Saturday, February 21, 2009

(10) Hidup bukan impian




Hari Minggu sore, Rosa bermain bersama Tita, putri tercinta. Di halaman depan di mana dia beberapa minggu lalu duduk bersama Bram di sana. Titania Puspasari, panggilannya Tita, baru berumur dua tahun lebih. Beberapa bulan lalu baru merayakan ulang tahun ke dua. Ulang tahun hanya bersama mama, opa, oma dan oomnya Iwan. Tak ada orang lain. Merekalah orang orang yang hadir dekat dalam kehidupan Tita. Juga bibik Irah. Tak ada papa. Dia masih polos dan belum mengenal papa. Belum juga punya naluri untuk bertanya. Suatu saat pasti dia akan bertanya. Dan Rosa harus siap memberikan jawabannya.

Kadang Rosa merasa getir, bagaimana menghadapi situasi itu. Bagaimana saat Tita masuk sekolah dan melihat teman temannya bersama papa dan mamanya. Dia pasti akan bertanya. "Mama Rosa, teman teman saya selalu diantar papa sama mamanya. Dimana papa Tita?" . Kadang merasa takut membayangkan pertanyaan itu. Hidup memang bukan impian. Banyak peristiwa di luar kendali manusia. Sewaktu gadis dulu, dia selalu menatap kehidupan dengan penuh harapan akan kebahagian. Dunia seolah sorga penuh impian indah. Sayang tak selamanya impian bisa terwujud. Dia pernah terhempas dari impian impian itu. Dia pernah jatuh karena asmara. Tetapi dia merasa yakin untuk bangkit kembali. Hidup adalah pilihan. Kebahagiaam adalah hak setiap manusia. "Tita, mama akan berjuang untukmu dan untuk kita". Rosa selalu berpikir, karena Tita, dia berjuang untuk meraih kembali kebahagiaan dalam hidupnya. Dia belum terkandas, dia belum terhempas.

Sore itu Rosa merasa punya rasa percaya diri kembali untuk menghadapinya. Ingat saat duduk bersama Bram di tempat itu. Perkenalan dengan Bram sangat berarti buat Rosa. Selama ini hatinya dingin membeku terhadap pria. Hatinya begitu sakit dan terhunjam jika mengingat peristiwa masa lalu. Seolah kebahagiaan dan masa depannya telah direnggut secara paksa. Oleh situasi yang tak terkendali. Oleh seseorang yang telah mengkianati cintanya yang polos. Bertemu dengan Bram, dia merasa punya semangat kembali untuk mengarungi perjalanan ke depan. Jika itu mungkin. Jika Bram tak menjauh lagi. Tak ada keterikatan di antara mereka. Hanya rasa sesaat yang baru muncul. Rasa saling ingin melindungi dan membahagiakan. Rosa tak merasa rendah diri, walau dia sudah menjanda. Dia merasa lega setelah memberitahukannya ke Bram. Whatever happens, this is me. Pikirannya melayang ke masa masa lalu. Jangan lagi terkecoh impian indah. Jika toh Bram kecewa akan keadaan dirinya, Rosa tak akan berkecil hati menghadapi. Apapun yang terjadi terjadilah. Akan dihadapi dan diterima apa adanya.

***
Masih jelas benar pertemuan pertama dengan Dedi empat tahun lalu. Senja yang indah. Penutupan masa perploncoan. Semua mahasiswa dan mahasiswi selesai menjalani perploncoan berpakaian normal layaknya mahasiswa. Dalam dua minggu ini mereka mengalami tekanan mental dan fisik yang sangat. Harga diri dan kebanggaan sebagai mahasiswa seolah dirampas dan dicerca. Pakaian tak pernah layak. Selalu dengan atribut atribut brengsek, simbol perploncoan yang tak jelas maknanya. Sore itu Rosa berpakaian normal kembali. Warna gelap. Masa konyol perploncoan telah selesai. Malam penutupan menanti.

Dia sendirian menghadiri malam penutupan. Belum banyak teman yang dia kenal. Semua pakai nama brengsek selama plonco. Rosa diantar Iwan, adiknya ketempat pesta di kampus. Iwan janji akan menjemput setelah pesta usai. Pesta begitu meriah dan mengasyikkan. Lepas dari tekanan dan kekangan selama dua minggu. Puncaknya pesta dansa. Mula mula irama musik keras menghentak. Semua peserta bergerak bebas menggoyangkan tubuh. Suara musik begitu memekakkan telinga. Tubuh asal bergerak berjingkat jingkat mengikuti irama musik. Semakin malam alunan musik semakin menghanyutkan. Lewat jam sepuluh musik beralih ke irama ballroom.

Rosa senang ballroom. Dia begitu menikmati dansa dengan irama tenang. Wallz, tango, rhumba, foxtrot. Ketika lagu "Raindrop keeps falling on my head", seseorang mendekat dan mengajaknya turun. Tak ada yang istimewa. Orang itu bukan teman plonconya. Mungkin seniornya. Dia menuruti ajakannya karena Rosa memang gemar foxtrot. Berdua bergerak mengikuti irama musik. Seolah melayang bersama. "Nama saya Dedi. Dedi Karnadi", pria itu memperkenalkan diri dengan sopan sembari membimbingnya di lantai dansa.
"Saya Rosa. Apakah anda kuliah di sini ?
"Di jurusan ekonomi. Tahun terakhir. Baru menyusun skripsi akhir"
"Enak dhong, nggak usak ikut plonco".
"Rosa, rupanya anda gemar dansa. Sudah luwes dan pas sekali gerakannya".
"Papa sama mama selalu dansa di rumah. Saya belajar dari mereka".

Tak banyak mereka bisa bicara. Suara musik menjadi penghalang untuk bicara banyak. Mau bisik bisik tak kedengaran. Mau bicara keras, dibilang anak kampung sedang ronda. Ketika musik berganti lagu Amor, berdua mereka menari rhumba dengan gemulai dan seksi. Papa selalu memuji Rosa, jika dia menari rhumba. Meliuk liuk ritmis mengikuti irama musik. Dedi teman barunya juga tak banyak bercerita. Bicara seperlunya. Sepertinya selalu serius. Ceritanya dia tinggal di Bandung sendirian. Asli Jakarta. Hampir tiap dua minggu pasti balik ke Jakarta di akhir pekan. Tinggal di daerah sekitar Dago.

Menjelang tengah malam Rosa mulai gelisah. Iwan belum juga datang menjemput. Dia pesan tadi agar Iwan menjemputnya sebelum tengah malam.
"Jika tak keberatan, saya bisa antar. Saya tinggal di Dago".
"Enggak apa apa? Saya tinggal di Cisitu. Mestinya adik saya akan menjemput. Papa pasti sudah menunggu".
"Nggak usah kuatir, kita satu jurusan. Saya antar sebentar"
Mereka berdua pulang naik mobil Dedi. Rosa terkesan sikap Dedi yang sopan. Membukakan pintu mobil dan membimbingnya masuk. Pelan pelan mereka menyusur jalan Dago. Angin malam dingin kadang menerpa masuk lewat kaca jendela. Sampai rumah ternyata Iwan sudah berangkat sejak jam sebelas tadi. Papa Rosa heran ketika anak gadisnya datang diantar pria yang belum dikenalnya.
"Mana adikmu, Iwan?"
"Pah saya nunggu nunggu dia kok nggak muncul muncul. Lalu saya diantar oleh kak Dedi".
Dedi cepat cepat pamitan setelah menyerahkan. Masih sempat memberikan kartu nama sebelum pergi. "Bisa hubungi saya jika ada butuh informasi tentang kampus".
"Terima kasih kak Dedi, mau ngantar saya. Kapan kapan ketemu lagi".
Hari hari berlangsung normal kemudian. Dedi semakin sering menemui Rosa. Menjemput dan mengajak jalan jalan di akhir pekan. Mulanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Namun Rosa menikmati hubungan mereka. Mungkin lebih dari sekedar teman dekat. Ada getaran selalu muncul di balik senyuman mesra. Tak bisa diingkari. Keduanya masih sama sama muda. Masih penuh dengan impian dan gairah asmara yang indah.

***
Bulan bulan berlalu dengan nyaman. Rosa teratur mengikuti kegiatan akademis perkuliahan di fakultas ekonomi. Tak banyak kesulitan ditemui. Karena dia memang menyenangi. Juga karena bantuan Dedi, yang empat tahun lebih senior darinya. Dedi sangat membantu dan membimbing Rosa menyesuaikan dengan disiplin dan kehidupan akademis. Mereka juga mengakui ada hubungan istimewa. Antara pria dan wanita.

Dedi tak lagi sering pulang Jakarta. Akhir pekan dimanfaatkan mengunjungi Rosa. Mereka memanfaatkan waktu akhir pekan berduaan. Selalu saja ada acara. Entah di rumah, entah ke tempat teman, entah ke Lembang, entah dansa di klub mahasiswa Bandung. Seolah tak bisa dipisahkan lagi. Cinta pertama bagi Rosa. Perasaannya melambung setinggi langit. Papa dan mama Rosa juga memberi lampu hijau. Dedi berasal dari kalangan atas di Jakarta. Dari keluarga kaya.

Hari Minggu siang. Dedi seperti biasanya menjemput Rosa untuk jalan jalan. Menjelang jam makan siang. Mereka makan siang di dekat Braga. Habis makan rencananya mau cari buku di toko buku sekitar daerah itu. Ada beberapa buku teks yang harus dibeli. Rosa serius sekali mengikuti pelajaran. Setiap kuliah selalu disertai dengan penugasan yang harus dikumpulkan sebagai bahan penilaian semester. Mereka telah selesai makan ketika tiba tiba hujan deras mengguyur. Rencana ke toko buku batal. "Masih banyak kesempatan besok " pikir Rosa. Pelan pelan mereka menuju utara lewat jalan Dago.
"Baru jam satu Rosa. Tak usah tergesa pulang. Gimana kalau mampir ke tempat saya. Ada musik baru, busanova. Bisa mendengar suara musik"
Rosa agak ragu. Dia sudah beberapa kali mampir ke rumah Dedi, tetapi selalu diantar Iwan.
"Iyalah, di rumah paling saya tidur. Minggu siang acaranya tidur". Hari hari biasa tak pernah sempat tidur siang. Ada saja acara di kampus.
Akhirnya mereka singgah di rumah Dedi. Rumah dengan halaman luas. Dedi ditemani oleh pembantu suami isteri yang sudah di sana bertahun tahun. Pak Ading dan Bik Onah, asal Pengalengan. Mereka ikut keluarga Karnadi sejak sebelum membeli rumah di Dago itu. Di halaman banyak bunga terpelihara rapi. Kebanyakan bunga mawar dengan bau yang semerbak.
"Kok rumah sepi sekali kak?"
" Pak Ading sama bik Onah baru pulang ke Pengalengan. Katanya sih besok akan pulang. Nggak apa apa, kita berdua saja".

Mereka duduk di ruang depan sambil mendengarkan musik lembut. Busanova mengalun tenang menghanyutkan. Sementara hujan di luar tak juga reda. Musik membawa khayalan mereka melayang layang. Tak banyak percakapan. Hanya kadang kadang Rosa bicara lirih. Tangan mereka saling menggenggam dan rabaan raban halus membawa mereka berdua ke alam asmara yang serba indah. Sementara napas mereka semakin memburu. Ketika bibir bibir panas mereka saling memagut dan tangan tangan mereka saling meraba, keinginan datang menderu tak terbendung. Keinginan untuk menikmati kebersamaan fisik sampai tuntas. Pelan pelan mereka pindah ke dalam. Ke kamar tidur. Rosa tak mampu menahannya. Keinginan menghindar tersisih jauh di sudut hatinya. Tersapu gelora asmara yang membara. Seluruh tubuhnya bergetar disertai rasa nikmat melambung tiada tara. Dia menyambut mesra ketika Dedi mulai melepas pakaiannya satu persatu dan mencium dengan gairah lekuk lekuk tubuhnya yang indah. Semua berjalan alamiah. Melayang dengan ringan, Dan napas mereka memburu. Ketika puncak itu datang, napas mereka mengendur dan dan ada rasa puas luar biasa. Jam setengah lima sore ketika mereka bangun. Cepat cepat memakai pakain mereka kembali. Ada rasa kecewa muncul dari dalam hati. Dan Rosa terisak sejenak.
"Tak apa apa Rosa. Telah berlalu. Kita akan tanggung bersama".
Ketika sampai rumah mama Kusuma agak terkejut melihat anak gadis pulang dengan wajah murung dan lusuh. "Apakah kau sakit nak?". Rosa tak menjawab. Pertanyaan itu tak perlu jawaban khusus. Pertanyaan rutin seorang ibu yang penuh perhatian terhadap putri satu satunya.

Hari hari berikutnya berlalu secara normal. Dedi dan Rosa semakin akrab dan mesra. Apa yang mereka lakukan di rumah Dedi hari minggu itu terulang berkali kali. Entah di rumah, entah di tampat peristirahatan, entah di rumah Rosa jika papa sama mama nggak ada dirumah. Hidup begitu indah bergairah. Papa dan mama Kusuma, orang tua Rosa ikut senang melihat putri mereka begitu bergairah. Hidup seolah dalam impian. Dua anak manusia saling terbuai dalam dalam asmara. Terbuai kenikmatan dan keindahan. Mereka tak yakin akan berjalan selamanya. Hanya mengikuti naluri semata.

***
Rosa tersentak dari lamunan ketika Tita menghambur menghampiri. Dia nampak sangat gembira berlari lari di atas rerumputan. Ketika rasa gatal menyentuh kulitnya karena rerumputan itu, Tita berlari menghampiri mamanya.
"Mama, sakit ma"
"Jangan berguling di rumput. Kulitmu nggak tahan. Minum dulu ya nak" Rosa mengelus tangan Tita sejenak.
"Mama saya pengin terbang seperti burung. Bernyanyi sepanjang hari"
" Tita bisa nyanyi. Tapi nggak bisa terbang. Besok naik pesawat kalau sudah besar".
"Sama siapa ma. Sama papa?"
"Iya sama mama nak. Saya janji".
Matahari telah hilang dibalik cakrawala. Rosa menghela napas mengingat peristiwa yang lalu. Hatinya bertekat ingin melupakannya. Hanya melihat ke depan. Masa depan bersama Tita. Hidup memang bukan impian.

Sunday, February 8, 2009

(9)Termangu Di Simpang Jalan

Mereka bertiga tiba di stasiun Tugu masih pagi benar. Kebetulan kereta tak terlambat. Menjelang jam empat sudah masuk Yogya. Tak ada suara hiruk pikuk. Tak ada jeritan penjaja makanan. Tak ada nyanyian burung. Nyanyian yang menggambarkan kedatangan kereta di Yogya, adalah lagu Sepasang Mata Bola. Tetapi lagu itu menngambarkan kedatangan kereta di sore hari. Hampir malam di Yogya. Ketika keretaku tiba. Remang remang cuaca. Terkejut aku tiba tiba. Tak enaklah mendendangkan lagu itu di pagi hari, pikir Bram. Irama refrainnya juga seperti kereta langsir.

Sebagian besar penumpang lelap tidur sepanjang perjalanan Hanya Bram yang tak mengejapkan mata. Pikirannya kalut. Hatinya gundah. Bingung apa yang harus dilakukan dengan Rosa. Hati sudah terlanjur lekat. Tak membayangkan sebelumnya jika Rosa sudah mempunyai anak. Sudah menjanda. Bagaimana dia harus mengatakan pada ibu dan bapaknya? Bagaimana dia harus membukanya di hadapan teman teman di kampus. Dia dikenal sebagai aktivis di kampus.

Keluar dari stasiun berjalan menuju pemberhentian becak. Parasto dan Sinambela, beranjak pergi, sambil mengingatkan Bram " Ketemu di kampus jam sepuluh". Dia hampir tak mendengar. Masih merenung termangu di simpang jalan di depan stasiun. Hawa dingin menusuk, menembus sweeter rajutan warna merah ungu yang dibelinya di Bandung beberapa waktu lalu. Akhirnya dia menghempaskan diri di kursi becak dan minta diantar ke alamat rumahnya di selatan. Terlena di atas becak.

***
Matahari sudah tinggi ketika Barm terbangun. Hampir jam delapan. Cepat cepat mandi. Kemudian minta pak Djo membuatkan kopi. Bapaknya sudah berangkat ke kantor diantar sopir, pak Mardi. Sejenak Bram membaca koran Kedaulatan Rakyat. Sambil minm kopi. Perhatiannya tertuju ke berita utama yang memuat pernyataaan Gubernur AKABRI. "Insiden terbunuhnya Rene adalah kemunduran besar dalam pembangunan generasi muda dan demokrasi". Bram tak punya minat untuk membacanya. Pernyataan tak akan mengembalikan nyawa korban.
" Kenapa sudah necis, mau ke kampus ?" Ibunya bertanya menyelidik.
" Hasil misi kami di Bandung harus dilaporkan Bu. Hari ini akan dibuat kebulatan tekat".
"Sempat mampir ke rumah Pakdhe Dewanto?"
"Tak sempat sayangnya. Habis dari kampus menemui keluarga Rene. Kami sempat bertemu dengan saudara saudaranya. Tantenya yang menemui kami. Saya sampaian duka sedalam dalamnya."
" Jika selesai acara rapat, cepat pulang ya Bram. Keadaan sedang panas. Berita di televisi, selalu mengabarkan bentrok mahasiswa dengan polisi. Selalu was was saya. Bapakmu juga selalu menanyakan kau dimana. Rupanya nggak tenang dia di kantor"
"Tenang saja Ibu. Memang suasana sedang panas. Kami nggak akan memancing kerusuhan".
" Biar diantar pak Mardi. Dia harus njemput bapakmu jam dua nanti. Jangan naik motor".
"Nanti Parasto mau nyamperin Bu. Sekalian mau bicara dulu tentang hasil misi ke Bandung. Bagaimana harus melaporkan".
"Kapan kalau nggak sibuk, hubungi nak Reni ya. Setiap ketemu selalu kirim salam untukmu".
" Nggak enak Bu dekat dekat sama Reni. Dia sudah punya calon. Seorang dokter. Sedang ambil spesialis kandungan".
"Apa? Yang bener kamu Bram. Saya kok nggak dengar apa apa dari ibunya ya?.
Ibu Bram nampak terkejut sekali mendengar ucapan putranya. Bagaimana mungkin Reni sudah punya calon? Ibu Reni sobat karibnya selalu menanyakan tentang Bram dan tak pernah cerita apa apa. Dulu sih pernah bergurau, "Gimana kalau kita menjadi besan?". Tak perlu dirisaukan. Perjodohan hanya Tuhan yang tahu.

***
Dalam rapat di Pagelaran, Bram tak banyak bicara. Parasto melaporkan secara tuntas hasil pembicaraan dengan DEMA ITB. Tak perlu ditutup tutupi. Rene memang dibunuh. Tidak menjadi korban huru hara. Dia tak terlibat huru hara. Jelas dia dicegat, ditembak. Tubuhnya diseret ke atas truk yang mengangkut para calon polisi itu. Yang lebih membuat panas suasana karena versi polisi sangat berat sebelah. Mereka menutup nutupi keterlibatan para taruna calon polisi. Ketika mayatnya ditemukan di gudang kantor polisi, bukan mencari siapa yang mencampakkan tubuh malang itu di sana. Tetapi yang ditangkap dan ditahan adalah petugas polisi yang sedang jaga. Polisi pangkat rendah yang tak mampu berbuat apa apa melihat para taruna beringas itu menyeret tubun Rene yang penuh darah. Petugas jaga itupun telah lari menyelamatkan diri ketika mahasiswa ramai ramai masuk ke kantor polisi mencari korban.

Terjadi debat ramai oleh karena sebagian besar wakil mahasiswa menginginkan agar mahasiswa turun ke jalan. Akhirnya disepakati untuk membentuk panitia adhoc yang senantiasa akan memantau perkembangan situasi lebih lanjut. Khusunya bagaimana tindak lanjut secara hukum. Kekerasan telah menjadi dogma dan alat untuk mencapai segalanya.

Pikir Bram, entah sampai kapan kekerasan akan menjadi alat untuk menakut nakuti masyarakat demi kelangsungan kekuasaan. Apapun retorikanya. Entah itu demi stabilitas. Demi kelangsungan pembangunan manusia Indoinesia seutuhnya. Demi pertumbuhan ekonomi dan tinggal landas. Intinya sama saja. Kekuasaan dan penyelewengan. Moga moga tidak akan jatuh korban sia sial agi.

***
Pulang dari rapat Bram ragu ragu untuk terus pulang. Pikiran kalut. Mau kemana hari ini. Mau kemana masa depannya. Dengan siapa dia akan menjalani perjalanan ke depan? Dengan Rosakah? Tanpa rencana dia mnuju rumah Reni di Jeron Beteng. Moga moga dia nggak jaga di rumah sakit. Kemarin dulu dia bilang katanya sedang asistensi di THT.

"Hai mas Bram. Tumben mau datang ke sini? Katanya ke Bandung?" Reni menyambutnya ramah. Mereka duduk di belakang di bawah pohon jambu yang rindang. Bram dulu semasa kanak kanak sering sekali memanjat pohon itu, sementara Reni menunggu dibawah.
"Bapak sama ibu baru ke Solo, pulang besok. Saya sendirian sama simbok mas"
"Baru tadi pagi saya tiba dari Bandung. Hanya sehari di sana. Ke ITB kemudian mengunjungi keluarga Rene, mahasiswa ITB yang dibunuh taruna polisi beberapa hari lalu".
"Iya ceritanya gimana sih. Kejam amat dia disiksa ramai ramai kabarnya. Sampai badannya hancur. Benarkah itu mas Bram?"
"Sebagian besar ceritanya benar. Bagaimana kabarmu Reni ? Bagaimana kabar calonmu, dokter siapa?".
"Mas Herman? Dia baik baik saja. Tetapi serius sekali. Nggak pernah ngobrol hangat. Saya segan sama dia, tetapi kok rasanya begitu formal dan kaku ya"
"Reni, jangan menyesal. Anda sudah memutuskan. Jangan ragu. Keraguan akan membuat kita tak berjalan ke depan".
"Enggak ah. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Moga moga hanya butuh waktu untuk saling mengerti dan menyesuaikan. Omong omong, memangnya ada apa kok hari gini mau datang ke sini, mas Bram".
"Cuma pengin ngobrol saja. Rasanya kok kita nggak seperti dulu begitu bebas bercerita dan bercanda ya".
"Ya emangnya suruh seperti masa kanak kanak terus. Waktu kan terus berjalan".
"Reni, ada sesuatu yang akan saya ceritakan. Saya juga ingin dengar saranmu. Saya sedang kalut".
"Dengan senang hati saya akan membantu. Kita sudah saling membantu sejak kanak kanak mas Bram"

Bram menceritakan kisahnya dengan Rosa. Sejak perkenalan di bis malam sampai ke pertemuan di rumah. Lengkap dan lugas. Dia mengaku kalau benar benar jatuh hati dengan wanita yang dikenalnya di bis malam itu. Sudah begitu lekat dalam hatinya. Kemudian pertemuannya yang kedua kemarin. Hatinya begitu berbunga bunga ketemu Rosa kembali walau hanya sejenak. Namun tak disangka. Pengakuan Rosa telah membuatnya kalut dan gelap. Pengakuan bahwa dia seorang janda. Pengakuan tentang anaknya bernama Tita. Rosa belum menceritakan semuanya.

"Mas Bram,sulit saya memberikan saran. Bagi saya bukan masalah janda atau gadis. Masalahnya Mas Bram benar benar mencintai dia enggak. Kalau cinta dan mantap, berjalanlah terus. Kalau ragu, berhentilah sejenak. Lihatlah perjalanan anda ke belakang dan kedepannya.".
" Saya yakin mencintainya Reni. Keraguan saya bukan karena cinta atau tidak. Tetapi bagaimana menghadapi kenyataan. Kenyataan yang tidak selamanya bisa diterima".
Bram membayangkan bagaiman.a dia akan memberitahu bapak ibunya. Teman temannya mengenai Rosa.
"Mas Bram, berhentilah sejenak
. Lihatlah sekeliling anda. Lihatlah ke belakang dan ke depan. Perjalanan masih panjang. Tak perlu membuat keputusan terburu buru". Reni berkata lirih, sementara matanya berkaca kaca. Dia dengan Bram sejak kecil selalu dekat. Dalam canda. Tetapi dalam situasi sulit seperti ini rasanya dia merasa dekat sekali. Dia memeluk erat Bram tanpa ragu. "Berhentilah sejenak mas Bram. Jangan terburu". Bram tak berkata sepatahpun. Pikirannya melayang. Reni memang dekat di hatinya sejak kanak kanak. Hubungan kerabat yang kental. Tetapi ada getaran lirih yang dalam kali ini. Getaran yang tak pernah terasakan sebelumnya. Pikirannya bingung membayangkan Rosa. "Rosa, Rosa mengapa kita harus ketemu?". Termangu di simpang jalan. Antara jalan bersama Rosa atau Reni.

Sunday, February 1, 2009

(8) Bouginvila ungu



Kereta seolah merambat. Berjalan terengah. Kadang menjerit kelelahan. Orang naik kereta malam selalu pengin cepat sampai ke tujuan. Tak ada yang bisa dilihat dari jendela. Hanya kegelapan malam. Mungkin bintang bintang di langit. Jjika tak ada awan menutup medan. Masih terang tanah ketika mereka sampai di stasiun Bandung. Masih terlalu pagi untuk terus menuju kampus. Bertiga mereka naik taksi menuju jalan Dago. Kakak Parasto seorang dosen di ITB dan tinggal di kompleks Sangkuriang. Bisa ikut mandi atau cuci muka sebelum ke kampus. Bram merasa sangat gerah karena semalam hampir tidak bisa memincingkan mata. Hanya tertidur sebentar saat kereta mendekati Bandung. Pikirannya galau, mungkin enggak menemui Rosa? Dia tak sempat memberi kabar. Tetapi rumahnya dekat Sangkuriang. Lihat saja nanti.

" Tok, kenapa nggak memberi kabar?" Kakak Parasto menyambut dengan nada terkejut. "Bapak ibu baik baik kan?" Permadi, kakak Parasto menjadi dosen di ITB. Seorang insinyur sipil, lulus doktor dari Perancis.
"Ada kepentingan mendadak. Kami akan menemui DEMA ITB. Mencari fakta sebenarnya mengenai meninggalnya Rene" Parasto menjawab singkat dan memperkenalkan Bram dan Sinambela.
" Kami hanya mampir, sore ini akan kembali ke Yogya. Bisa ikut mandi dan ganti pakaian ya?". Mereka duduk di kamar tamu sambil minum teh. Permadi selanjutnya memberikan penjelasan tanpa diminta.
" Nggak tahu kenapa mesti pertandingan segala. Maunya sih untuk persahabatan. Tetapi nyatanya orang nggak siap secara psikologis. Terlalu dipaksakan. Kesebelasan ITB selamanya nggak pernah menang, kok sekali ini menang. Anak anak keliahatannya menumpahkan rasa gembira dengan meledek taruna taruna itu"
"Apapun penjelasannya pembunuhan berdarah dingin itu nggak bisa diterima mas. Kami akan bergerak. Rejim ini sudah keterlaluan. Arogan dan korup". Sinambela menukas.
" Semua generasi muda pasti nggak senang dengan penguasa militer sekarang. Tetapi pendekatan konfrontatif, tak akan efektif dan makan korban. Mereka selalu heavy handed. Mahasiswa dan kalangan kampus selalu dicurigai".

Bram minta ijin untuk cuci muka di belakang sekalian ganti baju. Dia sengaja memakai baju hitam dan celana hitam. Tak sempat istirahat lama lama. Sesudah ganti pakaian, Bram dan Sinambela menunggu di ruang tamu, sementara Parasto bicara dengan kakaknya Permadi bersama isterinya, Nina. Urusan keluarga. Ada bunga bouginvila ungu di sudut halaman depan. Bunga warna ungu itu seolah selalu membawa keheningan yang dalam. Bram selalu mengagumi. Bouginvila warna ungu yang hening, mengingatkannya ke Rosa. Hatinya berdesir.

Jam setengah tujuh, Nina isteri Permadi berangkat mengantar kedua anaknya yang masih duduk di sekolah dasar, berangkat ke sekolah. Bram menyapa ramah " Wah tugas rutin ya kak. Mengantar anak. Saya ambil segenggam boubinvilla ungu boleh nggak. Mau saya bawa ke kampus".
"Ngantar anak sih tugas bersama gantian sama mas Permadi. Dia baru ngobrol sama adiknya. Anak anak masuk sekolah jam tujuh. Silahkan kalau senang ambil bouginvila. Tetapi biasanya bouginvilla nggak untuk melayat lho".
"Terima kasih, nanti kami beli mawar sama sedap malam juga di Dago. Sekalian pamitan kalau nanti nggak sempat mampir kak Nina".

Menjelang jam delapan mereka berangkat ke kampus Ganesa, sekalian sama Dr Permadi berangkat kantor. Kantornya juga di kampus yang sama. Mereka mampir beli bunga. Bunga mawar, melati dan sedap malam. Bunga bunga itu dirangkai rapi dengan bouginvila ungu yang diambil dari halaman rumah Permadi tadi.

Mereka langsung menuju ke ruang Dewan Mahasiswa. Bertemu dengan ketua dan beberapa anggota pengurus. Semua dalam keadaan tegang dan sedih. Parasto atas nama seluruh mahasiswa Gadjah Mada, mengungkapkan rasa duka sedalam dalamnya atas gugurnya Rene. Dia juga menjelaskan maksud kedatangannya di Bandung untuk menyatakan dukungan bagi pihak mahasiswa ITB dan mencari fakta tentang kejadian tragis itu.. Penjelasan yang diperoleh dari pihak DEMA ITB singkat dan jelas. Rene Louis Conrad tidak terlibat dalam huru hara pertandingan sepak bola. Dia masih mondar mandir di muka kampus dengan Harley Davidsonnnya ketika truk rombongan taruna kepolisian itu keluar dari kampus. Beberapa saksi mengatakan kalau dia dihentikan oleh sekelompok taruna yang turun dari truk. Ketika dia berhenti beberapa taruna mendekatinya, dan tiba tiba saja salah salah seorang taruna menembak Rene dari belakang. Dia roboh dan langsung dinaikkan ke truk dan dibawa pergi. Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian itu kemudian ramai ramai mencari Rene.. Kisah selanjutanya sama persis seperti yang mereka terima sebelumnya. Mayat Rene ditemukan di gudang salah satu kantor polisi di kota Bandung. Dia meninggal kehabisan darah tanpa memperoleh pertolongan.

Setelah berdiskusi beberapa lama, mereka sepakat agar kasus pembunuhan ini diusut secara tuntas dan yang bertanggung jawab dibawa ke pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun dalam pembicaraan itu, ada rasa pesimis yang membayangi. Salah satu taruna yang terlibat pembunuhan adalah anak seorang petinggi militer. Kemungkinan akan ada skenario untuk menghindarkan proses hukum. Sesudah diskusi mereka bertiga diantar untuk meihat tempat di mana Rene ditembak di muka kampus. Masih banyak mahasiswa berkumpul di sana. Beberapa karangan bunga terserak di tepi jalan. Bram, Parasto dan Sinambela bersama dengan beberapa teman dari DEMA ITB mengheningkan cipta ditempat itu. Karangan bouginvila ungu, mawar, sedap malam dan melati diletakkan di tempat Rene gugur.

"Selamat jalan kawan. Selamat jalan anak muda. Semoga pengorbananmu tidak pernah sia sia. Semoga kekerasan dan kesombongan tidak akan menjadi alat kekuasaan. Beristirahatlah dalam keheningan yang abadi. Dalam damai. "

Tiba tiba seorang dengan kamera ditangan mendatangi mereka. Memperkenalkan diri sebagai koresponden radio Australia dan menanyakan sikap dan tindakan mahasiswa lebih lanjut setelah peristiwa pembunuhan itu. Ketua DEMA ITB menjelaskan peristiwa yang terjadi, Di akhir pembicaraan, Bram menyela " There are no appropriate words to describe this barbaric and coward murder. We will keep demanding that those who are responsible be brought to justice. Oppression and arrogance of this military regime will not last forever".

Setelah selesai acara di kampus, mereka diantar untuk berkunjung ke keluarga Rene di Bandung atas. Rumah dengan pekarangan luas di tepi jalan menuju ke Lembang. Masih banyak kerabat korban yang berkumpul di sana. Mereka ditemui oleh tante Rene, adik papa Rene. Bram atas nama segenap mahasiswa Gadjah Mada menyampaikan duka sedalam dalamnya dan berharap agar keluarga yang ditinggal selalu diberi ketabahan. Melihat tante Rene, Bram tak bisa menahan rasa iba. Kesedihan yang dalam dan putus asa nampak membayang diwajahnya. Dia peluk seolah dia memeluk ibunya. "Tante sekeluarga mohon tabah ya. Kami akan berdoa untuk Rene dan akan mengenang dia selamanya". Tak mampu menahan air matanya ketika mengucapkan kata kata itu. Sesaat dia ingat ibunya.

Jam tiga seluruh acara selesai. Mereka akan pulang malam itu juga dengan kereta ke Yogya. Masih ada waktu beberapa jam oleh karena kereta berangkat jam tujuh. Parasto mengajak mereka kembali dulu ke Sangkuriang, bisa istirahat sejam dua jam di sana. Mereka bertiga naik opelet lewat jalan Dago. Seharusnya turun di depan pasar Simpang. Namun Bram berkata " Saya akan ke Dago Bukit. Ke tempat pakdhe saya. Mungkin nanti ketemu saja di stasiun ya. Jam setengah tujuh".

Tiba tiba saja keinginan itu muncul. Dia ingin menemui Rosa. Tetapi dia belum memberitahu sebelumnya. Agak bimbang sebenarnya. Biar sajalah. Coba dulu ke rumah Rosa. Kalau nggak ketemu, terus ke tempat pakdhe Dewanto. Matahari masih memancar cerah sore itu, baru menjelang pukul empat. Angin semilir menghembus ringan mengurangi panas matahari musim kering. Dan Bram berjalan kembali di jalan itu di Cisitu. Menuju rumah nomer sebelas dengan bunga bunga kembang sepatu di pagar halamannya. Agak ragu ketika dia memencet bel.
" Gan, selamat sore. Mau ketemu sama ibu Pipit?" Pembantu membukakan pintu dan menyapanya ramah. "Kebetulan dia seharian nggak keluar. Silahkan masuk gan".
Bram memasuki pekarangan yang asri itu. Langsung menuju ke ruang tamu disamping rumah utama. Di tempat dimana dia beberapa minggu lalu berduaan dengan Rosa. Menunggu beberapa saat di kursi tamu. Suasana sepi tak terdengar kesibukan sama sekali. Sesaat kemudian Rosa muncul dengan baju warna hijau muda. Warna segar dan cerah. Nampak cantik dan ceria. Dia bangun menyambutnya. Dia kasih salam dan pelukan seolah sudah kenal lama sekali.
"Tak ada kabar sama sekali Bung Bram. Surat ku sampai enggak ya?" dia menyapa riang.
"Ada keperluan mendadak. Kami mengunjungi teman teman di ITB untuk mencari fakta pembunuhan kemarin dulu".
"Iya suasana tegang sejak peristiwa itu. Dua hari ini workshop saya tutup. Dari pada ada resiko. Mahasiswa dan anak anak muda marah sekali. Mereka lalu lalang di jalan. Moga moga cepat terselesaikan secara tuntas".
"Kami bertiga, malam nanti harus pulang dengan kereta jam tujuh. Ada waktu sebentar saya kesini pengin menemuimu"
'Terima kasih mau menyempatkan ke sini. Banyak yang ingin saya ceritakan sebenarnya jika anda punya waktu cukup".
"Take it easy. Saya akan mendengarnya. Jika belum mantap tak perlu cerita sekarang. Besok masih ada waktu lebih baik Rosa".
"Saya tak merasa tenang sebelum cerita ke anda Bung. Ini masalah prinsip. Masalah tentang kehidupan".
"Terserah mana yang terbaik buat anda Rosa. Saya tidak memaksamu. Saya siap mendengarnya".
Sejenak Rosa terdiam. Menarik napas dalam dalam menahan gejolak perasaannya.
"Maaf bung Bram, saya tak cerita sejak awal sewaktu anda ke sini dulu. Saya seorang janda. Perpisahan kami resmi diijinkan pengadilan belum ada enam bulan lalu. Saya bersama putri saya Tita. Dia baru dua tahun lewat"
Bram tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia sama sekali tak mengira apa yang diungkapkan Rosa. Dia terdiam beberapa saat menata pikiran. Pelan pelan dia berkata.
"Tak ada yang perlu disesali Rosa. Hidup adalah perjalanan. Perjalanan panjang ke depan. Banyak kemungkinan peristiwa terjadi dalam perjalanan."
" Hanya masa depan Tita yang menjadi impian saya Bung Bram. Saya tidak akan menyerah berjuang demi dia"
"Masih banyak kesempatan untuk bercerita. Jangan ceritakan semuanya saat ini"
Mereka duduk bersama sore itu. Tak banyak pembicaraan. Masing masing tenggelam dalam gejolak pikiran dan perasaan masing masing. Ada rasa kecewa menyelinap di hati Bram. Mengapa dia mesti mampir menemui Rosa kali ini. Masih ada kesempatan yang lebih baik. Akhirnya dia menutup gejolak perasaanya sendiri "Hidup memang sebuah perjalanan. Kadang kadang bertemu dengan sesuatu di luar rencana manusia. Biarlah segalanya berjalan seperti air mengalir".
Jam enam Bram pamitan. Dia salami tangan Rosa dengan erat. Pikirannya tak karuan saat itu. Tetapi tanpa dia sadari dia memeluk Rosa erat sekali. "Biarlah semuanya berjalan alamiah. Tak perlu kita paksakan. Kita saling berdoa Rosa. Moga moga terbuka jalan terang buat kita". Rosa menjawab lirih. "Maaf kalau anda kecewa. Hati hati di jalan. Saya akan tulis selengkapnya". Bram berjalan gontai meninggalkan rumah itu. Di ujung jalan dia menengok ke belakang. Rosa melambaikan tangan. Bram bertanya dalam hati " Apakah saya harus kehilangan dia?