Sunday, March 1, 2009

(11) Terhempas


Hari hari ceria bagi Rosa dan Dedi seolah berjalan dalam mimpi. Dunia menjadi milik mereka berdua. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Tenggelam dalam kesibukan kuliah. Dalam waktu senggang, dia nikmati waktu bersama Dedi. Dedi orangnya pendiam, serius, penuh cita cita masa depan. Dia harus menjadi penerus ayahnya menjalankan roda perusahaan yang semakin membesar. Dia ingin belajar dan menggali pengalaman sebanyak mungkin. Ingin meneruskan studi ke luar negeri. Semua rencana diberitahukan ke Rosa. Mereka sama sama yakin akan hidup bersama meraih impian masa depan.

Juga Rosa, cita citanya terukir indah. Bersama Dedi yang dinamis. Seolah tak ada jalan ke depan tanpa Dedi. Semua pilihan tertumpu pada keterikatannya dengan Dedi. Mengukir masa depan yang gemilang. Untuk itu dia serahkan segalanya. Dia nikmati segalanya. Keheningan yang membara saat menikmati kebersamaan badan bersama Dedi selalu melayang dalam lamunan yang indah. Melayang di awang awang di antara irama napas yang memburu. Tak peduli resiko. Tak peduli kejadian sekitar. Hanya mimpi indah.

Suatu pagi, bangun tidur Rosa merasa tidak enak badan. Malas mau berangkat kuliah. Sudah berhari hari tak merasa enak badan. Juga beberapa hari ini tak sempat bertemu dengan Dedi. Dia ke kamar mandi. Ingin mandi biar badan terasa segar. Tiba tiba saja merasa mual di kamar mandi. Muntah muntah ketika membau odol saat sikat gigi. Badannya lemas tak keruan. Ada ketakutan. Kekhawatiran yang wajar. Dia belum datang bulan. Biasanya sekitar awal bulan. Ini sudah tiga minggu belum datang juga. Tiba tiba rasa takut menyelinap. Dia cepat cepat tilpun Dedi.
"Kak Dedi, saya ingin ketemu hari ini juga. Ada yang ingin saya bicarakan".
" Jika anda ada waktu sore ini lihat sinema di Braga. Saya kebetulan tak sibuk".
" Iyalah. Yang penting saya pengin ketemu". Rosa menegaskan.
"Sampai ketemu sore nanti ya. Pakai baju warna lila itu. Kau cantik sekali".
Rosa tak menyahut. Pikirannya kalut. Rasa takut membayanginya. Jangan jangan. "Ah tak mungkin. Saya selalu hati hati menghindari masa subur"

Hari itu Rosa tak berangkat ke kampus. Dia hanya tiduran di kamar. Ibunya bertanya kenapa nggak kuliah. "Tak ada pelajaran mami. Dosennya ke luar kota". Ibunya tak bertanya lebih jauh. Mama Kusuma selalu sibuk dengan industri tekstil yang dirintis bersama suaminya beberapa tahun lalu. Kebijakan pasar terbuka, membuka peluang untuk usaha swasta. Jam empat sore Dedi datang menjemput. Rosa tak sempat berbasa basi. Mereka cepat cepat berangkat. Mau nonton film di Braga. Rosa tak banyak bicara seperti biasanya.
"Mengapa kamu diam saja Rosa?"
"Saya takut. Saya belum datang bulan. Sudah terlambat 3 minggu".
"Nggak usah takut. Nanti kita bicarakan. Bukan masalah besar".
Mereka berdua diam saja dalam sinema. Rosa tak bisa konsentrasi menikmati film itu. Pikirannya melayang. Bayangan ketakutan menyelinap. Jika dia harus meninggalkan kuliah. Jika dia harus kehilangan impian impiannya.
***

Sore itu Rosa periksa dokter. Dokter Agung, praktek di jalan Purnawarman. Dia diantar Dedi. Dengan sabar dokter memberi nasehat agar tidak panik. Tidak perlu bingung. Setelah melakukan pemeriksaan dan test, dokter memberitahu Rosa dengan sabar.
"Rosa, berbahagialah. Anda hamil delapan minggu. Jaga benar benar kesehatanmu"
Rosa tertegun. Matanya menerawang basah. Tak tahu apa yang harus dikatakan.
"Dok, saya masih kuliah. Saya mungkin tak siap".
"Jangan kecil hati nyonya muda. Saya punya anak pertama sewaktu masih kuliah di tahun ke empat. Isteri saya masih di tahun kedua. Kami bisa menjalankan tugas orang tua sembari kuliah".
"Iya dok. Mohon doa restu saja".
Rosa meninggalkan tempat praktek dokter dengan gundah. Dia diam membisu. Di dalam mobil dia katakan dengan singkat ke Dedi.
"Kak Dedi, saya hamil delapan minggu". Dedi nampak terkejut. Wajahnya memucat. Dia mencoba tenang dan tak banyak berkata.
" Kita berdua belum siap Rosa. Apa yang akan kita lakukan? Nggak bisa dihentikan?
"Dihentikan berarti digugurkan kak. Saya nggak sampai hati. Ini anak kita".
" Iya Rosa. Cuma bagaimana dengan rencana studi kita? Apakah dapat tercapai jika kita berkeluarga dan beranak?"
" Rencana terpaksa berubah. Masih banyak jalan dan pilihan lain. Biarlah janin ini hidup. Saya ingin membesarkannya. Apapun yang terjadi. At any price".
Dedi hanya diam. Tak ada gunanya berdebat atau saling menyalahkan. Dia menyadari, ini kesalahannya dan kesalahan mereka berdua.

***
Mama begitu terkejut ketika Rosa dengan tangis tertahan mengatakan bahwa dia hamil. Dia begitu terpukul karena dia percaya sepenuhnya jika Rosa selalu taat dan mampu menjalankan petuah petuahnya. Penyesalan tak ada artinya. Selama ini mama Kusuma selalu sibuk dengan bisnisnya. Tak banyak waktu bersama dengan kedua anaknya. Iwan dan Rosa.

Sore itu, Dedi dan Rosa dipanggil dan diajak bicara bersama. Papa Rosa nampak begitu terguncang menghadapi kejadian yang menimpa putri kesayangannya. Dia juga tak banyak bicara. Dengan singkat dia berkata.
"Dedi, kejadian ini sangat memukul kami. Sangat mengecewakan. Tetapi semuanya telah terjadi. Kami hanya menginginkan agar semua diselesaikan secara bertanggung jawab. Tolong bilang sama papi dan mami. Bilang apa adanya, Kami harap mereka bisa menemui kami secepat mungkin untuk menyelesaikan ini"
" Iya oom. Saya minta maaf sebesar besarnya. Saya akan minta papi sama mami datang ke Bandung".
" Rosa, ini petaka yang berat untuk kita semua. Untuk papa dan mamamu. Tetapi saya minta kamu tetap tabah. Jangan sampai kandas. Perjalanan masih panjang. Jangan menyerah. Banyak jalan ke depan". Papa Kusuma berkata dengan pelan. Wajahnya sedih. Nampak lebih tua dari usia sebenarnya.

***
Perkawinan Rosa dan Dedi berjalan sederhana. Menjelang akhir tahun. Pesta sederhana di rumah. Dihadiri oleh sanak saudara dari kedua belak pihak. Pesta kebun di halaman yang teduh itu. Hanya Rosa, Dedi dan kedua orang tuanya yang tahu alasan perkawinan itu diadakan secara mendadak. Buat para kerabat yang hadir, hanya kebahagiaan saja yang terpancar dari kedua pengantin, juga dari kedua orang tua. Mereka punya alasan tepat untuk tidak merayakannya secara besar besaran. Suasana lagi tak menentu. Tak tepat bermewah mewah sementara situasi ekonomi sedang surut. Di mana mana mahasiswa sering demontrasi anti korupsi.

Halaman yang teduh itu menjadi saksi perjalanan gadis Rosa. Sejak kecil dia selalu bermain di halaman itu. Begitu dekat dihati Rosa. Juga saat pesta pernikahan yang terpaksa diadakan mendadak. Saat itu dia hanya berdoa semoga masih diberi kesempatan untuk meraih cita citanya di masa depan. Impian untuk hidup berbahagia. Sebagai wanita karier seperti mamanya. Rosa mencoba menimati suasana pesta. Ceria bersama Dedi.

Merasa terhempas. Tetapi Rosa yakin kalau belum kandas. Dia masih ingin memburu cita cita menjadi wanita karier. Apapun jalan yang harus ditempuh. Demi masa depannya. Dia ingin seperti mamanya. Pengusaha wanita yang sukses. Menjadi isteri dan mempunyai anak bukan hambatan menjadi wanita sukses. Dia pernah bercita cita jadi bankir. Mana mungkin sekarang?. Tak putus asa. Masih ada banyak jalan ke depan.

****
Kenangan masa lalunya seolah diputar begitu jelas dalam ingatan Rosa. Dia selalu duduk di halaman itu setiap sore. Menjelang matahari tenggelam. Bersama anaknya Tita. Mengenang kejadian kejadian yang telah dilaluinya. Perkenalan dengan Bram, seolah mengingatkan kembali peristiwa peristiwa yang menimpanya. Dia tak pernah putus asa karena peristiwa peristiwa itu. Dia merasa berhak meraih kebahagiaan. Meskipun dia terhempas. Menjadi janda di usia belia. Tetapi dia yakin tidak kandas dalam perjalanan hidupnya. "Saya terhempas, tetapi tidak terkandas". Dia peluk Tita. Dia ingat Bram kenalan barunya yang dia kagumi. Ingatan akan masa lalu tidak mengecilkan hatinya. Untuk mengagumi dan dekat dengan Bram.