tita. Tak ada rencana apa apa hari itu. Hanya pengin bersama Rosa menghabiskan hari. Sore nanti kembali ke Yogya. Bersama Iwan, Rosa dan Tita, Bram ikut melihat tempat pabrik tekstil yang dikelola Iwan dan mama. Juga melihat workshop tempat produksi pakain anak anak yang dikelola Rosa. Tak begitu besar tetapi nampak sibuk. Tak kurang lima belas orang bekerja di sana. Rosa hanya sebentar melihat pesanan pesanan yang sudah jadi. Minta asistennya untuk bersama sama mengecek kembali mutu pakaian jadi sebelum dikirim ke pemesan. Bram terkesan akan kecekatan kakak beradik Rosa dan Iwan. Dalam usia yang begitu muda sudah mengendalikan laju perusahaan. Menjamin kelangsungan pendapatan puluhan karyawan.
Setelah melihat lihat kota sejenak, mereka kembali ke rumah. Makan siang bersama papa dan mama.

Jam setengah lima sore, Bram berangkat ke stasiun kereta. Hanya di antar Rosa. Tak banyak pembicaraan dalam perjalanan. Rosa membisu. Terasa berat melepas Bram. Jangan jangan dia hanya main main. Dan tak akan kembali ke Bandung lagi.
Di stasiun sempat minum kopi di salah satu rumah makan di dalam stasiun. Hanya bicara seadanya.

" Mas Bram jangan menyesal ya mas"
" Tak ada yang perlu disesali. Saya dan kau bersama telah berada di pintu masa depan. Masa depan kita bersama".
" Moga moga semua lancar mas. Kita berdoa bersama".
" Kita tidak akan berpisah lagi Rosa"
" Kapan saya bisa ke Yogya?"
" Berikan saya sedikit waktu"
Bram memeluk Rosa dengan hangat. Dikecupnya kening yang indah itu. Dia cium tangan Rosa sebelum naik kereta. Kereta malam menuju Yogya. Salam damai Rosa. Salam bahagia. Berjalan bersama menuju pintu masa depan.

Monday, November 9, 2009

(19) Perjalanan menembus kabut

Masih terang tanah ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun Bandung. . Belum lewat setengah enam. Kereta Parahiyangan bergerak pelan meninggalkan kota yang baru bangun. Terlambat beberapa menit. Tidak apa, tak ada yang harus dikejar kejar hari ini. Pikir Bram menenangkan diri. Walau hatinya bergejolak keras. Belum pernah seumur hidup dia bepergian berdua dengan seorang wanita. Belum ada janji dan keterikatan. Kenapa terlalu jauh begini? Badannya terasa tak segar. Semalam mata sulit dipincingkan. Jam satu masih terjaga. Bangun jam empat langsung cuci muka dan lari ke stasiun naik taksi. Rosa sudah datang duluan, menunggu di ruang tunggu bersama Iwan. Dia datang diantar Iwan. Bergegas mereka naik ke gerbong. Tak begitu sesak di kelas eksekutif. Pagi yang hening. Bram tertidur dalam goyangan gerbong. Belum sempat ngobrol sama Rosa.

Rosa duduk tenang. Matanya memandang ke luar jendela. Kabut pagi masih menyaput samar. Terasa tenang dan damai. Hatinya kadang berdesir saat menyadari pergi bersama dengan Bram. Pria yang dia kagumi. Sekejap dia kerling Bram yang tertidur lelap. Bersandar disampingnya. Kabut pagi yang indah. Walaupun pandangan samar samar, manusia selalu yakin bahwa matahari pasti akan datang. Perjalanan telah dimulai. . Antara Bandung Jakarta. Dalam kabut pagi. Moga moga perjalanan bersama Bram akan berlanjut selamanya. Perjalanan ;panjang ke depan. Saat lewat jembatan Cimeta, tiba tiba Bram terbangun. Masih setengah sadar ketika mengetahui tangannya menggamit tangan Rosa.

'Maaf tertidur. Semalam nggak bisa tidur'. Bram memulai percakapan.
''Tak apa apa. Silahkan istirahat mas Bram. Pemandangan di luar indah sekali. Sejuk dan damai'.
' Udara berkabut di luar'
' Saya selalu menikmati kabut pagi. Awal hari yang cerah'.
' Iya tapi kabut juga sering menyebabkan kecelakaan pesawat kan. Yang nampak indah belum tentu selalu aman ?'
'Tak usah dikaitkan. Biar saya menikmati keindahan pagi ini'.

Terlihat di luar lembah hijau yang indah penuh pesona. Jalur kereta Bandung Jakarta memang selalu mempesona. Sejak dulu penumpang di buat takjub.saat lewat di sana. Di akhir tahun lima puluhan di balik keindahan alam itu kadang kadang terjadi penghadangan oleh para pemberontak.

'Mengapa diam mas Bram?'
' Pemandangan di bawah sana begitu cantik mempesona. Damai sekali rasanya. Tak bisa dipercaya konon dulu sering terjadi penghadangan berdarah di dini. Sering makan korban'
'Saya jarang sekali bepergian ke Jakarta. Tak tahu apa apa tentang cerita itu'
' Saya pikir kau dulu sering bolak balik'.
'Apa maksudmu?. Hanya akhir akhir ini saja karena pekerjaan. Biasanya naik suburban.
Bram tak mengira kalau pertanyaannya mungkin diterima terlalu jauh. Dia tak berkeinginan mengorek masa lalu Rosa. Masa lalu bersama Dedi sang mantan suami. Pertanyaan itu tak bermaksud ke sana. Dia memindahkan percakapan.

' Jam berapa kita akan sampai ke Jakarta ?.
'Mungkin sekitar pukul sembilan'.
'Kita terus ke penginapan saja nanti. Akan tilpon ke kantor Pak Rinto dulu. Kalau nggak bisa ketemu hari ini ya besok.
'Saya masih malas mau ngurusin dagangan. Boleh ikut mas Bram?. Saya nanti menunggu di luar.
Bram terdiam sejenak. Mengapa mesti berduaan terus ? Ini masalah karier dan pekerjaan.
'Mengapa kau nggak menemui langganan langganan mu dulu?.
'Masih ragu. Malah dikira mau nagih bayaran. Biar saja saya menunggu di penginapan kalau mas Bram keberatan'.

Jam setengah sembilan lewat sedikit kereta telah memasuki Jakarta. Stasiun Gambir. Mereka langsung naik taksi menuju ke komplek TIM (Taman Ismail Mardjuki). Kebetulan penginapan penuh. Hanya ada satu kamar yang kosong. Petugas menanyakan apakah mereka suami isteri ? Bram berkata singkat ' Sebentar lagi kawin'. Jawaban sekenanya agar tak ditanya surat kawin. Dia ingat temannya, Budi, yang kuliah di kedokteran dan ngurusi penginapan di jalan Pajeksan Yogyakarta. Ceritanya dia selalu debat dengan pasangan yang datang cari kamar tetapi tak bisa menunjukkan surat kawin.

Kamar itu sederhana tetapi bersih. Sayang kamar mandi di luar. Ramai karena hari itu banyak tamu datang. Setelah istirahat sebentar Bram pamit tilpon kantor pak Rinto di Deplu. Ternyata beliau baru bisa ditemui siang jam setengah tiga. Bram bermaksud istirahat dulu. Hanya ada satu tempat tidur besar. Dari kayu jati dengan warna plitur gelap. Kain seprei warna putih bersih berbau harum segar. Dia merebahkan diri di tempat tidur. Sementara Rosa pamit mencari minum. Bram masih tidur tidur ayam ketika Rosa kembali membawa minuman.

'Mas Bram ada minuman'
'Terima kasih, saya juga belum sarapan tadi'
'Mungkin makan pagi dulu di kantin ya? Masih siang nanti kan janjinya'
'Biasanya saya hanya minum jus segar pagi hari. Tetapi tak apa kita makan dulu'.

Rosa ganti baju sebentar. Memakai kaos T shirt dan celana jin. Nampak cantik dan segar. Mereka makan pagi di kantin. Tak banyak pilihan. Ada pecel sama rawon. Berdua mereka pesan rawon. Tak lama berada di kantin. Banyak orang ngobrol di sana. Tidak tahu rombongan dari mana. Keras benar suaranya. Pandangan mereka penuh selidik menatap Bram dan Rosa. Tak enak lama lama di kantin. Selesai sarapan mereka kembali ke kamar.

" Saya akan meneliti berkas berkas saya sebentar, Rosa. Takut kalau nanti ada yang kurang".
"Mengapa kau nampak gelisah?"
"Tak tahulah, hati saya was was terus. Seperti ada yang nggak beres".
"Apanya yang nggak beres? Tenanglah mas Bram, yang penting ketemu pak Rinto, dan dengarkan nasehatnya nanti. Gelisah sendiri tak akan menyelesaikan masalah".

Rosa tak mengerti bahwa Bram galau pikirannya karena dia. Karena pergi bersamanya. Habis meneliti berkas berkas surat, Bram duduk di samping Rosa. Bau harum bunga melati menyentuh lembut. Mereka bicara sekenanya. Tak ada arah pembicaraan yang jelas. Ketika tangan Bram menyentuh jari jari Rosa, mata mereka beradu. Penuh arti. Saling menggenggam.. Tahu tahu Rosa sudah bersandar dalam dekapan Bram. Darah mengalir cepat dan napas napas mereka berdesah memanas. Ketika bibir mereka saling bertaut, berbagai perasaan bercampur jadi satu. Tangan Bram merayap ke berbagai bagian tubuh Rosa yang halus. Dan pakaian mereka terlepas tak terasa. Rosa berbisik lirih. "Jangan tergesa mas. Masih banyak waktu ke depan". Bram tak menyahut. Hanya mendesah perlahan. Ketika terdengar suara mobil berhenti di halaman, mereka juga berhenti bercumbu. Rombongan yang ramai tadi berangkat meninggalkan penginapan.

Jam satu mereka berdua naik taksi ke Pejambon. Bram tak berani meninggalkan Rosa sendirian di penginapan itu. Banyak laki laki bermata liar di sana. Lebih baik Rosa bersamanya. Gedung Departemen Luar Negeri itu nampak megah. Bercat putih. Tak terlalu sulit mencari kantor pak Rinto. Petugas satpam di depan juga tahu siapa pak Rinto. Dia pejabat tingkat Direktur Jendral. Harus menunggu sejam lagi kira kira. Mereka memutuskan menunggu di kantin. Tempatnya nampak bersih dan rapi Sepi karena jam makan siang sudah hampir habis. Bram pesan sayur asem dan Rosa soto.

" Mas Bram, kantornya bagus sekali. Anda pasti senang kerja di sisni'.
' Diterima saja belum. Tak perlu berpikir macam macam lah".
' Orang harus selalu berharap. Optimis. Jangan kecil hati di depan".
' Kecil hati sih enggak. Tapi semuanya datang bersamaan sepertinya. Perlu mengambil keputusan penting dalam hidup dalam waktu yang bersamaan'.
' Mas Bram, ada waktu waktu dimana orang harus mengambil keputusan yang tepat yang menentukan hidup ke depan'. Bram tercenung sejenak, 'Moga moga saya bisa mendapat jalan terbaik'.
' Apapun yang anda pilih, anggaplah itu yang terbaik. Jalani dengan tekun dan semangat'.

Jam setengah tiga tepat Bram sudah datang di kantor pak Rinto. Rosa menunggu di ruang tunggu di bawah.
'Tunggu sebentar mas, bapak masih ada tamu. Apakah anda masih famili dengan Bapak? Tanya sekretaris menyelidik.
' Pakdhe saya teman baik beliau sejak jaman gerilya'.
' Boleh tahu namanya ?. Bapak juga sering cerita jaman gerilya dulu'.
' Dewanto. Nama lengkapnya Kusumo Dewanto"
' Aduh, pak Dewanto. Tahu banget kami. Beliau mantan duta besar di Budapest. Baik baik kan beliau di Bandung ?'.

Ketika tamu sudah pergi, sekretaris yang ramah itu masuk ke kamar pak Rianto. Mungkin meberi tahu siapa tamunya. Sesaat kemudian dia keluar dan minta Bram masuk.
' Selamat datang mas. Anda keponakan mas Dewanto ya?. Siapa namanya '
' Saya Bram. Bramantyo. Salam dari pakdhe'.
' Bagaimana keadaan beliau?. Baik baik kan'
' Sokur pak. Sehat sehat selalu. Saya sendiri dari Yogya'
' Dari Yogya?. Putranya adiknya pak Dewanto kalau gitu?'
'Iya, bapak saya tugas di pemda'.
'Banyak kenangan saya di Yogya, bersama pakdhemu. Kami bergerilya bersama di daerah Yogya lalu di Banaran, Ambarawa'.
' Saya tidak banyak tahu tentang cerita itu'.
' Teman karib kami sekelompok tewas di Banaran. Namanya Kresno. Dimakamkan di sana".
'Saya dengar sepintas dari pak dhe cerita itu'
' Kisah masa lalu yang tragis. Kapan kapan jika saya pensiun akan datang ke sana dengan mas Dewanto. Bagaimana anda? Minat bekerja di Deplu?'.
' Harapan saya demikian jika mungkin pak. Saya lulus jurusan hubungan internasional di Gama'.
' Gini, langsung saja besok ke bagian personalia. Masukkan berkas lamaran lengkap. Saya kasih catatan kecil'.
' Terima kasih sekali pak'.
' Nanti ceritanya disambung lagi. Yang penting selesaikan proses lamaranmu dulu'.

Pak Rianto memberikan satu catatan singkat yang ditulis tangan dalam amplop kecil. Bram minta diri dan mengucapkan terima kasih sebesar besarnya. Besok akan memasukkan lamarannya. Sekarang pegawainya sebagian besar sudah pulang.

***
Setelah makan malam di kantin, Bram dan Rosa segera kembali ke kamar. Pengin cepat istirahat. Semalam mereka kurang tidur, harus bangun pagi. Bram agak sungkan tidur bersama satu tempat tidur. Dia bermaksud tidur di kursi.
' Jangan tidur di kursi. Badanmu tak bisa istirahat mas. Di tempat tidur saja berdua. Tak apa apa'.
'Tak enak dilihat orang kita tidur bersama'.
' Mana orang tahu. Yang penting kita nggak ngapa ngapa kan'

Bram ingat cerita Reni, saat tugas praktek juga sering terpaksa tidur bersama ramai ramai. Apa salahnya asal tak melakukan apa apa? Dia langsung tertidur pulas. Sementara Rosa masih duduk di kursi membaca koran yang dibeli tadi siang. Jam setengah sebelas dia menyusul tidur. Berdampingan dengan Bram. Tak ada rasa takut atau was was. Dia percaya sepenuhnya kepada Bram. Mimpi indah seolah berjalan menembus kabut pagi. Bergandengan tangan dengan orang yang dicintai. Semakin erat tangan tangan mereka saling menggenggam. Semakin melayang perasaan mereka di antara kabut yang indah dan sejuk. Napas mereka mendesah berkepanjangan bersama irama detak jantung yang memburu, Ternyata bukan hanya mimpi semata. Tangan tangan mereka saling memeluk dan meraba. Merambat di antara lekuk lekuk tubuh yang indah. Bibir mereka bertautan di antara suara suara lembut. Saling memanggil nama. Dua jiwa dan raga beradu dan bersatu dalam nikmat tak terhingga. Seolah melayang bersama. Terbang bersama mengarungi lautan cinta tak berbatas. Ketika nikmat itu berlalu mereka sadar akan perbuatan yang baru saja dilakukan. Ada perasaan kecewa di dalam hati. Bram merasa mungkin belum saatnya itu.
' Maaf Rosa kita terlalu jauh sudah'.
' Tak perlu kecewa mas Bram. Saya melakukannya dengan iklas dan sadar. Saya pasrah'.
' Rosa, tak mungkin kita balik kembali. Perjalanan sudah mulai. Mungkin sangat panjang jalan itu'.
' Mas Bram, saya akan senantiasa bersamamu. Berjalan disampingmu apapun yang akan terjadi. Ingat perjalanan awal kita tadi pagi. Menembus kabut pagi yang indah'.

Monday, November 2, 2009

(18). Siapakah anda?

Sore itu Rosa pulang awal. Ingin mempersiapkan diri. Bertemu keluarga Dewanto. Bram memberitahu lewat tilpon pagi tadi kalau pak Dhe dan Budhenya sore itu tak ada acara. Mereka hanya di rumah saja. Bram akan datang menjemput sekitar jam setengah lima nanti. Udara agak mendung. Awan tipis menutup kota Bandung. Tak ada angin bertiup. Namun udara tetap terasa dingin. Rosa memilih pakaian yang paling serasi. Beberapa kali berganti di depan kaca. Hatinya sedikit berdebar. Apa yang akan diceritakan nanti dimuka keluarga Bram? Mungkin pertemuan ini terlalu dini. Rasa khawatir itu ditepis sendiri. Biarlah, apa pun yang terjadi, terjadilah. Manusia tak bisa mengubah masa lalu. Semua telah lewat. Beginilah saya adanya. Akhirnya Rosa memilih gaun panjang warna ungu lembut. Dengan scarf sutera pemberian papanya dulu. Dia selalu menyenangi kombinasi warna lembut. Merasa lebih percaya diri dengan warna itu.

Jam setengah lima kurang sedikit, Bram telah datang. Wajahnya nampak tak tenang. Namun dia mencoba menyembunyikan perasaan. Rosa menyambut dengan tenang. Ada rasa damai di dalam sana melihat wajah Bram.

"Silahkan tunggu dulu mas Bram. Saya belum selesai"
" Saya datang terlalu cepat. Tadi pagi kak Mia datang dari Jakarta. Sempat berbincang sebentar habis makan siang tadi".
"Siapa itu kak Mia?"
" Putra kedua pakdhe Dewanto. Adiknya kak Rio".
" Mas Bram belum pernah cerita"
" Nanti saya kenalkan. Pasti cocok kau. Kak Mia sangat ramah".
" Mungkin saya tak bisa lama. Tita agak rewel sejak pagi. Dia masih tidur sekarang".
" Tak apa apa. Yang penting kau katanya pengin kenal sama pakdheku".

Tak lama kemudian Bram dan Rosa telah berjalan bersama.Berdampingan melewati jalan di tepi pemukiman. Jalan bersih dengan bunga bunga kana di sisi jalan. Bau semerbak melati parfum Rosa kadang menghampiri dengan kembut. Mereka berdua berdiam diri. Tak banyak pembicaraan. Berjalan bersama berdampingan. Hanya hati masing masing yang bergejolak. Apakah ini awal perjalanan bersama ke masa depan ? Tak ada yang tahu dan tak ada yang bisa menjamin. Manusia hanya menjalani garis perjalanan hidup masing masing. Mungkin saja jika hati masing masing mantap dan menghendaki, mereka akan berjalan bersama terus mengarungi perjalanan hidup yang panjang. Berdua seperti sore itu. Berjalan bersama di bawah naungan pohon2 cemara yang berjajar rapi. Kemudian mereka naik opelet ke arah Dago Bukit. Dengan hati hati sekali Bram menggamit tangan Tita. Khawatir Tita yang begitu lembut dan halus akan terjatuh dan tergores di dalam opelet. Penumpang opelet hanya diam memandang. Sopir menatap lewat kaca. Kernet berteriak lepas. Dago, Dago, Dago. Semua mengerti, nampak sejoli yang sedang dimabuk cinta. Tak ada yang tahu, ada keraguan di dalam sana. Di dalam hati sang pria, Bram.

Pak Dhe Dewanto baru bangun tidur sore ketika mereka sampai. Bu Dhe masih duduk di kebun belakang rumah. Membersihkan tanaman bunga kesayangannya. Tak banyak acara mereka dari hari ke hari. Masa pensiun adalah masa istirahat. Mereka nikmati masa istirahat itu dengan melakukan apa yang mereka senangi dari hari ke hari. Tak ada istilah post power syndrome. Masa tugas telah lewat. Tak mau pusing dengan urusan macam macam. Mengikuti berita hanya lewat koran atau TV. Tak ada acara ngrumpi dengan kelompok. Sekarang banyak acara sosial. Pertemuan rutin akar rumput. Namun isinya hanya dipenuhi dengan acara ngrumpi. Mana ada tetangga yang beli mobil baru. Mana yang punya wanita atau pria idaman lain. Semua berita bisa jadi acara menarik untuk ngrumpi. Pasangan Pakdhe Dewanto sama Budhe Larasati, tak kenal itu ngrumpi. Pensiun ya pensiun, titik. Masa istirahat. Tak ada kamus ngrumpi.

" Bram, kok sudah gagah benar kamu. Tak tahu kapan kamu pergi tadi".
" Budhe sama pak Dhe baru istirahat ketika saya pergi. Perkenalkan teman saya Budhe. Rosa".
Rosa mengulurkan tangan dengan sopan. Menyebut namanya lirih Hatinya bergetar.
" Saya Rosa. Pipit Rosalina"
" Nama yang bagus. Silahkan duduk di ruang tengah saja. Biar tak ada angin. Sudah lama berteman dengan Bram nak?.
" Sudah beberapa bulan ini Ibu"
"Mengapa kamu nggak cerita Bram ?. Pakdhe mu baru mandi nampaknya. Tunggu ya. Mia, kesini lah. Ini Bram sama Rosa".

Mia menghambur dari kamar depan. Bercelana jean dengan kaos warna hijau. Kelihatan sangat santai. Dia memang selalu menikmati masa libur di rumah orang tuanya.

"Kemana Bram? Habis ngobrol makan siang tadi terus menghilang?"
" Saya kira kak Mia tidur tadi. Saya tidak pamitan. Menjemput Rosa. Kenalkan, ini Rosa".
"Rosa ?. Bram tak pernah cerita tentang kau Rosa. Saya Mia, sepupu Bram? Sudah kenal lama dengan Bram?
"Baru beberapa bulan belakang ini. Kami berkenalan dalam perjalanan Yogya Bandung". Rosa menjawab tersipu.
"Kenalan terus dekat ya? Biasalah anak muda. Ngapain tunggu tunggu segala"
"Kak Mia tinggal di mana?"
"Saya di Jakarta. Saya kerja di salah satu bank asing. Saya pulang Bandung tiap dua bulan. Sudah lama nggak ketemu Bram".
"Beberapa kali saya ke Bandung, kak Mia nggak ada di Bandung", sela Bram.
"Sering sering datang ke Bandung Bram sekarang. Ada teman dekat lagi. Lama nggak ketemu tahu tahu sudah bawa pasangan".
" Kangen saya sama obrolan kak Mia". Bram tak banyak berkutik. Merasa tersindir.
" Rosa. Bener ya Pipit Rosalina?. Namamu indah sekali seperti parasmu yang cantik. Hati hati sama lelaki. Jaman sekarang banyak hidung belang. Mau enaknya saja. Tetapi boleh jamin Bram, pemuda anteng. Nggak macam macam. Ada rencana berdua yang serius?"
Kata kata Mia memberondong ke arah Rosa. Mia tak menyadari kata kata gurauannya menyentuh luka Rosa yang paling dalam. Muka Rosa memerah.
"Kami hanya berteman dekat kak Mia. Baru beberapa bulan berkenalan. Iya kan mas Bram?."
" Bram kau mau ke Jakarta, melamar kerja kan? Tolong hubungi saya di Jakarta nanti ya? Kita bisa makan malam. Masih pengin ngobrol sama kau".
Bram terkejut menerima tawaran itu. Dia akan ke Jakarta bersama Rosa. Bagaimana mungkin mau mampir ke tempat Mia.
"Saya kumpul sama teman teman dari Yogya kak Mia".
"Di mana nginapnya? Masih sering nginap di dalam kompleks Taman Ismail Mardjuki ?
"Kadang kadang, makanannya enak di situ. Sayur asem sama daging empal. Paling enak yang pernah saya rasakan".

Bram memang sering menginap di penginapan dalam kompleks TIM. Penginapan sederhana untuk para sastrawan dari daerah jika ada acara di Jakarta. Yang istimewa memang makanannya, terutama sayur asem dan daging empal dengan sambal pedas sekali. Dia selalu makan malam di kantin itu. Hanya ramainya nggak karuan. Seniman seniman yang sering nginap di sana, suka ngobrol sampai larut malam. Seolah tak ada lagi waktu esok hari untuk ngobrol. Bukan selalu obrolan berat tentang kebebasan mimbar atau kebebasan berkreasi. Salah seorang dari mereka mimpi aneh saja bisa jadi bahan diskusi berjam jam. Yang penting diskusi. Apapun isi dan maknanya.

Tiba tiba Budhe dan Pakdhe keluar dari kamar. Mereka duduk di kursi panjang di seberang ruangan. Wajah Pakdhe begitu tenang dan berwibawa. Bram dan Rosa tak bisa mengeluarkan kata sepatah pun.

" Siapakah anda? Teman Bram ya?" Tiba tiba Pakdhe bertanya.
"Panjenengan ini gimana sih pak. Tadi kan saya sudah bilang, ada Rosa temannya Bram".
Budhe mencoba mencairkan suasana. Rosa terhenyak dengan pertanyaan langsung itu.
" Perkenalkan saya Rosa, Pakdhe. Pipit Rosalina. Temannya mas Bram".
"Bram tidak pernah cerita tentang anda. Tinggal di Bandung?"
" Iya dekat sini. Di Cisitu sama papa dan mama. Mas Bram banyak cerita tentang Pakdhe dan Budhe".
" Gimana Bram, kau cerita tentang Pakdhe ke Rosa. Tetapi tak cerita tentang Rosa ke pakdhe?". Bram semakin bingung dengan pertanyaan yang menghunjam itu.
"Belum sempat cerita Pakdhe. Baru kenalan beberapa bulan".Jawabnya sekenanya.
" Gimana rencana kamu ke Jakarta? Jadi kan? Saya sudah tulis surat ke Rinto di Deplu. Besok jangan lupa di bawa suratnya"
"Iya Pakdhe. Kami akan berangkat besok pagi pagi".
"Lho memangnya kau ke Jakarta berdua?". Tiba tiba Budhe Larasati menyela. Bram tak sengaja bilang kami tadi. Ini mengungkap rencana mereka pergi ke Jakarta bersama. Rosa memerah mukanya. Bram terdiam sesaat.
"Rosa juga ada acara di Jakarta Budhe. Sekalian sama sama".
" Nak Rosa kuliah di Bandung atau Jakarta?"
"Dulu saya kuliah di Bandung Budhe. Sekarang sudah berhenti. Usaha pakaian anak. Kami pasarkan sampai ke Jakarta juga. Tak berapa besar".
" Jika ke Jakarta dengan Bram. Kita ketemu nanti ya. Bram berikan alamat tempat nginapmu. Saya dua hari lagi pulang Jakarta" Mia menyela. Tak berpikir kalau Bram gelisah luar biasa.
"Iya kak nanti saya tilpon. Tetapi jika urusan selesai saya langsung pulang Yogya".
"Lantas Rosa juga ikut ke Yogya?'
"Tidak kak. Dia kembali ke Bandung".

Bram begitu terperangah dengan pertanyaan tak terduga itu. Dia juga belum punya rencana sesudah acara di Jakarta selesai. Sementara Rosa hanya diam mendengarkan. Pakdhe dan Budhe mengajak mereka berdua duduk di halaman belakang. Mia kembali masuk ke kamar. Dia tahu Bapaknya akan memberikan wejangan. Tak ingin dia terlibat. Mereka berbincang sejenak sambil menikmati angin sore hari. Pakdhe dan Budhe menanyakan secara singkat akan keluarga Rosa. Tak banyak yang bisa dia ceritakan. Juga tak diungkapkan kisah masa lalunya. Belum saatnya. Toh nanti mereka akan tahu dengan berjalannya waktu.

" Pernah ke Yogya Rosa?"
" Belum pernah. Nanti kapan kapan akan khusus ke Yogya jika urusan mas Bram sudah selesai Budhe".
"Belum pernah bertemu bapak ibunya Bram?"
"Belum pernah. Kami bersama mas Bram baru merencanakannya"

Bram terlihat berdiam diri. Dia merasa bingung bagaimana akan memberitahu Bapak ibunya tentang Rosa. Tentang hubungannya dengan Rosa. Tentang kisah masa lalu Rosa. Dia merasa bersalah. Tetapi dia tak punya kekuatan untuk mundur meninggalkan Rosa yang sudah begitu lekat di hatinya. Dia merenung melihat langit memerah di ufuk Barat. Hatinya terbawa gundah. Tarikan napasnya mendesah galau.

" Bram dan Tita. Saya nggak tahu apa rencanamu ke depan. Pikirkan baik baik semuanya. Apapun yang kau putuskan dan rencanakan, kami orang tua hanya bisa ikut berdoa. Moga moga keinginan kalian bisa terkabul". Pakdhe berkata pelan dan berat.
"Iya Pakdhe. Terima kasih". Suara Bram hampir tak terdengar.
" Beritahu bapak ibumu, jika sudah ada rencana ke depan. Jangan membuat mereka menabak nebak. Susah nanti bapak dan ibumu. Biar mereka menikmati masa tua dengan tenang".

Rosa menunduk diam. Hatinya tergetar mendengar kata kata Pakdhe. Mengapa begitu jauh? Kami belum berencana apa apa ke depan. Belum ada rencana bilang ke orang tua segala. Tetapi dalam batin dia bersyukur mendengar wejangan Pakdhe. Mulanya begitu getir mendengar pertanyaan yang begitu berat, siapakah anda. Tetapi dia lega di akhir pembicaraan, Pakdhe mengatakan kalau orang tua hanya bisa ikut berdoa.

Lewat jam enam, Bram mengantar Rosa pulang. Pagi2 besok harus berangkat. Naik kereta jam lima pagi. Sekembali mengantar Rosa, Bram berpamitan ke Pakdhe dan Budhenya, jika besok akan berangkat pagi pagi sekali.

"Ingat pesan saya Bram. Sampaikan pesan saya untuk pak Rinto ya di Deplu. Moga moga kau berhasil"
"Terima kasih Pakdhe dan Budhe. Mohon doa restunya selalu"
" Saya doakan moga moga perjalananmu ke Pejambon, mengawali perjalanan kariermu ke depan sebagai diplomat. Berdoalah anak muda"

Tak lupa Bram menemui Mia sebelum masuk kamar tidur.

"Kak Mia, saya akan kontak kau nanti di Jakarta ya. Tapi jangan bilang sama Bapak ibu di Yogya kalau saya sama Rosa. Biar saya yang memberitahu dulu".
" Tilpon saya ya nanti. Kita sempatkan bertemu. Melihat kau bersama Rosa, saya berpikir masa muda kita akan berakhir. Tak sebebas dulu lagi. Main bersama dalam setiap kesempatan ".
"Untung kau Bram, bisa menggandeng Rosa. Dia cantik dan ramah. Dia sayang banget sama kamu"
"Terima kasih kak Mia. Sampai ketemu lusa.".

Tuesday, June 23, 2009

(17)Impian di antara bintang


Langit bertabur bintang. Tak terlihat bulan di atas sana. Belum saatnya bulan purnama.. Namun tetap saja langit terlihat indah bertabur kelap kelip warna perak. Pikiran manusia sering melayang membayangkan ada apa jauh di sana, di antara bintang di balik tata surya. Bram dalam perjalanan ke Bandung malam itu. Tak mampu memincingkan mata. Pikirannya melayang diantara bintang malam. Perasaan terasa aneh. Sejak kecil sampai lulus universitas dia tak pernah hidup berpisah dengan bapak ibunya. Bapaknya, Raden Mas Rianto Kusumoyudho, dan ibunya Raden Rara Ambarwati, keduanya berdarah biru. Bram dibesarkan dalam lingkungan keluarga Jawa tradisional. Dia selalu merasakan kehangatan dan kasih sayang kedua orang tuanya selama ini. Meski dengan segala tata cara dan kebiasaan yang ketat dalam keluarga.

Sejak pendadaran beberapa minggu lalu, hatinya selalu gelisah. Waktunya telah tiba untuk meninggalkan rumah. Meninggalkan kehangatan ayah ibunya, demi mengarungi perjalanan karier ke depan. Sore tadi sewaktu pamitan, ayahnya memeluk erat dan berkata. "Bram hati hati selalu di jalan ya. Perjalanan sangat panjang ke depan. Ambillah jalan yang terbaik buat masa depanmu". Ibunya memeluknya sambil berkaca kaca. "Hati hati ya nak". Memang benar, walau baru hanya akan mencari pekerjaan di Departemen Luar Negeri, dia sudah membayangkan pasti akan harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Waktunya telah tiba. Tak mungkin ngendon di Yogya terus. Walau ayahnya bisa mencarikan pekerjaan di kantor pemerintah daerah. Keinginan menjadi diplomat sejak kecil sudah membara. Tak mungkin tawar menawar.

Bram sengaja ke Bandung dulu. Minta rekomendasi dari pakdhe Dewanto, pensiunan diplomat RI di Hongaria. Di manapun harus pakai surat rekomendasi untuk memperlancar lamaran. Tetapi dia mampir Bandung juga puya tujuan lain. Menemui Rosa. Pipit Rosalina. Hatinya begitu lekat walau baru kenal beberapa bulan. Wajahnya yang lembut dan selalu ceria seolah memberinya semangat dan harapan. Hatinya berdesir setiap mengingat Rosa. Ingat malam malam dalam perjalanan bis ke Bandung. Pertemuan dan perkenalan secara kebetulan dalam bis waktu itu. Ingat bagaimana Rosa bersandar mesra di pundaknya sepanjang jalan. Tangannya saling menggenggam mesra. Desiran hatinya membawa perasaannya melayang. "Ya Tuhan biarlah kami bergandengan tangan selamanya".

***

Bram tinggal dua malam di rumah pakdhe Dewanto. Kebetulan Rio, putra sulung pakdhenya sedang liburan di bandung. Dia seorang pilot. Orangnya pendiam. Tak banyak ngomong. Sesekali dia ngobrol di ruang tengah dengannya. Orangnya serius sekali.
Sehabis sarapan pagi itu, Rio banyak bertanya.

"Sudah mantap kau rupanya jadi pegawai pemerintah dik Bram?"
" Saya belajar hubungan internasional. Kesempatan untuk mempraktekkan apa yang saya pelajari ya dunia diplomasi mas".
"Apa anda siap memperjuangkan kepentingan Indonesia yang kadang bertentangan dengan suara dunia internasional"?
" Jika diterima di Departemen Luar Negeri, saya hanyalah bagian kecil dari mesin diplomasi Indonesia. Tak mungkin seseorang mampu mengubahnya dalam sesaat. Diplomasi di dunia internasional juga tergantung situasi di dalam negeri. Tak mungkin memperjuangkan citra Indonesia tanpa memperbaiki situasi dalam negeri an?"
"Sokurlah jika anda sudah menyadari sejak awal. Saya selalu kasian dengan diplomat Indonesia di luar negeri. Mereka memperjuangkan citra Indonesia mati matian, sementara di dalam negeri banyak sekali penyimpangan"
" Ya itulah tantangannya. Penyimpangan selalu terjadi di mana mana. Hanya bagaimana kita menekan seminimal mungkin. Diplomasi tidak bisa menutup nutupi berbagai pelanggaran hak azasi di indonesia. Hanya memperkecil dampak negatifnya saja dalam pergaulan internasional".
" Bapak selalu menghadapi berbagai tekanan dan pertanyaan setiap ada kasus di tanah air, sewaktu kami di Budapest. Sedikit banyak juga mengusik kehidupan pribadi kami".
"Itulah yang saya kagumi dari pak dhe. Bagaimana mambawakan citra Indonesia di dunia internasional, meski kita sendiri kadang juga tak bisa mengerti dengan gelompang politik Orde baru di tanah air".
" Bapak adalah mantan pejuang. Dia gampang menyesuaikan. Right or wrong is my country. Sedang kita mengalami pendidikan dan terpapar dengan dunia luar begitu luas. Banyak yang tidak bisa kita mengerti. Seolah negara ini menjadi milik para penguasa itu".
" Cepat atau lambat pasti aka nada perubahan ke perbaikan. Mungkin konstelasi politik saat ini yang terbaik buat negara ini. Tak tahu saya".
" Apakah anda sudah ada rencana berkeluarga Bram?"
" Rencana pasti belum ada. Tetapi ada teman wanita yang dekat sekali".
" Saya ragu untuk cepat berkeluarga karena pekerjaan saya. Saya hanya punya waktu yang sangat terbatas untuk kehidupan keluarga. Makanya saya sampai sekarang masih ingin sendiri".
" Karier dan pekerjaan adalan satu hal. Kehidupan pribadi tak mungkin dikorbankan. Berjalan imbang. Toh pakdhe dan bapak saya juga mampu mempunyai kehidupan yang seimbang".

Ingatan Bram melayang ke Rosa. Tak mungkin dia melupakannya meskipun dia sangat menekuni kariernya. Kehidupan karier dan pribadi harus berjalan imbang. Dua duanya harus jalan bersamaan. Tak ada yang perlu disisihkan dan dimenangkan. Perjalanan masih jauh. Malam nanti rencana akan bicara dengan pak dhenya secara rinci tentang rencananya ke Jakarta. Ke kantor Departemen Luar Negri. Sore penginnya berkunjung ke rumah Rosa.

***
Waktu menunjukkan lewat setengah lima ketika Bram sampai di rumah Rosa. Rosa telah menunggu dengan hati ceria. Dia memakai rok panjang warna ungu dengan selendang warna lila. Sore hari angin terasa dingin di Bandung. Selendang itu berfungsi untuk menahan hawa dingin sore hari. Tetapi Rosa nampak begitu anggun memakainya.
Ketika Bram mengetuk pintu depan, dia menghambur ke ruang depan.
"Selamat Bung Bram. Gimana pesta lulusnya meriah di Yogya?"
"Tak ada pesta, tak ada apa apa. Saya hanya sungkem ke bapak ibu. Itu saja".
"Yang penting Bung telah lulus. Patut disyukuri. Tak gampang lho. Nyatanya saya juga tak sempat lulus"
" Saya selalu bersykur Rosa. Juga bersyukur bisa berkenalan denganmu".
"Mari duduk Bung. Berapa hari di Bandung?"
"Hanya dua hari. Lusa mau terus ke Jakarta. Melamar pekerjaan ke Deplu"
" Mengapa begitu singkat. Kita belum sempat cerita panjang lebar. Tak ada kesempatan jalan ke luar".
"Maaf memang rencananya begitu tergesa. Akan memasukkan lamaran. Nanti keburu tutup. Sekalian minta surat rekomendasi pakdhe Dewanto".

Napas Rosa berdesah. Mungkin kecewa karena tak banyak waktu untuk cerita. Tak banyak waktu untuk mengenal Bram lebih dekat. Dia ingin mengenalnya lebih dekat. Tak ingin mengulang kesalahan menjatuhkan pilihan hanya karena rasa kagum semata.

" Berapa hari rencana di Jakarta Bung Bram?".
" Makin cepat makin baik. Mungkin tiga hari. Mungkin lebih. Tergantung selesainya pendaftaran".
" Jika begitu aku ikut saja ke Jakarta. Sekalian lihat langganan saya di Pasar Rumput".
" Ahh, tak apa apa pergi berdua? Sudah bilang papa sama mama?.
"Mas Bram saya sudah dewasa. Papa sama Mama tak mengontrol saya. Yang penting adalah menyerahkan pekerjaan saya ke Iwan, agar dia bisa ikut mengawasi selama saya tak ditempat".

Bram terhenyak sesaat. Tak bisa berkata ya atau tidak. Dia terkejut dengan keputusan mendadak Rosa untuk ikut ke Jakarta. Dalam hati dia marasa senang. Tetapi juga agak gundah karena berarti hubungan sudah selangkah ke arah serius. Bagaimana harus mengungkapkan ke bapak ibunya. Mereka bicara berdua di ruang depan sampai beberapa jam. Jam delapan malam Bram pamitan. Tetapi Rosa masih menahannya. "Makan malam disni sekalian ya mas Bram. Kita tak sempat makan bersama merayakan kelulusan anda". Bram hanya terperangah menerima tawaran itu. Tak terbiasa dia dengan tawaran seperti itu. Tiba tiba saja mama Rosa ikut keluar dan ikut menimpali. " Iya mas Bram. Tidak setiap hari kan ? Biar Rosa masak sebentar. Tak akan lebih setengah jam. Kami ikut senang mendengar anda sudah lulus. Selamat ya".

Mama Kusuma ikut membantu menyiapkan masakan di dapur bersama Rosa. Tak lewat setengah jam makanan sudah siap. Mereka berdua makan malam. Papa dan mama Kusuma sengaja tak ikut makan malam. Mungkin tak enak akan mengganggu percakapan Rosa dan Bram.

" Mas Bram kenalkan dong aku sama pakdhe Dewanto. Dengar ceritamu saya ingin melihat dan berkenalan dengan beliau. Pasti orangnya penuh percaya diri"
" Saya lihat dulu, apakah besok sore beliau di rumah ya. Biasanya sih banyak di rumah beliau. Acaranya hanya memelihara bunga di kebun sama membaca".
" Aneh jika ditanya mau ngomong apa tentang kita?"
"Ya ngomong apa adanya. Kita berteman. Teman dekat. Sangat dekat".
"Iya mas Bram, tak perlu berjanji terlalu muluk, jika kita belum bisa meyakinkan hati kita masing masing".
"Perjalanan masih panjang. Pacuan belum selesai. Hidup adalah berpacu. Berpacu dengan waktu dan kesempatan"
"Percaya mas Bram. Hanya orang yang mampu berpacu dan mengambil kesempatan di saat yang tepat akan berhasil ke garis finish".

Mereka semakin larut dalam percakapan yang dalam. Tentang masa depan. Tentang perjalanan hidup dan karier. .Begitu tenggelam dan asyik dengan bayangan masing masing . Sementara tangan mereka saling menggemgam. Rosa duduk bersandar di bahu Bram. Pikirannya melayang jauh ke depan. Semoga Tuhan memberikan jalan terbaik. Semoga kedekatan malam ini akan berlanjut selamanya. Ketika napas mereka mendesah dalam keheningan malam, bibir mereka bertaut dalam impian, Impian masa depan. Impian tentang kebahagiaan. Melayang di antara bintang bintang malam. Hati berdesir bersama perasaan melayang di antara impian.
"Mas Bram, apa makna semuanya ini?
" Rosa, kita mencoba membangun perjalanan bersama. Ke masa depan. Tak ada janji. Tak ada sumpah. Hanya keteguhan hati.".
"Semoga keteguhan hati kita akan membimbing ke masa depan mas Bram. Saya tak menuntut apa apa. Tak menagih apa apa.
"Lihatlah langit dan bintang2 itu Rosa. Semoga kita bisa mengarungi perjalanan ke depan. Bersamamu selamanya".

Jam setengah sepuluh malam Bram berpamitan. Terasa proses sejak perkenalannya dengan Rosa, berjalan begitu cepat. Tak tertahankan. Seolah perjalanan air menuruni bukit dan lembah. Hidup memang kadang seperti arus air. Tak bisa mengelak dan menahannya. Asalkan menuju tujuan yang diinginkan.

***

Thursday, May 21, 2009

(16) Jakarta menanti

Mari bung mari kemari
Jakarta menanti nanti
Jangan bung janganlah lari
Ke Jakarta kembali

Mari mari
Sama sama pergi
Ke Jakarta kembali

Lagu tempo dulu. Syair itu mengingatkan daya tarik Jakarta bagi para lulusan baru.Jakarta seolah gerbang masa depan. Pintu ke dunia luar. Tak mungkin meniti karier tanpa lewat Jakarta. Bram tenang di kamar mendengar lagu keroncong itu mengalun pelan. Lamunannya melanglang bebas. Hari Minggu sore. Mau jalan ke luar malas. Dia ingat kelakar teman teman saat pendadaran " Sampai ketemu di stasiun Senen". Bahkan ada tulisan seorang teman, jika nggak salah dari Fakultas Sastra, dengan judul itu di harian Kompas. Menggambarkan betapa sempit pilihan bagi para lulusan. Mereka harus memilih dan bersaing secara ketat. Pilihan terbatas Sebagian ada yang punya semangat besar membuka usaha. Dunia usaha, penuh spekulasi dan ekonomi beaya tinggi. Semua aturan menjadi alat permainan mengeduk uang bagi para pemegang birokrasi. Kebobrokan birokrasi, tercampur korupsi dan penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan.

Parasto, tokoh pers mahasiswa. Pengin jadi dosen sekalian menerbitkan surat kabar. Minta ampun perijinan begitu mahal dan rumit setengah mati. Ada Surat Ijin Terbit, ada Surat Ijin Cetak. Dua duanya penuh liku liku dan beaya mahal. Tak mudah mendapatkan keduanya. Selain uang yang bisa sampai puluhan juta, juga harus ada koneksi orang dalam. Koneksi dengan penguasa. Semalam Bram sempat ngobrol dengan Parasto dan Sinambela akan rencana masing masing. Mereka lulus bersamaan. Tetapi tujuan lebih lanjut berbeda. Sinambela ingin pulang ke Medan, membantu usaha orang tua. Perkebunan dan perdagangan hasil bumi. Usahanya memang berkembang luas. Tetapi Sinambela punya keinginan lain disamping bisnis. Dia ingin terjun ke dunia politik. Paling tidak nantinya ke Senayan. Anggota DPR. Bapaknya dekat dengan tokoh tokoh partai penguasa di kota kelahirannya. Semua kenal pribadi dengan keluarganya.

***
Hari Senin Bram harus mengesahkan salinan salinan ijazah di kampus. Hari itu juga ada janji dengan Parasto dan Sinambela. Bertemu dan makan bersama di SGPC ( sega pecel) di kompleks Bulaksumur. SGPC hanya warung makan di kampus. Menjadi ajang berkumpulnya berbagai kalangan kampus, pegawai, dosen dan mahasiswa. Para aktivis kampus biasanya menghindari tempat ini. Alasannya mudah ditebak. Banyak intel berkeliaran di sana. Motifnya nggak jelas. Makan pecel atau mengintai gerakan mahasiswa. Mungkin keduanya. Intel juga manusia biasa. Mintanya ijin dari atasan, ingin memonitor gerakan anti pemerintah, anti orde baru di kampus. Tetapi sebenarnya hanya sekedar ingin makan nasi pecel sama tahu bacem. Kadang memang sulit membedakan tugas intelijen dengan tugas mengisi perut. Apalagi ada nasi pecel tahu bacem. Inilah hidup. Kadang juga lebih tertarik lihat mahasiswa pacaran di warung. Ini juga termasuk dalam tugas intel. Demi stabilitas nasional.

"Kapan berangkat ke Jakarta Bram?". Parasto membuka percakapan sambil menikmati nasi pecel sama kerupuk gendar.
"Mungkin seminggu dua minggu lagi Mas. Lagi ngurus surat surat. Ternyata syaratnya banyak benar.
"Aneh memang. Semua serba sulit. Pelayanan publik sangat jelek. Saya mengurus ijin terbit dan ijin cetak koran, seperti tak pernah ada akhirnya".
" Untuk melengkapi lamaran pegawai ternyata rumit banget syaratnya. Surat kelakuan baik. Surat bebas G30S. Keterangan lit sus".
"Apa itu lit sus?"
" Penelitian khusus. Bahwa tak ada keluarga dekat yang terlibat G30S/PKI atau simpatisannya".
"Gila, mau dibawa kemana negara ini?. Kita sebagai warganegara diperlakukan sebagai warga asing di negeri sendiri. Kau masih mantap ke Jakarta, Bram?.
"Cita cita saya hanya ingin jadi diplomat. Tak ada jalan lain, meskipun begitu sulit dan penuh kompromi. Saya tetap akan ke Jakarta".
" Iya penuh kompromi. Harus punya koneksi di dalam juga. Tetapi kau punya Oom yang bisa bantu kan?"
" Saya minta rekomendasi Oom saya. Gimana lagi, sistemnya memang begitu. Kita tak bisa mengubahnya dalam sesaat".
" Baca enggak tulisan Peter di Kompas? Jakarta memang selalu menanti nanti. Sampai jumpa di stasiun Senin. Saya sedih membacanya. Idealisme kebebasan kalah dengan upaya mencari masa depan ".
"Iya saya baca beberapa hari lalu. Benar adanya. Jakarta seolah magnit. Semua yang berkaitan dengan administrasi publik di Indonesia, harus ke Jakarta. Omong omong, mana si Sinambela?".
"Pasti dia akan datang. Tadi saya lihat di fakultas".

Tak lama Sinambela muncul. Banyak map di tangannya. Dia memang selalu gampang bergaul. Pasti ngobrol dulu di fakultas. Selalu ada saja yang diomongkan. Dengan siapapun.

"Sori terlambat kawan. Saya menemui beberapa dosen. Pak Siagian dari Kehutanan kenal baik sama bapak saya. Beliau titip surat".
" Mantap benar kau bung. Mau masuk partai yang mana?"
" Mas To, hidup di dunia nyata tak selalu seperti yang kita impikan. Saya tak ada masalah masuk ke partai penguasa. Itu jalan yang terbaik untuk ikut dalam arus politik".
" Apakah tak bertentangan dengan suara hatimu. Idealisme kita luntur begitu pegang ijazah ?".
" Selama partai dan penguasa tak melakukan hal hal di luar batas kewajaran, bagi saya tak ada masalah. Bukankah jika saya ikut masuk, nantinya juga ikut memperbaiki dari dalam. Bagaimana menurutmu Bram?".
" Setuju saya. Kadang hidup harus kompromi. Selama tak mengorbankan nilai nilai prinsip. Nilai kemanusiaan". Bram menukas singkat.
"Tak enak bicara politik di sini. Banyak telinga. Lebih baik bicara tentang kerjaan. Salah salah bisa ditangkap kita.".
"Bram dan mas To. Sebentar lagi kita akan berpencar. Dalam perjalanan panjang karier masing masing. Moga moga ini bukan pertemuan terakhir. Saya yakin kita masih akan banyak bertemu dan berdiskusi. Idealisme tak akan pernah mati".
"Kenapa anda jadi sentimental La? Tak mungkin kita bersama terus. Kita bersama menekuni idealisme kebebasan kampus selama beberapa tahun terakhir. Perjalanan harus terus. Hidup memang sebuah perjalanan panjang. Suatu saat kita bertemu dan bersama. Suatu saat kita berpisah meneruskan perjalanan masing masing".

Bram ikut terbawa emosional. Dia berpikir memang akan sulit kumpul kumpul kembali seperti waktu waktu kemarin. Masing masing akan sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan barunya. Hanya kenangan yang bisa dibawa. Kenangan indah kehidupan kampus.

"Jika anda pengin kumpul dan bertemu kembali. Datanglah ke Yogya. Saya akan tetap tinggal di Yogya. Saya akan tetap hidup di lingkungan kampus. Sampai kapanpun. Selamat jalan dan semoga selalu sukses".

Parasto menutup obrolan. Mereka berpisah. Semua hening. Tak akan sempat lagi bersama sama dalam hingar bingar kehidupan mahasiswa sepert kemarin kemarin. Mereka telah menjalani bersama sama dalam beberapa tahun terakhir. Dengan selamat. Tak ada yang terlumpuhkan. Hariman, kawan mereka dari Universitas Indonesia meringkuk di penjara selama beberapa tahun karena peristiwa Malari. Saat itu mahasiswa bergerak kejalan menantang kekuasaan rejim Suharto. Yogyakarta tetap tenang. Para aktivis sadar belum waktunya melawan rejim yang sedang menikmati puncak kekuasaan. Pasti terlumpuhkan.Bram, Sinambela dan Parasto, mewakili gambaran lulusan perguruan tinggi saat itu. Jika akan mengukir karier, jangan memusuhi penguasa. Berjuang dari bawah. Dalam sistem yang serba tidak trasparan. Tak berarti melupakan idealisme kebebasan. Hidup harus kompromi. Jakarta menanti nanti. M

Thursday, April 23, 2009

(15) Pacuan belum selesai

Ada rasa jenuh menyesak kalbu. Bulan bulan terakhir seolah berpacu menyelesaikan tugas akhir. Berlari resana kemari sebelum pendadaran. Sekarang Bram ingin istirahat sejenak. Begitu jenuh membayangkan kembali kegiatan kuliah selama lima tahun terakhir. Lima tahun lebih dari cukup untuk menyelesaikan pendidikan sarjana. Di berbagai universitas di luar negeri, pendidikan sarjana biasanya diselesaikan dalam waktu empat tahun. Di kampus kampus di Indonesia, berkembang kepercayaan keliru. Kalau tak lulus paling tidak tujuh sampai sembilan tahun atau lebih, tidaklah afdol sebagai sarjana. Masih mentah istilahnya. Bahkan ada dosen yang pernah bilang, ulangi setiap tahun dua kali. Gila. Berarti kan lulus sarjana harus sepuluh tahun. Keburu tua sebelum mengamalkan ilmu yang didapat.

Bram tak percaya. Nilai lebih apa yang diperoleh dengan mengulang kuliah dan menunda kelulusan bertahun tahun ? Bahannya juga itu itu saja. Diktat kumal dengan referensi dari buku buku bahasa Belanda puluhan tahun lewat. Sering para dosen memitoskan diri seolah merekalah sumber ilmu satu satunya. Banyak dosen tak meningkatkan diri dengan pengetahuan terkini. Bram sejak awal berketetapan ingin menyelesaikan secepat mungkin kuliahnya. Masih bisa belajar terus setelah lulus nanti. Manusia harus mampu belajar dan meningkatkan pengetahuan sepanjang masa.

Menyelesaikan tugas akhir dan ujian telah menyita semua waktunya. Ingin istirahat sementara minggu minggu ini. Merasa bersalah tak pernah sempat menulis ke Rosa. Baru minggu kemarin setelah pendadaran, dia bisa tulis surat ke Rosa. Bukan surat cinta. Belum berani bilang cinta. Ada rasa bahagia yang dalam setiap mengingat Rosa. Tak ragu lagi kalau dia sudah jatuh cinta. Tetapi belum berani memutuskan. Sikapnya masih menunggu, mengikuti arus air yang mengalir. Apapun yang terjadi terjadilah. Perjalanan masih jauh. Masih banyak hal yang harus dipikirkan dan dilakukan. Pacuan belum selesai. Baru saja lulus sarjana. Sarjana sosial politik, hubungan internasional. Keren judulnya. Tetapi perjalanan karier masa depan masih kabur. Dia tak ingin klontang klantung melamar dari kanor ke kantor. Ingin bekerja di departemen luar negeri. Tokoh idolanya adalah pakdhe Dewanto. Mantan diplomat senior. Tak ingin jadi pamong praja seperti bapaknya. Sabtu siang Bram masih berkurung diri di kamar membaca koran ketika Reni menilponnya.

"Selamat mas Bram. Saya tahu dari ibu, mas Bram pendadaran minggu kemarin".
"Terima kasih Reni. Tak ada yang istimewa rasanya. Hanya lega setelah semuanya selesai. Jenuh sekali rasanya bulan bulan terakhir kemarin".
" Iya mas, tetapi anda lulus cepat benar. Lima tahun pas. Orang lain kan bisa sembilan tahun".
" Tak ada yang sulit. Hanya salah pandangan saja. Seolah semakin lama di kampus akan semakin matang".
" Banyak yang kerasan dan dapat titel paska sarjana MA*" ( *mahasiswa abadi).
" Gimana keadaanmu Reni? Baik baik kan?".
" Semuanya lancar. Baru saja tugas di Klaten. Minggu ini di Yogya. Dua minggu lagi ke Solo".
" Sokur kalau begitu. Moga moga lancar terus".
"Mas Bram apakah anda ada waktu? Saya pengin ikut merayakan pendadaran anda. Saya traktir jika anda ada waktu".
" Terima kasih sekali. Kau begitu perhatian. Petang ini atau besok boleh lah. Hari hari lain kau sibuk di rumah sakit".
" Sore ini samperin saya di rumah ya. Kira kira jam setengah lima. Daag".

Suara Reni terdengar merdu. Memang empuk suaranya. Dia telah terbiasa mendengarnya bertahun tahun, sejak kanak kanak. Persahabatan jangka panjang. Bram meneruskan baca koran. Dia bilang sama ibunya kalau akan di traktir Reni nanti sore. Ibunya hanya mengiyakan.

" Jangan ngendon di kamar saja kau Bram. Tak baik laki laki ngendon di kamar. Jadi pemalas. Kehilangan banyak kesempatan".
" Makanya pengin keluar sekalian ada yang nraktir Bu. Minggu depan akan ke Jakarta. Melamar pekerjaan. Mampir ke Bandung dulu. Minta surat pengantar pak dhe".
"Bapakmu juga menanyakan apa rencanamu sesudah lulus. Jangan terlalu lama berdiam diri".
" Saya juga ingin cepat dapat pijakan. Prioritas pertama mau melamar di Deplu. Juga melamar ke instansi yang lain tetapi nanti belakangan".
" Saya doakan moga moga terkabulkan impianmu. Tak ingin melamar di pemerintahan daerah ?"
" Nggak tahu Bu nanti belakangan lah. Saya pengin Deplu dulu".
"Bagaimana kabarnya Reni?. Sudah hampir lulus dokter?".
"Baik baik kelihatannya. Dia masih sibuk kepaniteraan klinik di luar kota. Ini baru giliran di Yogya. Masih setahun lagi katanya. Pacarnya keburu nunggu".
" Kau kenal pacarnya? Siapa namanya Bram?"
" Namanya Herman, Saya belum pernah ketemu. Tapi Reni janji mau dikenalkan ke saya".

Ibu Bram dan ibu Reni bersahabat sejak muda. Sering bergurau ingin besanan. Bram tak begitu memperhatikan pertanyaan ibunya. Dia selalu enggan jika ditanya tentang Reni. Tak ada hubungan apa apa. Persahabatan semata. Jam empat Bram pamitan sama ibunya. Bapaknya masih istirahat di kamar. Dia mengemudikan mobil dengan hati hati. Fiat 1100, mobil kesayangan bapaknya. Pelan pelan merayap dari Suryodiningratan ke utara, lewat alun alun selatan belok kanan. Rumah orang tua Reni dikelilingi tembok dengan gapura besar di depan. Reni telah menunggu di pendopo. Nampak cantik, luwes sekali dengan pakaian warna ungu. Ada pita di rambut yang hitam mengkilat. Nampak ceria sore itu.

" Maaf kalau kau lama menunggu Reni."
" Nggak mas. Memang pengin duduk di sini. Angin semilir jam jam segini".
" Sudah pamitan bapak sama ibu?"
" Sudah mas. Mereka mungkin masih istirahat di kamar. Kita langsung berangkat saja. Kecuali kalau mau omong omong dulu".
"Terima kasih. Terus berangkat. Ngobrol sambil jalan".
" Kemana mas Bram? Masih terlalu sore untuk makan malam. Saya pengin ke pantai".
" Boleh kita ke Samas atau ke Parangtritis ?".
" Enak ke Parangtritis. Ada bukit di sana bisa melihat laut dengan lepas"

Melewati plengkung Gading belok ke kiri, sampai pojok beteng membelok ke kanan. Menyusuri jalan ke arah Parangtritis. Suasana sore jalan sudah sepi. Hanya sering terlihat iringan sepeda atau andong ke arah luar kota. Kembali ke tempat masing masing sesudah mencari nafkah di kota. Kiri kanan jalan penuh pepohonan yang rindang. Melindungi para pemakai jalan dari terik matahari. Tiba tiba Reni bicara memecah kesunyian.

" Bagaimana kabar teman barumu di Bandung mas? Masih terus berhubungan kan?
" Mungkin baik baik. Hanya sempat ketemu sekali setelah perkenalan itu. Dia tulis surat sekali setelah itu. Baru sempat membalasnya minggu kemarin sesudah pendadaran".
" Katanya jatuh cinta kok nggak menggebu gebu. Seperti jaman Siti Nurbaya".
"Tak ada yang harus kukejar. Saya baru saja lulus. Dia juga sudah menjanda. Lebih baik saling menyelami dan saling mengenal dulu".
"Apa mas Bram tak merasa tergesa gesa?"
"Saya baru akan berpikir kawin jira sudah mapan. Paling tidak karier sudah jelas. Di jalan yang benar".
"Tetapi kan mas Bram cinta betul sama dia. Siapa namanya? Lupa saya".
"Namanya Rosa. Pipit Rosalina. Saya yakin mencintainya. Hanya belum berani memastikan sekarang. Hanya masalah waktu".
: Baru pertama kali bertemu langsung jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertamakah?".
” Dalam bis itu gelap gulita Reni. Gimana mau jatuh cinta pada pandangan pertama?".
" Kok mas Bram yakin betul kalau jatuh cinta sama Rosa".
" Secara instink, tanpa sengaja, kami melakukan perbuatan diluar batas. Saya begitu terpana melihat dia pasrah di pelukan saya. Menikmati belaian saya. Mencapai puncak kenikmatan dalam pelukan saya. Perasaan saya terbawa. Seolah kami berdua berjalan dalam kegelapan malam menyongsong esok pagi".
" Hiih kok bisa sampai sejauh itu. Kita bergaul rapat. Bergurau hangat. Kadang kadang berdua sendirian dalam kamar. Tak pernah sampai meremas jari jemari. Semua berjalan wajar. Normal normal saja".
" Kita bersahabat layaknya saudara dekat. Hubungan kita sangat platoonis. Tak pernah ada asmara dan nafsu birahi menggelora. Reni saya selalu menganggap kau layaknya adikku".
" Asmara memang aneh mas Bram. Saya tak tahu apakah saya mencintai mas Herman sepenuhnya. Hanya merasa dekat. Tetapi hubungan kami rasanya sangat formal".
" Perjalanan hidup memang penuh warna. Banyak hal tak terduga. Banyak pilihan. Kita harus mampu menetukan pilihan terbaik ke depan Reni".

Mereka sampai di pantai menjelang matahari terbenam. Langit memerah di cakrawala. Permukaan lautan yang luas dan tenang. Indah dan damai. Hening mereka tenggelam dalam alunan pikiran masing masing. Bram menggandeng tangan Reni dengan limpahan rasa sayang.

" Mas Bram, jira kita sudah terikat dengan pasangan masing masing apa bisa menikmati kedekatan seperti ini ya?".
" Kita akan tetap bersahabat. Bahkan bersaudara. Persaudaraan yang abadi. Tetapi kita mungkin sudah terikat dengan pasangan dan keluarga masing masing".
" Mungkin tak sempat memikirkan apa yang pernah kita lalui bersama ya?".
" Kita masing masing akan punya babak baru dalam hidup kita Reni. Kau tahu saya tak punya teman putri yang lain. Hanya kau sahabatku. Saudaraku".
"Terima kasih. Semoga anda selalu bahagia. Terkabul cita citamu mas. Mantapkan hatimu dengan orang yang kau cintai. Saya akan selalu berdoa untukmu. "
" Reni persahabatan kita akan berjalan sepanjang masa".

Bram mengakhiri percakapan dengan memeluk Reni. Berpelukan dalam keheningan masing masing. Persahabatan yang intens. Lewat jam enam Bram dan Reni masuk salah satu rumah makan di pantai. Angin malam bertiup sepoi. Mnghantar hawa sejuk dari laut. Sesejuk dan sedamai pasangan sahabat. Sahabat dalam arti yang sebenarnya.

Friday, April 17, 2009

(14) Surat dari Yogya

Enam bulan telah lewat sejak pertemuan terakhir dengan Bram. Paling tidak dua tiga bulan sekali, Rosa ke Yogya untuk mengurus pemasaran pakaian jadinya. Dengan Barm, dia belum menceritakan kisah masa lalunya bersama Dedi. Asmara yang menggebu yang akhirnya kandas dalam perkawinan yang gagal. Tetapi lega rasanya telah menyampaikan kondisi yang sebenarnya tentang dirinya. Tentang Tita. Bahwa dia seorang janda. Terhempas dalam perjalanan perkawinan. Tak ada beban lagi. Apapun yang terjadi akan dihadapi dengan tenang. Tak ada yang perlu ditutupi. Inilah saya. Inilah Rosa bersama Tita.

Kadang terbersit kegetiran, mengapa tak ada kabar dari Bram? Mungkin dia kecewa mengetahui dirinya seorang janda ? Tak tahulah. Mungkin juga sedang sibuk menyelesaikan ujian akhirnya. Secara tak sadar dia mengharap sesuatu. Menanti kabar dari Bram. Menunggu sepucuk suratnya. Ingin rasanya menulis sesuatu. Tetapi nalurinya mengingatkan untuk menahan diri. Biarlah, apa yang terjadi, terjadilah. Apapun yang akan datang akan diterima dengan sabar. Mencoba sabar setelah menyadari dia terburu buru dalam kisah asmara menggebu sebelumnya.

Kegagalan rumah tangga Rosa tak hanya berdampak terhadap kehidupan pribadinya. Juga ke keluarganya. Bapak Kusuma, ayahnya seolah tak lagi bersemangat mengembangkan usahanya. Pabrik tekstil yang dirintis bertahun tahun dan mulai berkembang, lebih banyak dikendalikan oleh isteri bersama anak lelakinya Iwan. Iwan sebenarnya masih kuliah. Tetapi dia juga kurangi kegiatan akademiknya dan lebih banyak terlibat dalam pengelolaan perusahaan. Membantu mamanya. Sementara Rosa semakin menekuni produksi pakaian anak. Membutuhkan perhatian khusus. Dalam sebulan paling tidak selama seminggu dia harus mengunjungi toko toko pelanggannya di berbagai kota. Tita sudah terbiasa ditinggal sang mama. Dia dekat dengan bibik Irah, dengan Oom Iwan dan dengan oma dan opa.

Suatu sore rosa dan mamanya duduk duduk di depan pavillion. Menikmati udara sore hari sambil minum teh.

" Rosa, Dedi tak pernah menanyakan kabar anaknya?'
" Tidak ma. Saya senang tak ada komunikasi. Status sudah jelas. Dia tak ingin diganggu dan memutuskan hubungan"
"Apakah kau tak bermaksud kontak dengan orang tua Dedi di Jakarta ?"
"Biarlah ma. Saya memang tak berminat sama sekali. Tak ada kata kata sewaktu saya melahirkan Tita. Tak ada berita sewaktu ayah Tita pergi ke Australia. Ini semua sudah menjadi garis perjalanan hidup saya bersama Tita"
" Hati hati selalu nak. Saya dan ayahmu masih sedih melihat semua ini. Lihatlah papamu jadi begitu pendiam sekarang".
"Papa sama mama tak perlu terlalu sedih memikirkan saya. Bukankah saya telah bangkit? Usaha saya sangat berkembang. Dan saya sangat bahagia. Semua untuk Tita".
"Teman baru mu dari Yogya, Bram, gimana kabarnya?"
Rosa terkejut mendengar pertanyaan itu. Tak menyangka mamanya menanyakan masalah itu. Dalam hatinya yang dalam, terbersit harapan bertemu kembali dengan Bram. Dalam suasana yang lebih tenang. Ingin bicara dan membuka semuanya. Semua tentang masa lalunya.
"Bung Bram sedang sibuk ma. Menyelesaikan ujian akhirnya. Saya juga menunggu berita darinya. Moga moga telah beres semuanya".
"Hati hati nak. Jangan terlalu menaruh harapan. Dunia tak selalu seperti yang kita harapkan".
"Papa sekarang kok diam sekali ya ma. Kasihan dia"
"Dia terpukul benar dengan kegagalanmu. Kamu anak kesayangannya. Kebanggaannya. Dia akan bahagia melihatmu bahagia. Jangan mengeluh ke papamu".
"Enggak ma. Saya telah menerima semuanya. Melupakan semuanya. Hanya melihat ke depan".

Percakapan sekilas dengan mamanya memberi kesadaran yang dalam buat Rosa. Dia tak ingin melihat apa dan mamanya terbebani karena dia. Dia mantap ingin menunjukkan kalau dirinya kuat. Menjalani perjalanan hidup yang berat ke depan. Esok hari sesudah percakapan itu, sepucuk surat datang dari Yogya. Dari Bram. Kabar yang ditunggu tunggu selama ini. Dia berdebar. Gembira menerima surat itu. Dia baca dengan tenang di malam hari setelah Tita tidur. Dengan tenang. Apapun isinya. Tulisan tangan yang indah tertuang dalam kertas warna jambon lembut. Hatinya berdesir membaca kata demi kata dalam surat itu.

Salam hangat buat Rosa,

Lama aku ingin menulis sesuatu buatmu. Namur maaf saya selalu ragu untuk mengirimnya. Ragu bagaimana mengungkapkan pikiran dan perasaan saya dalam surat. Inilah surat saya yang pertama. Moga moga kau membacanya dalam suasana yang tenang. Terima kasih sekali atas surat yang kau kirimkan beberapa bulan lalu. Saya masih baca berulang kali. Sambil membayangkan wajahmu yang indah.

Dari mana saya harus mulai surat ini ? Saya ingin sejak dari awal. Sejak kita berkenalan. Saya merasa begitu bahagia ketika berjumpa dan berkenalan denganmu. Dalam perjalanan malam ke Bandung. Banyak harapan dan impian datang dalam benak saya. Mengenai hubungan kita selanjutnya. Ingin berjalan bersamamu menatap masa depan. Melintasi kegelapan malam menatap esok hari yang indah. Seolah perjalanan malam itu menggambarkan kelanjutan persahabatan kita. Saya berharap dan berimaginasi. Impian dan harapan ini yang membawa saya melakukan sesuatu yang tak patut malam itu. Mohon maaf sekali lagi. Saya melakukannya bukan karena iseng. Saya lakukan itu dengan impian indah dan harapan perjalanan ke depan. Dengan penuh rasa hormat dan penghargaan buatmu.

Rosa,
Tak banyak waktu kita untuk saling mengenal lebih dalam. Juga tak banyak kesempatan untuk memikirkan masa depan persahabatan kita. Tetapi rasa kekaguman dan kedekatan saya tak terusik sedikitpun saat kau menceritakan tentang Tita. Tentang dirimu. Kekaguman saya tak akan lekang oleh panas. Tak akan lapuk oleh hujan. Abadi sepanjang masa. Hanya keraguan bagaimana melewati banyak pertanyaan dan ketidak mengertian. Dari keluarga. Dari kerabat dan sahabat. Saya akan mencobanya dan akan datang padamu.

Saya baru saja menyelesaikan pendidikan saya. Minggu kemarin baru saja pendadaran. Seolah mengharapkan kau menemani saat pendadaran itu. Walau kita hanya sahabat. Persahabatan yang moga moga berkembang abadi untuk hidup kita bersama. Saya akan segera mencari pekerjaan. Minggu minggu ke depan akan ke Jakarta. Saya akan sempatkan ke Bandung dan menemuimu. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Mungkin belum bisa kita putuskan. Tak perlu tergesa kan ? Tak ada yang mengejar. Kita bicara tentang perjalanan panjang. Perjalanan hidup menyusur waktu ke masa depan.

Salam hangat dari Yogya.

Bram

Thursday, April 9, 2009

(13) Selamat tinggal kesunyian

Dari hari ke hari, Rosa hanya menanti. Menanti kedatangan Dedi sebelum berangkat ke Australia. Ingin mendengar kata kata dan selamat tinggal. Dia ingin memeluknya dan membisikkan kata kata mesra perpisahan. Dia akan menunggu. Dia akan mendoakan keberhasilan Dedi demi kebahagiaan mereka bertiga. Namun sampai hari keberangkatannya. Dedi tak pernah muncul. Tak ada kata perpisahan. Tak juga lewat telepon. Rosa tetap menunggu dalam kesunyian yang dalam. .Namun dia terhibur karena Tita. Hanya bersama Tita dia menyelami hari hari yang sunyi. Kira kira sebulan kemudian, dia menerima kiriman warkat pos. Alamat pengirim tak jelas. Dari NewCastle, Australia. Ternyata dari Dedi. Isinya singkat dan jelas.

Rosa sayang,
Maaf jika saya tak sempat datang ke Bandung sebelum berangkat. Sampai detik detik terakhir sebelum keberangkatan, saya masih begitu sibuk menyelesaikan dokumen dokumen kontrak di kantor. Bahkan saya tak sempat pamitan dengan mama dan papa. Mereka sedang keluar kota. Hanya bicara lewat tilpon. Moga moga anda dan Tita selalu sehat sehat saja. Sampaikan maaf saya ke papa dan mamamu. Juga ke Iwan. Mohon maaf jika saya tak sempat pamitan ke mereka. Perpisahan ini hanya sementara. Walau mungkin akan lama. Paling tidak dua tahun. Saya akan mencoba pulang menengokmu setelah setahun menjalani program. Saya harap Rosa bisa mengerti situasi yang saya hadapi. Semua demi kebahagiaan kita bersama.
Sayang selalu untukmu dan untuk Tita,
Salam dari Newcastle,
Dedi.

Rosa membaca pesan itu dengan tenang. Ada kekecewaan yang dalam. Namur perasaan itu diredamnya dalam dalam. Dia tak lagi menangis dan merasa sedih. Rasa jengkel dan marah mulai marayap dalam hatinya. "Tega benar dia meninggalkan saya dan Tita tanpa kata perpisahan". Semua kekecewaan, jengkel dan marah diredam dalam hati. Dia hanya diam.

"Kok Dedi tak datang datang lagi Rosa? Baik baik kan semuanya?" Mamanya suatu sore bertanya.
" Iya ma mungkin saja sedang sibuk pekerjaan"
"Sibuk sih bisa saja. Tetapi masak nggak kasih kabar sedikitpun?"
Rosa tak bisa berucap apa apa. Hanya membisu. Matanya berkaca kaca. Tak bisa mengendalikan.
"Ada apa nak? Ada sesuatu yang nggak beres? Katakan apa adanya".
"Ma, kak Dedi ke Australia sudah sebulan ini. Mungkin lama karena ambil program paska di sana"
"Apa katamu? Dia ke Australia? Mengapa nggak pamitan sama mama dan papamu?. Dia bilang sama kau?"
"Iya ma, waktu ke sini bulan lalu, dia bilang singkat. Saya pikir dia masih akan datang ke sini untuk pamitan".
"Moga moga semuanya baik baik saja nak. Tetapi keterlaluan. Tak ada kata sepatahpun untuk papa dan mamamu"
"Dia mohon maaf ma untuk mama dan papa. Katanya tak sempat pamitan. Juga tak sempat pamit sama papa dan mamanya. Sangat sibuk sampai menjelang berangkat".
"Pekerjaan memang tak akan ada habisnya kalau dituruti. Tetapi tak harus melupakan keluarga, tak harus melupakan anak isteri".
'Saya baru terima suratnya dari NewCastle hari ini ma. Saya siap sendirian dalam waktu yang lama. Bersama Tita".
"Saya akan bilang sama papamu. Kau harus tegar dan tabah nak. Jangan gampang menyerah".

***

Bulan berganti bulan. Irama hidup sehari hari berjalan seperti sedia kala. Rosa masih sempat mengikuti kegiatan perkuliahan. Tidak teratur seperti dulu. Dia harus meluangkan waktu untuk Tita. Kadang kadang berita datang dari Dedi. Cuma singkat mengabarkan bahwa semuanya berjalan baik. Tak banyak menanyakan keadaan Tita. Kadang berbulan bulan tak ada berita. Rosa juga tak berminat mencari tahu atau menghubungi. Juga tak mencoba menghubungi papa dan mama Dedi di Jakarta. Bulan bulan pertama Rosa kadang kadang mencoba tilpon orang tua Dedi. Tetapi pembicaraan terasa kaku. Sama sekali tak akrab. Mungkin dia sendiri yang merasa tak bisa akrab. Tak tahulah.

Rosa menyadari kalau dia tak bisa sekedar mengharapkan hidup dari papa dan mama. Dia ingin mandiri, paling tidak mempunyai sesuatu sendiri. Meski sebenarnya papa dan mamanya tak mengharapkannya. Mereka tak kekurangan materi sedikitpun. Mama dan papanya punya pabrik tekstil yang sudah berjalan. Rosa akhirnya memutuskan memulai usaha sendiri. Usaha pakaian jadi. Membuat pakaian anak anak. Mungkin karena dia selalu memikirkan pakaian untuk Tita. Dia berpikir, kalau bisa memproduksi sendiri pakaian anak. Mulai usaha kecil kecilan. Dia mulai menggaji beberapa pegawai dan menggunakan ruang pavillion samping untuk tempat usaha. Papa dan mamanya sangat mendukung dan selalu memberikan pendapat bagaimana meningkatkan mutu dan memasarkan pakaian jadinya.

Hampir terlupakan kesunyian yang selama ini membayangi. Lewat setahun setelah kepergian Dedi, tiba tiba saja di satu siang sehabis makan siang dia menerima suratnya. Isinya singkat tetapi mengubah jalan hidupnya ke depan.

Rosa yang baik,
Semoga kau dan Tita selalu dalam keadaan baik di Bandung. Saya di NewCastle juga selalu dalam keadaan baik. Lama saya tak memberi kabar. Memang sangat sibuk menghadapi kuliah. Tetapi ada sesuatu yang membuatku lama tak menulis. Semakin lama saya semakin menyadari jika kita mungkin tak bisa berjalan bersama. Selama ini saya hanya mengejar cita cita masa depan saya sendiri. Tak banyak memperhatikanmu dan Tita. Saya merasa tak bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami dan seorang ayah. Biarlah saya pasrah menerima keadaan ini. Rosa, semoga kau bisa memperoleh kebahagiaan walau tanpa aku. Kerjarlah cita cita dan kebahagiaanmu. Mungkin suatu saat kita akan bertemu dalam keadaan yang leih baik.
Salam dari New Castle, Dedi.

Surat itu dibacanya dengan tenang.. Tak ada kesedihan karenanya. Tak ada dendam dan kemarahan. Dia semakin mantap untuk bekerja keras mengembangkan usahanya demi anaknya . Demi Tita. Dia sudah duduk di tahun ketiga fakultas ekonomi ketika harus memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah. Demi anak dan demi kelancaran usahanya. Tak bisa semuany dijangkau pada saat yang sama. Harus mengambil keputusan mana yang perlu diprioritaskan. Proses perpisahan dengan Dedi berjalan lancar walau makan waktu lama. Dia juga tak banyak menuntut. Dia merasa mampu sendiri melakukan segalanya demi masa depan Tita. Tak perlu mengharapkan uluran Dedi.

Semuanya menjadi cerita masa lalu Dia ingin melupakannya. Dia hanya ingin melihat ke depan. Apapun jadinya. Usaha pakaian jadinya dia kembangkan. Dia buka workshop untuk memproduksi pakaian jadi khusus pakaian anak. Dia beri merk produknya Titania. Semuanya demi Tita. Selamat tinggal kesunyian. Selamat tinggal kepedihan.

(12) Akhir sebuah impian

Beberapa bulan setelah melangsungkan pernikahan, Dedi lulus dan menyandang gelar sarjana ekonomi. Rosa sangat bangga dengan keberhasilan sang suami. Dia yakin benar, cita cita masa depannya menjadi wanita karier atau pengusaha sukses bisa tetap di kejar walaupun dia telah berkeluarga. Dia menaruh harapan bahwa Dedi akan mendorong dan memberikan bimbingan baginya berjalan ke depan. Suatu sore Dedi mengutarakan rencana mengejutkan. Dia akan kembali ke Jakarta. Bergabung dengan perusahaan papanya.

"Rosa, kesempatan untuk bergerak di Bandung sangat terbatas. Saya tak berani memulai dari nol di sini"
"Kak semuanya harus sabar. Tak ada yang turun dari langit. Kita mulai sedikit demi sedikit di sini. Kita berdua berusaha".
"Papa sama mama penginnya saya bergabung dengan perusahaan papa. Sedang investasi besar besaran untuk perluasan"
Papa Dedi punya banyak perusahaan. Bergerak di berbagai bidang. Import ekspor, distributor, supplier barang barang kebutuhan kantor beberapa departemen pemerintah.
"Jika begitu apa saya berhenti kuliah dan pindah Jakarta?".
" Lebih baik kau meneruskan kuliah di Bandung Rosa. Saya akan balik tiap dua minggu. Nanti kalau semua sudah mapan. Jika anak kita lahir pindah ke Jakarta".

***
Tak ada pertanda jelek pada awalnya. Dedi selalu menengok datang ke Bandung setiap dua minggu. Jum'at malam sampai Bandung, Senin pagi berangkat Jakarta. Kehidupan mereka normal normal saja. Biasa banyak pasangan penganten baru yang harus hidup terpisah beberapa saat. Menunggu sampai pekerjaan stabil. Rosa masih terus mengikuti perkuliahan meskipun perutnya semakin membesar. Hanya kegiatan diskusi dan kelompok belajar dia tak bisa ikut. Sore hari penginnya istirahat di rumah. Dia rajin membaca bahan kuliah.

Menjelang umur kehamilan ke tujuh, Dedi agak jarang datang ke Bandung. Alasannya sibuk, pekerjaan tak bisa ditinggalkan. Sering harus pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Rosa tak begitu merisaukan walau kadang sering merasa sepi. Dia hanya bicara dengan suaminya lewat tilpon, kalau tidak sedang bepergian. Rasanya pengin sekali dia ikut ke Jakarta. Tetapi Dedi selalu bilang, kalau di Jakarta suasana nggak enak. Lari ke sana kemari. Dia akan kesepian jika ikut ke Jakarta. Memang sejak pernikahan itu, Rosa belum sekalipun diajak ke Jakarta. Pengin dia bertemu dengan mertua, papa dan mama Dedi serta adik adiknya. Rosa hanya bisa mengiyakan meskipun dia sebenarnya pengin sekali ikut hijrah ke Jakarta. Dia pupus harapannya, inilah pengorbanan demi kebahagiaan bersama, demi masa depan dan demi anak yang dikandungnya. Semua pasangan baru pasti mengalami masa masa sulit untuk meniti perjalanan ke depan. Belum mapan. Semuanya masih berjuang untuk menata kehidupan berumah tangga.

Saat saat menjelang kelahiran bayinya, Rosa semakin rajin menilpun Dedi. Dua minggu sebelum hari perhitungan lahir, dia ingatkan agar siap siap menunggu kelahiran bayi mereka. Dedi memang mengiyakan akan datang ke Bandung waktu itu. Tetapi kemudian dia bilang bahwa ada jadual pekerjaan yang tak bisa ditinggal'

" Minggu depan saya harus ke Medan dan Pekan Baru. Ada kontrak yang harus dibicarakan tuntas sebelum ditanda tangani".
"Apakah tidak ada orang lain yang bisa mewakili perusahaan kak. Saya butuh kau bersama di sini?"
"Saya usahakan semaksimal mungkin Rosa. Hanya papa, mama atau saya yang bisa menuntaskan urusan ini. Papa ada janji dengan mitra investor Korea. Mereka juga akan datang dalam waktu bersamaan".
"Gimana saya mesti bilang sama mama dan papa jira kak Dedi nggak menunggu saya melahirkan? Rosa hampir terisak dalam tilpon. Dia tak bisa percaya kalau pekerjaan bisa demikian menyita kehidupan suazi isteri.
"Sampaikan maaf saya untuk papa dan mama. Saya akan datang secepat mungkin sesudah urusan selesai semuanya".

Tak semuanya dikatakan ke papa dan mamanya. Semua dipendam dan dirasakan sendiri. Hanya dia bilang sambil lalu kalau Dedi sedang sibuk luar biasa karena pekerjaannya. Agar papa dan mamanya tidak terkejut betul jika Dedi tak menunggu saat dia melahirkan nanti. Ketika waktu melahirkan datang, hanya adiknya Iwan yang ada di dekatnya. Rosa diantar Iwan ke rumah sakit bersalin. Mama dan papanya menyusul kemudian. Mereka baru membereskan urusan pabrik textil yang tengah mulai berproduksi di daerah Bandung selatan. Rosa minta Iwan menghubungi Dedi, namur tak pernah berhasil bicara langsung dengan dia. Iwan hanya meninggalkan pesan kalau kakaknya Rosa di rumah sakit akan melahirkan.

Hari Sabtu sore, Rosa akhirnya melahirkan dengan selamat. Semua lancar. Semua cerah secerah hawa Bandung sore hari. Seolah semua bahagia menyambut kedatangan bayi yang dikandung. Tetapi hati Rosa tetap gundah. Dedi tak juga muncul. Tak ada tilpun. Tak ada pesan. Iwan ikut merasakan kesenduan kakaknya. Tetapi dia hanya berdiam diri. Ketika kedua orang tuanya hadir di rumah sakit, Rosa tak mengungkapkan gejolak hatinya.

"Tak ada berita dari suamimu?" papanya bertanya.
"Mungkin masih di Medan pa. Tetapi Iwan sudah meninggalkan pesan lewat tilpon di rumahnya".
"Moga moga dia cepat menghubungimu'.
"Tak apa, tak ada yang perlu tergesa gesa. Moga moga saja kak Dedi cepat datang dan lihat anaknya".
"Tak semua ayah bisa menunggu kelahiran anak pertama. Banyak peristiwa terjadi bersamaan. Tetapi moga moga dia cepat datang Rosa".

Mama hanya berdiam diri. Dia memendam kekecewaan yang dalam. Tak suka dia memperlihatkannya. Hanya berdiam diri. Mencoba menghibur Rosa sebaik mungkin. Hari Senin pagi, Rosa kembali ke rumah bersama bayinya. Dia sudah siap dan merasa mantap menimang dan membesarkan bayinya sendirian. Jika memang harus demikian. apa boleh buat. Tak bisa berandai andai menunggu. Mungkin saja Dedi memang belum siap menerima kenyataan menjadi seorang ayah. Dengan persetujuan papa dan mamanya dia beri nama anaknya Titania Puspasari.

Hari Sabtu sore, Dedi akhirnya datang.. Naik suburban 4848. Wajahnya nampak lelah dan kuyu. Tak menyiratkan kegembiraan.
" Maaf saya tak bisa tilpon dari Pekan Baru Rosa. Hubungan telepon tak lancar. Saya terima pesan Iwan waktu tiba di Jakarta. Langsung ke sini".
"Semuanya lancar kak. Hanya papa sama mama yang menanyakan kak Dedi. Saya beri nama Tita. Titania Puspasari"
"Nama yang indah. Dia cantik seperti kau" Dedi memandang sekilas bayi di ranjang.
"Kak kapan saya bisa ikut pindah ke Jakarta?. Kan sesudah melahirkan, kita rencana pindah Jakarta".
"Tak usah tergesa Rosa. Biar Tita agak besar sedikit. Supaya nggak repot nanti"
"Kita akan tinggal bersama keluarga papa dan mama atau mau kontrak rumah sendiri nanti?'
"Mungkin tinggal bersama papa dan mama sementara".

Hanya semalam Dedi menunggu Rosa. Hari Minggu siang dia harus kembali ke Jakarta. Hari Senin ada acara rapat di kantor. Rosa mencoba menahannya untuk tinggal beberapa hari lagi. Tak bisa meninggalkan pekerjaan katanya. Tak ada orang yang bisa menggantikannya di kantor. Dedi lebih banyak merenung selama di bandung. Tak sempat ke luar kemana mana. Hanya diam di kamar bertiga dengan bayi Tita. Semalam sempat bicara sebentar dengan papa dan mama. Mereka menanyakan gimana rencana lebih lanjut. Dedi menjawab jika belum punya rencana pasti.

Pagi menjelang keberangkatan ke Jakarta Dedi ingin membicarakan sesuatu dengan Rosa.
"Rosa, ada sesuatu yang musti saya beritahukan padamu."
"Apakah menyangkut kita bertiga?"
"Ya sedikit banyak menyangkut kita sekeluarga. Masa depan kita bersama"
"Katakan jira saya bisa membantumu kak"
"Sebenarnya sudah rencana lama. Tetapi saya tak pernah mengungkapkannya padamu. Saya ingin menempuh program paska sarjana di Australia"
"Berarti harus pisah jauh beberapa tahun kak. Paling tidak kan dua atau tiga tahun. Ada kemungkinan kami ikut nanti?".
"Iya paling tidak dua tahun. Saya tak tahu nanti mungkin kamu bisa menyusul bersama Tita. Tetapi bukan saat saat awal ini".
"Kapan rencana berangkat ?"
" Kira kira dua minggu lagi. Surat panggilannya baru saya terima saat kembali dari Pekan Baru kemarin".

Rosa tak bisa menutupi rasa sedihnya. Dia hanya menangis lirih. Dia ingin hidup seperti kebanyakan keluarga baru. Hudp bersama dan menikmati kebahagiaan. Bukan masalah uang semata. Dia tak pernah merasa kekurangan. Tetapi ketersendirian tanpa kebersamaan dengan suami itulah yang menyiksanya. Dia peluk suaminya dan menangis lirio di dada Dedi. Kesunyian yang mencekam. Keduanya tenggelam dalam perasaan masing masing.

"Sebelum berangkat, usahakan ke sini dulu ya kak. Juga pamit sama papa dan mama".
"Saya belum mengatakannya ke papa dan mamamu. Mungkin besok saja kalau mau berangkat ya".

Siang itu dia mengantar Dedi sampai pintu halaman. Dia seolah merasakan kehilangan orang yang diicintainya. Untuk masa yang lama.
"Ah moga moga ada jalan. Mungkin juga ini jalan terbaik untuk kami bertiga".

Sunday, March 1, 2009

(11) Terhempas


Hari hari ceria bagi Rosa dan Dedi seolah berjalan dalam mimpi. Dunia menjadi milik mereka berdua. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Tenggelam dalam kesibukan kuliah. Dalam waktu senggang, dia nikmati waktu bersama Dedi. Dedi orangnya pendiam, serius, penuh cita cita masa depan. Dia harus menjadi penerus ayahnya menjalankan roda perusahaan yang semakin membesar. Dia ingin belajar dan menggali pengalaman sebanyak mungkin. Ingin meneruskan studi ke luar negeri. Semua rencana diberitahukan ke Rosa. Mereka sama sama yakin akan hidup bersama meraih impian masa depan.

Juga Rosa, cita citanya terukir indah. Bersama Dedi yang dinamis. Seolah tak ada jalan ke depan tanpa Dedi. Semua pilihan tertumpu pada keterikatannya dengan Dedi. Mengukir masa depan yang gemilang. Untuk itu dia serahkan segalanya. Dia nikmati segalanya. Keheningan yang membara saat menikmati kebersamaan badan bersama Dedi selalu melayang dalam lamunan yang indah. Melayang di awang awang di antara irama napas yang memburu. Tak peduli resiko. Tak peduli kejadian sekitar. Hanya mimpi indah.

Suatu pagi, bangun tidur Rosa merasa tidak enak badan. Malas mau berangkat kuliah. Sudah berhari hari tak merasa enak badan. Juga beberapa hari ini tak sempat bertemu dengan Dedi. Dia ke kamar mandi. Ingin mandi biar badan terasa segar. Tiba tiba saja merasa mual di kamar mandi. Muntah muntah ketika membau odol saat sikat gigi. Badannya lemas tak keruan. Ada ketakutan. Kekhawatiran yang wajar. Dia belum datang bulan. Biasanya sekitar awal bulan. Ini sudah tiga minggu belum datang juga. Tiba tiba rasa takut menyelinap. Dia cepat cepat tilpun Dedi.
"Kak Dedi, saya ingin ketemu hari ini juga. Ada yang ingin saya bicarakan".
" Jika anda ada waktu sore ini lihat sinema di Braga. Saya kebetulan tak sibuk".
" Iyalah. Yang penting saya pengin ketemu". Rosa menegaskan.
"Sampai ketemu sore nanti ya. Pakai baju warna lila itu. Kau cantik sekali".
Rosa tak menyahut. Pikirannya kalut. Rasa takut membayanginya. Jangan jangan. "Ah tak mungkin. Saya selalu hati hati menghindari masa subur"

Hari itu Rosa tak berangkat ke kampus. Dia hanya tiduran di kamar. Ibunya bertanya kenapa nggak kuliah. "Tak ada pelajaran mami. Dosennya ke luar kota". Ibunya tak bertanya lebih jauh. Mama Kusuma selalu sibuk dengan industri tekstil yang dirintis bersama suaminya beberapa tahun lalu. Kebijakan pasar terbuka, membuka peluang untuk usaha swasta. Jam empat sore Dedi datang menjemput. Rosa tak sempat berbasa basi. Mereka cepat cepat berangkat. Mau nonton film di Braga. Rosa tak banyak bicara seperti biasanya.
"Mengapa kamu diam saja Rosa?"
"Saya takut. Saya belum datang bulan. Sudah terlambat 3 minggu".
"Nggak usah takut. Nanti kita bicarakan. Bukan masalah besar".
Mereka berdua diam saja dalam sinema. Rosa tak bisa konsentrasi menikmati film itu. Pikirannya melayang. Bayangan ketakutan menyelinap. Jika dia harus meninggalkan kuliah. Jika dia harus kehilangan impian impiannya.
***

Sore itu Rosa periksa dokter. Dokter Agung, praktek di jalan Purnawarman. Dia diantar Dedi. Dengan sabar dokter memberi nasehat agar tidak panik. Tidak perlu bingung. Setelah melakukan pemeriksaan dan test, dokter memberitahu Rosa dengan sabar.
"Rosa, berbahagialah. Anda hamil delapan minggu. Jaga benar benar kesehatanmu"
Rosa tertegun. Matanya menerawang basah. Tak tahu apa yang harus dikatakan.
"Dok, saya masih kuliah. Saya mungkin tak siap".
"Jangan kecil hati nyonya muda. Saya punya anak pertama sewaktu masih kuliah di tahun ke empat. Isteri saya masih di tahun kedua. Kami bisa menjalankan tugas orang tua sembari kuliah".
"Iya dok. Mohon doa restu saja".
Rosa meninggalkan tempat praktek dokter dengan gundah. Dia diam membisu. Di dalam mobil dia katakan dengan singkat ke Dedi.
"Kak Dedi, saya hamil delapan minggu". Dedi nampak terkejut. Wajahnya memucat. Dia mencoba tenang dan tak banyak berkata.
" Kita berdua belum siap Rosa. Apa yang akan kita lakukan? Nggak bisa dihentikan?
"Dihentikan berarti digugurkan kak. Saya nggak sampai hati. Ini anak kita".
" Iya Rosa. Cuma bagaimana dengan rencana studi kita? Apakah dapat tercapai jika kita berkeluarga dan beranak?"
" Rencana terpaksa berubah. Masih banyak jalan dan pilihan lain. Biarlah janin ini hidup. Saya ingin membesarkannya. Apapun yang terjadi. At any price".
Dedi hanya diam. Tak ada gunanya berdebat atau saling menyalahkan. Dia menyadari, ini kesalahannya dan kesalahan mereka berdua.

***
Mama begitu terkejut ketika Rosa dengan tangis tertahan mengatakan bahwa dia hamil. Dia begitu terpukul karena dia percaya sepenuhnya jika Rosa selalu taat dan mampu menjalankan petuah petuahnya. Penyesalan tak ada artinya. Selama ini mama Kusuma selalu sibuk dengan bisnisnya. Tak banyak waktu bersama dengan kedua anaknya. Iwan dan Rosa.

Sore itu, Dedi dan Rosa dipanggil dan diajak bicara bersama. Papa Rosa nampak begitu terguncang menghadapi kejadian yang menimpa putri kesayangannya. Dia juga tak banyak bicara. Dengan singkat dia berkata.
"Dedi, kejadian ini sangat memukul kami. Sangat mengecewakan. Tetapi semuanya telah terjadi. Kami hanya menginginkan agar semua diselesaikan secara bertanggung jawab. Tolong bilang sama papi dan mami. Bilang apa adanya, Kami harap mereka bisa menemui kami secepat mungkin untuk menyelesaikan ini"
" Iya oom. Saya minta maaf sebesar besarnya. Saya akan minta papi sama mami datang ke Bandung".
" Rosa, ini petaka yang berat untuk kita semua. Untuk papa dan mamamu. Tetapi saya minta kamu tetap tabah. Jangan sampai kandas. Perjalanan masih panjang. Jangan menyerah. Banyak jalan ke depan". Papa Kusuma berkata dengan pelan. Wajahnya sedih. Nampak lebih tua dari usia sebenarnya.

***
Perkawinan Rosa dan Dedi berjalan sederhana. Menjelang akhir tahun. Pesta sederhana di rumah. Dihadiri oleh sanak saudara dari kedua belak pihak. Pesta kebun di halaman yang teduh itu. Hanya Rosa, Dedi dan kedua orang tuanya yang tahu alasan perkawinan itu diadakan secara mendadak. Buat para kerabat yang hadir, hanya kebahagiaan saja yang terpancar dari kedua pengantin, juga dari kedua orang tua. Mereka punya alasan tepat untuk tidak merayakannya secara besar besaran. Suasana lagi tak menentu. Tak tepat bermewah mewah sementara situasi ekonomi sedang surut. Di mana mana mahasiswa sering demontrasi anti korupsi.

Halaman yang teduh itu menjadi saksi perjalanan gadis Rosa. Sejak kecil dia selalu bermain di halaman itu. Begitu dekat dihati Rosa. Juga saat pesta pernikahan yang terpaksa diadakan mendadak. Saat itu dia hanya berdoa semoga masih diberi kesempatan untuk meraih cita citanya di masa depan. Impian untuk hidup berbahagia. Sebagai wanita karier seperti mamanya. Rosa mencoba menimati suasana pesta. Ceria bersama Dedi.

Merasa terhempas. Tetapi Rosa yakin kalau belum kandas. Dia masih ingin memburu cita cita menjadi wanita karier. Apapun jalan yang harus ditempuh. Demi masa depannya. Dia ingin seperti mamanya. Pengusaha wanita yang sukses. Menjadi isteri dan mempunyai anak bukan hambatan menjadi wanita sukses. Dia pernah bercita cita jadi bankir. Mana mungkin sekarang?. Tak putus asa. Masih ada banyak jalan ke depan.

****
Kenangan masa lalunya seolah diputar begitu jelas dalam ingatan Rosa. Dia selalu duduk di halaman itu setiap sore. Menjelang matahari tenggelam. Bersama anaknya Tita. Mengenang kejadian kejadian yang telah dilaluinya. Perkenalan dengan Bram, seolah mengingatkan kembali peristiwa peristiwa yang menimpanya. Dia tak pernah putus asa karena peristiwa peristiwa itu. Dia merasa berhak meraih kebahagiaan. Meskipun dia terhempas. Menjadi janda di usia belia. Tetapi dia yakin tidak kandas dalam perjalanan hidupnya. "Saya terhempas, tetapi tidak terkandas". Dia peluk Tita. Dia ingat Bram kenalan barunya yang dia kagumi. Ingatan akan masa lalu tidak mengecilkan hatinya. Untuk mengagumi dan dekat dengan Bram.