Thursday, December 11, 2008

(4) Di bawah rumpun kembang sepatu



Seharian Bram tidak kemana mana. Di rumah membaca buku dan majalah. Tak ada keinginan untuk keluar. Lewat jendela angin semilir kadang datang membelai. Melihat daun daun cemara di luar melambai diterpa angin. Bunga bunga mawar menebar bau harum menerobos masuk ke kamar. Membuatnya betah di rumah. Terbersit keinginan ketemu teman di salah satu kampus di Bandung. Sama sama aktivis mahasiswa. Ah paling paling bicara tentang demo. Sekali ini tak ingin memikirkan negara. Berpikir tentang karier dan masa depan dulu.. Ada temannya satu SMA yang kuliah di ITB. Sudah beberapa tahun tak bertemu. Terakhir dia menjadi pengurus majalah mahasiswa. Tak ada hasrat menggelora menemuinya kali ini. Tak seperti kunjungannya di masa lalu. Dia selalu menemui mereka. Bicara tentang kebebasan mimbar, bicara tentang kebenaran, tentang penindasan. Tentang korupsi. Kali ini lain. Dia lebih berminat memikirkan kebebasan dirinya memikir masa depan. Masa depan. Bicara tentang kebebasan dan kebenaran tak perlu mengorbankan masa depan. Tiba tiba saja dia teringat Rosa. Kartu namanya ada di dalam dompet. Pipit Rosalina. Harus ketemu sebelum pulang ke Yogya. . Ingin mengatakan sesuatu padanya. Hatinya seolah begitu dekat. Dia memutuskan menemuinya. Toh ini bagian dari masa depan.

Jam empat sore hari, dengan opelet Bram menuruni jalan Dago. Belok ke kanan ke arah LIPI menuju daerah Cisitu. Cari alamat dalam kartu nama itu. Di ujung jalan ada rumah berpagar hidup. Nomer sebelas. Ya itulah nomer rumah yang tertulis dalam kartu nama. Pohon pohon bunga sepatu mengelilingi pekarangan luas. Hibiscus rosa sinensis. Warna merah merona, Ada beberapa yang kuning. Tak menabur bau harum. Tetapi bunga sepatu tak akan layu oleh kekeringan. Daunnya tetap hijau berkilat di musim kering. Bunganya tetap mekar tersenyum ke alam sekitar.

Bram ragu sejenak. Dipencetnya bel di gerbang kayu. Seorang lelaki muda membukakan pintu.
"Mau ketemu juragan?".
"Apakah benar bu Pipit Rosalina, tinggal di sini ? Tanya Bram agak ragu.
" Iya benar. Mungkin sebentar lagi datang. Silahkan masuk gan".
Dengan mantap dia melangkah masuk pekarangan. Pekarangan luas, bersih terpelihara. Di antara Hibiscus nampak rumpun rumpun bouginvila ungu. Sejuk, asri dan damai. Seorang pria usia lanjut berambut putih duduk di beranda tengah. Bram memberikan salam.

"Selamat sore Bapak. Saya ingin menemui Rosa".
" Saya ayah Rosa. Sebentar lagi dia datang. Siapa anda ? Sudah lama kenal Rosa?

Bram terhenyak dengan pertanyaan begitu langsung.
" Saya Bramnatyo pak. Kami berkenalan di Yogya baru baru ini. Kebetulan saya di Bandung beberapa hari. Apakah masih lama dia datang ?".
" Jam empat workshop sudah tutup. Aturan dia sudah datang. Mungkin sebentar lagi. Silahkan duduk"
" O begitu. Workshop memproduksi apa pak?" Kecewa dia menanyakan pertanyaan itu. Menunjukkan bahwa dia belum kenal baik dengan Rosa.

" Dia memproduksi pakaian jadi. Makin banyak pekerjanya akhir akhir ini. Rosa begitu sibuk sekarang. Apakah anda rekan usaha ? Saya sendiri sudah berhenti lama. Usaha saya diteruskan Iwan adik Rosa".

" Maaf saya baru saja kenal. Saya masih kuliah di Yogya pak. Rosa belum cerita banyak tentang usahanya".

Pikiran Bram melayang. Tak tenang hatinya. Jangan jangan kedatangannya tidak dikehendaki. Pikirrannya bergejolak. "Ngapain susah susah ke sini.? . Siapa suruh datang ke sini ? Tetapi dia ingat benar kata kata Rosa, "Datanglah ke rumah sebelum pulang ke Yogya ya". Dan kartu nama itu bukti kalau dia mengundangnya. Kadang kadang orang memberikan kartu nama sekedar untuk aktualisasi diri. Ini lho siapa aku, apa jabatanku. Belum tahu siape gue? Tetapi Rosa memberikan kartu namanya karena ingin memberinya alamat, dan pasti mengharapkan kedatangannya. Tidak ragu ragu dia. Pertanyaan Bapak Rosa, pertanyaan biasa sebagai orang tua. Pengin tahu siapa teman yang akan menyambangi anak wanitanya. Biasa. It is not an issue, young man. Tak separah yang pernah dialami temannya satu kuliah di Yogya, Abdulah Haliman. Sewaktu bertandang ke rumah teman gadisnya, bapak sang gadis melakukan interogasi dan meminta kartu mahasiswanya. Edan. Mungkin saja orang itu pensiunan Hansip.

Tiba tiba suara mobil pick up masuk halaman samping. Rosa turun dari pintu belakang. Wajahnya nampak lelah. Belum tahu kalau ada tamu menunggunya. 'Pipit, mas ini, mas Bramantyo pengin menemuimu", ayah Rosa menyambut. "Silahkan sama Pipit, saya ke dalam dulu".

Wajah Rosa nampak berubah. Tak pernah berpikir atau berharap kalau Bram yang dikenalnya di bis malam itu akan mau datang menemuinya. Sekalipun dia mengharap dengan ragu. Wajah lelah nampak berubah ceria. Bram terhenyak sekali lagi melihat wajah kalem dan ceria itu. Kata kata Rosa meluncur lepas.

"Belum selesai acara di Bandung ya? Semua lancar lancar kan? Kaget saya anda mau datang. Saya pikir tak akan pernah datang"

" Beberapa hari malas malasan di rumah. Baca buku. Tak kemana mana. Besok pagi pulang. Makanya saya sempatkan ke sini. Ingat pesan anda untuk datang ke rumah sebelum pulang"

" Gimana kalau kita duduk di luar sana?. Lebih enak sambil menikmati angin sore". Rosa menunjuk ke halaman samping di muka pavilion. Ada kursi taman dibawah naungan pohon kembang sepatu. Seorang wanita seetengah baya menyajikan teh bersama dengan stopless berisi emping. Bram hanya mengikuti.

" Maaf jika tak keberatan, saya akan mandi sebentar ya. Silahkan baca kalau minat". Beberapa majalah disodorkan ke Bram. Dia ambil koran Pikiran Rakyat. Mencoba membaca namun hatinya tak bisa tenang. Pikirannya melayang ke mana mana. Nggak tahu apa yang akan dilamunkan. Ikut saja. Melayang dalam lamunan. Tanpa agenda. Banyak orang melamun dengan memaksakan diri. Memikirkan hal yang nggak mungkin terjadi. Bram tak ingin itu. Perhatiannya tertarik ke bunga bunga sepatu yang segar dan ramah. Ranting ranting pohon kembang sepatu berayun ayun bermain bersama tiupan angin. Bunga bunga bouginvila warna ungu seolah menyaksikan dan menemani dirinya. Dalam keheningan. Mengapa sampai di sini ? Tak ingin dia memikirkan mengapa, tetapi memang harus ke sini. Pengin ke sini. Bertemu Rosa.

Tak lama Rosa muncul dari pintu pavilion. Memakai baju warna lila. Nampak bersih dan ceria. Senyumnya begitu lepas dengan mulut yang indah.

"Itu kamar saya. Sekalian tempat kerja saya. Saya masih banyak mengerjakan banyak hal di malam hari. Usaha saya masih dini".

Bram masih tertegun menatap Rosa. Tak bisa mengusir lamunannya, membayangkan saat Rosa bersandar di pundaknya. Hatinya seolah lekat, lamunannya tertumpu ke wanita ini. Mencoba menenangkan diri agar bisa berkata kata dengan pas.

"Bung mengapa diam saja ? Jangan gitu dong. Baru ketemu sekali. Kita sukuri perkenalan kita".

Bram kaget terbangun dari lamunannya. Menjawab sekenanya "Kebun ini indah sekali. Saya senang kombinasi kembang sepatu dengan bouginvila ungu. Ceria dan damai".

"Bagaimana saya harus memanggil anda ? Tak enak hanya memanggil Bram. Pengin panggil mas, tetapi di Manado konon orang memanggil tukang bakso dan tukang becak dengan mas".

" Dipanggil apapun mau. Terserah anda. Selagi masih mau memanggil saya, saya akan senang". Bram tak pernah berpikir bagaimana dia harus di panggil. Belum masuk agendanya formalitas panggil memanggil. Dia ingat orang tua temannya di jeron beteng Yogya. Ibunya selalu memanggil sang suami dengan Romo Kanjeng.

" Cuma itu ? Bahagia jika saya panggil ? Tak ingin lebih dari sekedar dipanggil?. Bram, Anda aktif di gerakan mahasiswa. Bagaimana kalau saya panggil Bung ? Rosa mencoba berseloroh. Tetapi selorohnya sudah agak menjurus dalam. Tak tahu Bram apa maksud pertanyaan itu. Tak perlu dijawab langsung. Akan dicatat dalam agendanya. Suatu saat nanti akan dia jawab.

Bram dan Rosa asyik bicara menikimati sore yang indah. Di bawah rimbun pohon bunga sepatu. Di antara bunga bunga bouginvila ungu. Hati Bram damai dan tenang. Tak ada keraguan, mengapa dia datang ke sana. Siapa suruh datang ke sana. Dia memang ingin ke sana dan harus ke sana. Menemui Rosa. Sementara Rosa banyak cerita tentang usaha pakaian jadi yang tengah dirintisnya. Mantap sekali dia menekuni menyenangi bidang itu nampaknya. Hanya orang orang yang menyenangi pekerjaannyalah yang akan berhasil. Ada motivasi kuat berkembang. Rosa bercerita bagaimana dia merasa begitu bangga melihat pakaian yang dirancang dan diproduksinya dipakai orang.

" Karier apa yang anda rencanakan Bung Bram?. Pasti sudah punya rencana matang ya? . Bram tersentak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan ini yang selalu menghantui dirinya. Ingat kata Bude Larasati, raihlah bintang bintang di langit. Agak kecut memikirkan. Apalagi ingat jika teman teman seangkatannya berseloroh. "Sampai jumpa di Stasiun Senen sesudah lulus nanti". Hampir semua lulusan selalu berpikir ramai ramai ke Jakarta. Tanpa sadar Bram bercerita tentang pakdhenya, Dewanto, mantan diplomat, yang begitu dia kagumi.


"Bung Bram, karier tak datang dengan sendirinya. Karier tak jatuh dari langit. Karier tercapai karena orang merencanakan, mengimpikan dan berusaha menggapainya. Mengapa nggak mengikuti jejak pakdhemu ? ". Bram terdiam. Dia tak ingin bicara masa depan saat ini. Biarlah mengendap dulu. Gelap mulai menyaput. Bram merasa sudah saatnya pulang. Meskipun dia menikmati pembicaraan dengan Rosa. Sesaat setelah berpamitan Rosa berkata " Bung Bram, kita teruskan persahabatan kita. Jangan lupa beri kabar ya. I mean it". Dia hanya berkata dalam hati, salam dan doaku selalu bersamamu, Rosa. Hatinya berdesir ketika tangannya memegang tangan Rosa di pintu. Setelah menarik napas panjang, dia berjalan pelan dalam keheningan dan kedamaian. Beberapa puluh langkah kemudian, dia menoleh kembali. Seorang anak kecil nampak tertatih menghambur ke dekapan Rosa. Rosa menghilang di balik pintu.

6 comments:

  1. Terima kasih Ki lanjutannya, semakin bikin penasaran...hehehe...

    ReplyDelete
  2. Salam hangat Novie. Selamat menikmati liburan akhir tahun ya

    ReplyDelete
  3. Ki.... ceritanya semakin asyik...susah dilepaskan....diakhir cerita membuat penasaran ingin melihat kelanjutannya....... Salam

    ReplyDelete
  4. Mas Djoko. Salam hangat. Sebentar lagi terusannya ya.

    ReplyDelete
  5. Hwah...seperti nonton cinema saja neh...
    berharap kisahnya berlanjut...

    Salam,
    Suparno Jumar

    ReplyDelete
  6. mas Jumar,
    Terima kasih dan salam hangat. Saya usahakan terusannya secara berkesinambungan. Selamat liburan dan tahun baru ya

    ReplyDelete