Thursday, May 21, 2009

(16) Jakarta menanti

Mari bung mari kemari
Jakarta menanti nanti
Jangan bung janganlah lari
Ke Jakarta kembali

Mari mari
Sama sama pergi
Ke Jakarta kembali

Lagu tempo dulu. Syair itu mengingatkan daya tarik Jakarta bagi para lulusan baru.Jakarta seolah gerbang masa depan. Pintu ke dunia luar. Tak mungkin meniti karier tanpa lewat Jakarta. Bram tenang di kamar mendengar lagu keroncong itu mengalun pelan. Lamunannya melanglang bebas. Hari Minggu sore. Mau jalan ke luar malas. Dia ingat kelakar teman teman saat pendadaran " Sampai ketemu di stasiun Senen". Bahkan ada tulisan seorang teman, jika nggak salah dari Fakultas Sastra, dengan judul itu di harian Kompas. Menggambarkan betapa sempit pilihan bagi para lulusan. Mereka harus memilih dan bersaing secara ketat. Pilihan terbatas Sebagian ada yang punya semangat besar membuka usaha. Dunia usaha, penuh spekulasi dan ekonomi beaya tinggi. Semua aturan menjadi alat permainan mengeduk uang bagi para pemegang birokrasi. Kebobrokan birokrasi, tercampur korupsi dan penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan.

Parasto, tokoh pers mahasiswa. Pengin jadi dosen sekalian menerbitkan surat kabar. Minta ampun perijinan begitu mahal dan rumit setengah mati. Ada Surat Ijin Terbit, ada Surat Ijin Cetak. Dua duanya penuh liku liku dan beaya mahal. Tak mudah mendapatkan keduanya. Selain uang yang bisa sampai puluhan juta, juga harus ada koneksi orang dalam. Koneksi dengan penguasa. Semalam Bram sempat ngobrol dengan Parasto dan Sinambela akan rencana masing masing. Mereka lulus bersamaan. Tetapi tujuan lebih lanjut berbeda. Sinambela ingin pulang ke Medan, membantu usaha orang tua. Perkebunan dan perdagangan hasil bumi. Usahanya memang berkembang luas. Tetapi Sinambela punya keinginan lain disamping bisnis. Dia ingin terjun ke dunia politik. Paling tidak nantinya ke Senayan. Anggota DPR. Bapaknya dekat dengan tokoh tokoh partai penguasa di kota kelahirannya. Semua kenal pribadi dengan keluarganya.

***
Hari Senin Bram harus mengesahkan salinan salinan ijazah di kampus. Hari itu juga ada janji dengan Parasto dan Sinambela. Bertemu dan makan bersama di SGPC ( sega pecel) di kompleks Bulaksumur. SGPC hanya warung makan di kampus. Menjadi ajang berkumpulnya berbagai kalangan kampus, pegawai, dosen dan mahasiswa. Para aktivis kampus biasanya menghindari tempat ini. Alasannya mudah ditebak. Banyak intel berkeliaran di sana. Motifnya nggak jelas. Makan pecel atau mengintai gerakan mahasiswa. Mungkin keduanya. Intel juga manusia biasa. Mintanya ijin dari atasan, ingin memonitor gerakan anti pemerintah, anti orde baru di kampus. Tetapi sebenarnya hanya sekedar ingin makan nasi pecel sama tahu bacem. Kadang memang sulit membedakan tugas intelijen dengan tugas mengisi perut. Apalagi ada nasi pecel tahu bacem. Inilah hidup. Kadang juga lebih tertarik lihat mahasiswa pacaran di warung. Ini juga termasuk dalam tugas intel. Demi stabilitas nasional.

"Kapan berangkat ke Jakarta Bram?". Parasto membuka percakapan sambil menikmati nasi pecel sama kerupuk gendar.
"Mungkin seminggu dua minggu lagi Mas. Lagi ngurus surat surat. Ternyata syaratnya banyak benar.
"Aneh memang. Semua serba sulit. Pelayanan publik sangat jelek. Saya mengurus ijin terbit dan ijin cetak koran, seperti tak pernah ada akhirnya".
" Untuk melengkapi lamaran pegawai ternyata rumit banget syaratnya. Surat kelakuan baik. Surat bebas G30S. Keterangan lit sus".
"Apa itu lit sus?"
" Penelitian khusus. Bahwa tak ada keluarga dekat yang terlibat G30S/PKI atau simpatisannya".
"Gila, mau dibawa kemana negara ini?. Kita sebagai warganegara diperlakukan sebagai warga asing di negeri sendiri. Kau masih mantap ke Jakarta, Bram?.
"Cita cita saya hanya ingin jadi diplomat. Tak ada jalan lain, meskipun begitu sulit dan penuh kompromi. Saya tetap akan ke Jakarta".
" Iya penuh kompromi. Harus punya koneksi di dalam juga. Tetapi kau punya Oom yang bisa bantu kan?"
" Saya minta rekomendasi Oom saya. Gimana lagi, sistemnya memang begitu. Kita tak bisa mengubahnya dalam sesaat".
" Baca enggak tulisan Peter di Kompas? Jakarta memang selalu menanti nanti. Sampai jumpa di stasiun Senin. Saya sedih membacanya. Idealisme kebebasan kalah dengan upaya mencari masa depan ".
"Iya saya baca beberapa hari lalu. Benar adanya. Jakarta seolah magnit. Semua yang berkaitan dengan administrasi publik di Indonesia, harus ke Jakarta. Omong omong, mana si Sinambela?".
"Pasti dia akan datang. Tadi saya lihat di fakultas".

Tak lama Sinambela muncul. Banyak map di tangannya. Dia memang selalu gampang bergaul. Pasti ngobrol dulu di fakultas. Selalu ada saja yang diomongkan. Dengan siapapun.

"Sori terlambat kawan. Saya menemui beberapa dosen. Pak Siagian dari Kehutanan kenal baik sama bapak saya. Beliau titip surat".
" Mantap benar kau bung. Mau masuk partai yang mana?"
" Mas To, hidup di dunia nyata tak selalu seperti yang kita impikan. Saya tak ada masalah masuk ke partai penguasa. Itu jalan yang terbaik untuk ikut dalam arus politik".
" Apakah tak bertentangan dengan suara hatimu. Idealisme kita luntur begitu pegang ijazah ?".
" Selama partai dan penguasa tak melakukan hal hal di luar batas kewajaran, bagi saya tak ada masalah. Bukankah jika saya ikut masuk, nantinya juga ikut memperbaiki dari dalam. Bagaimana menurutmu Bram?".
" Setuju saya. Kadang hidup harus kompromi. Selama tak mengorbankan nilai nilai prinsip. Nilai kemanusiaan". Bram menukas singkat.
"Tak enak bicara politik di sini. Banyak telinga. Lebih baik bicara tentang kerjaan. Salah salah bisa ditangkap kita.".
"Bram dan mas To. Sebentar lagi kita akan berpencar. Dalam perjalanan panjang karier masing masing. Moga moga ini bukan pertemuan terakhir. Saya yakin kita masih akan banyak bertemu dan berdiskusi. Idealisme tak akan pernah mati".
"Kenapa anda jadi sentimental La? Tak mungkin kita bersama terus. Kita bersama menekuni idealisme kebebasan kampus selama beberapa tahun terakhir. Perjalanan harus terus. Hidup memang sebuah perjalanan panjang. Suatu saat kita bertemu dan bersama. Suatu saat kita berpisah meneruskan perjalanan masing masing".

Bram ikut terbawa emosional. Dia berpikir memang akan sulit kumpul kumpul kembali seperti waktu waktu kemarin. Masing masing akan sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan barunya. Hanya kenangan yang bisa dibawa. Kenangan indah kehidupan kampus.

"Jika anda pengin kumpul dan bertemu kembali. Datanglah ke Yogya. Saya akan tetap tinggal di Yogya. Saya akan tetap hidup di lingkungan kampus. Sampai kapanpun. Selamat jalan dan semoga selalu sukses".

Parasto menutup obrolan. Mereka berpisah. Semua hening. Tak akan sempat lagi bersama sama dalam hingar bingar kehidupan mahasiswa sepert kemarin kemarin. Mereka telah menjalani bersama sama dalam beberapa tahun terakhir. Dengan selamat. Tak ada yang terlumpuhkan. Hariman, kawan mereka dari Universitas Indonesia meringkuk di penjara selama beberapa tahun karena peristiwa Malari. Saat itu mahasiswa bergerak kejalan menantang kekuasaan rejim Suharto. Yogyakarta tetap tenang. Para aktivis sadar belum waktunya melawan rejim yang sedang menikmati puncak kekuasaan. Pasti terlumpuhkan.Bram, Sinambela dan Parasto, mewakili gambaran lulusan perguruan tinggi saat itu. Jika akan mengukir karier, jangan memusuhi penguasa. Berjuang dari bawah. Dalam sistem yang serba tidak trasparan. Tak berarti melupakan idealisme kebebasan. Hidup harus kompromi. Jakarta menanti nanti. M