Friday, December 26, 2008

(6) Surat dari Rosa



Beberapa minggu belakangan Bram begitu sibuk. Irama hidup kembali seperti sedia kala. Hampir tiap hari terlibat dalam diskusi di berbagai kampus. Sebagai aktivis mahasiswa, dia harus selalu banyak diskusi dan mengikuti perkembangan terakhir di tanah air. Banyak motif mewarnai kelompok mahasiswa. Dia bersama beberapa teman dekatnya ingin membawa kelompok kelompok ini dalam arus yang sama. Melawan ketidak adilan, penumpukan kekuasaan dan korupsi di kalangan penguasa. Apapun namanya, entah dengan dalih dwifungsi, entah pertahanan semesta, entah itu stabilitas nasional, penumpukan kekuasaan selalu saja punya ekses negatip. Korupsi, pelanggaran hak azasi dan pemberangusan kebebasan berpendapat.

Suasana terasa semakin panas dalam bulan bulan terakhir ini. Dalam rangka menanamkan kekuasaan di kampus, penguasa mewajibkan Wajib Latih Mahasiswa (Walawa). Timbul protes dimana mana di kalangan mahasiswa menentang militerisasi kampus. Mahasiswa yang telah menjalani latihan kemiliteran, mendapat fasilitas tersendiri di kampus. Berbagai resimen mahasiswa di bentuk. Kelompok ini sering bersikap berlebihan. Gagah gagahan dalam kampus, dengan seragam militer. Di Fakultas Kedokteran, seorang asisten dipukuli oleh mahasiswa yang tak lulus tentamen. Mahasiswa tersebut adalah anggota menwa (resimen mahasiswa) dan mendatangi laboratorium bersama dengan teman teman menwanya.

Dalam salah satu diskusi di Magelang, seorang petinggi militer menyatakan bahwa jika program pertahanan semesta ini berhasil, maka Indonesia akan punya tenaga terlatih militer sebanyak delapan puluh juta. Terbanyak di dunia. Indonesia akan disegani di kalangan masyarakat internasional. Bram ikut dalam diskusi itu. Tak ada manfaatnya mendebat petinggi militer itu. Toh media akan mengikuti pendapatnya, hanya karena diucapkan oleh seorang pejabat petinggi militer. Hipokritnya media di Indonesia. Bukan isi pernyataan yang penting, tetapi siapa yang mengucapkan. Delapan puluh juta tenaga militer ? Mau perang sama siapa? Dimana medannya, apa mau sewa gurun Gobi? Ide gila. Hanya akan membawa Indonesia terpuruk di dunia internasional. Masalah stabilitas selalu jadi alasan. Tak masuk akal. Pendekatan militeristik ini yang justru menimbulkan gerakan separatis.. Juga malah memperlemah kemampuan riel militer mengamankan negeri ini. Pencurian harta laut, perambahan hutan dimana mana di muka mata para penguasa. Para petinggi militer justru sibuk terlibat dalam bisnis dan pemerintahan sipil. Urusan pertahanan dan keamanan terabaikan.

Bram juga sibuk menyelesaikan skripsi akhirnya. Sudah selesai ditulis, tinggal konsultasi sama dosen pembimbing. Tak selalu mudah menemui sang dosen, yang juga sibuk ngajar ke sana kemari. Para dosenpun perlu ngobyek untuk memenuhi kebutuhan hidup. Gaji pegawai negeri sipil tak pernah cukup memenuhi kebutuhan bulanan. Keinginan untuk menulis surat ke Rosa masih lekat dalam benaknya. Berkali kali diusahakan, tak juga bisa tuntas. Apa yang harus dia ungkapkan? Semua rasa dan ingatan akan Rosa hanya mengental dalam batin. Tak mampu dia mengubahnya ke tindakan nyata. Sekalipun hanya menulis surat. Kata kata indah yang akan disampaikan hanya keluar dalam angan angan sebelum tidur. Membayangkan Rosa yang lembut dan cantik. Ingatannya tak pernah bisa lepas darinya. Malam malam yang sunyi selalu membawanya melanglang lamunan. Suatu sore sepulang dari kampus pak Djo tergopoh gopoh menemuinya di kamar.
"Gus tadi ada surat untukmu. Sengaja saya sembunyikan karena agak aneh. Sampulnya warna jambon. Saya takut jangan jangan keng Ibu akan bertanya".
"Terima kasih pak Djo. Ibu tak akan menanyakannya". Bram tahu persis, jika ibunya tidak akan mengurusi surat yang diterimanya. Tak mungkin itu.
"Iya Gus, tetapi ibu akhir akhir ini selalu bertanya kemana sampeyan pergi? Sama siapa?.

Bram tak begitu memperhatikan laporan pak Djo. Surat itu diterimanya dan diletakkan di meja. Nanti akan dibaca setelah mandi. Ada beberapa surat yang datang. Memang ibunya agak sering bertanya akhir akhir ini. Suasana memang sedang memanas di kampus. Mungkin semua orang tua juga akan khawatir jika anaknya ikut aktif dalam gerakan mahasiswa. Sehabis mandi dia membuka surat pertama yang disampaikan pak Djo. Agak aneh, warna sampul merah jambu. Dia terhenyak, ternyata dari Rosa. Merasa berdosa kenapa bukan dia yang menulis duluan. Ah, besok masih bisa menulis. Dia baca pelan pelan surat singkat itu.

Bram yang baik,

Salam dari Bandung untuk teman baru yang kupercaya. Semoga surat ini sampai di tanganmu di saat yang tepat, dan semoga engkau selalu dalam keadaan baik. Setelah kau pulang ke Yogya beberapa minggu lalu, saya selalu menanti kabarmu, menunggu surat darimu. Saya khawatir tak akan menerimanya. Lebih menakutkan lagi, jika kau melupakan semuanya yang kita alami. Saya selalu berharap persahabatan kita tetap akan berlanjut bersama dengan perjalanan waktu. Hidup memang harus selalu penuh harapan kan?

Jangan kau pikir saya wanita murahan ya Bram. Setelah berbincang denganmu di rumah makan itu, saya mempunyai kepercayaan yang besar terhadap dirimu. Walau baru selintas mengenal. Perkenalan itu begitu berarti bagiku. Begitu indah peristiwa sepanjang perjalanan itu. Perasaan saya melayang. Tak ada yang perlu disesali. Janganlah kita tinggalkan kenangan itu begitu saja. Seperti hanya impian sesaat. Jika itu hanya mimpi, saya tak ingin mimpi hanya sesaat. Saya ingin mimpi mimpi indah selalu datang kembali bersamamu.

Masih banyak yang ingin saya ungkapkan. Masih banyak cerita yang ingin saya sampaikan jika saatnya tiba. Tak akan ada dusta di antara kita. Tak perlu berjanji karena sekedar janji hanyalah akan melukai hati kita masing masing. Tak perlu memberikan komitmen apa apa saat ini. Biarlah persahabatan kita berjalan tulus. Berjalan alami apa adanya ya Bram. Salam dan doaku selalu mnyertaimu. Hari hariku selalu menunggu surat darimu.

Pipit Rosalina, teman setiamu.

Thursday, December 25, 2008

(5) Masih ada hari esok



Dengan langkah gontai Bram memasuki halaman rumahnya. Baru saja datang dari Bandung. Tidak naik bis. Naik kereta malam. Berangkat jam tujuh petang hari. Sampai stasiun Tugu jam empat dini hari. Tak ada yang istimewa sepanjang perjalanan. Dia hanya menatap langit malam diluar sana. Sampai bosan dan tertidur. Sorenya sebelum berangkat dia sempat tilpon Rosa. Hanya pamitan. Banyak yang ingin dia katakan. Tetapi lidah tak mampu megungkapkan. "Jangan lupa tulis surat ya jika sampai di Yogya. I will keep waiting Bram. " Itu pesan Rosa yang terus diingatnya. Lupa sih tidak mungkin. Cuma bisakah dia merangkai kata kata secara tepat. Apa yang harus dia ungkapkan? Dia ingin realistis. Benak kadang terisi banyak impian indah, kalau sedang mabuk cinta. Nantilah pikir belakangan. Masih ada hari hari esok untuk menulis dan merenda kata kata yang tepat. Pak Djo, pembantu setianya membukakan pintu.

"Lho Gus Bram, kok pagi benar ?".
"Saya naik kereta malam pak Djo. Romo ibu masih sare ya? Jangan dibangunkan". Dia bergegas masuk kamar. Pak Djo mengikuti membawakan tas sampai depan kamar.
"Apakah Gus mau saya buatkan kopi?"
" Terima kasih. Tetapi jangan berisik nanti membangunkan romo ibu".

Bram merebahkan diri di kasur, menunggu kopi siap. Pak Djo, pembantu setia itu sudah puluhan tahun bersama keluarganya. Hampir seperti anggota keluarga sendiri. Anak anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di kampung. Isterinya meninggal beberapa tahun lalu. Bau harum kopi menyapu kamar, Pak Djo datang membawakan kopi.
"Gus banyak tamu datang mencarimu beberapa hari ini"
" Terima kasih. Letakkan di meja itu. Kamu kembali ke kamarmu pak Djo".
Agak malas Bram melayani percakapan pak Djo. Kalau dituruti dia bisa cerita ngalor ngidul. Termasuk cerita tentang Ratu Kidul segala. Dia ingin segera tidur istirahat. Esok bisa menanggap pembantunya ada cerita apa selama seminggu dia pergi ke Bandung. Bram terlelap kecapaian. Terlelap dalam impian impian indah. Tentang cinta.

Matahari telah meninggi ketika dia bangun. Burung burung berkicau di luar di pohon jambu yang rimbun. Sejenak bermalasan di tempat tidur. Jam telah menunjukkan pukul sembilan lewat. Bram masih malas beranjak dari kamar. Pikiran melayang kemana mana. Ketokan di pintu menghentikan lamunannya.

"Bram jika sudah mandi, sarapan telah siap sejak tadi. Bapakmu sudah berangkat pagi pagi" Suara ibunya lembut. Dia hapal betul suara itu. Mandi sama sarapan pagi menjadi ritual rutin yang selalu diingatkan oleh ibunya. Sejak dia kanak kanak.
"Iya Bu. Saya datang dengan kereta malam jam empat tadi. Pak Djo membuatkan kopi tadi".
"Dia nggak cerita apa apa ? Banyak yang mencarimu selama kau di Bandung. Mandi dulu nanti ceritanya diteruskan".

Bergegas Bram menuju kamar mandi. Pak Djo telah menyiapkan air hangat. Dia selalu menyiapkannya tiap pagi. Selesai mandi dia menuju meja makan. Sarapan telah siap, telor mata sapi, tahu goreng dan sambal kecap. Sambal kecap dan tahu goreng adalah makanan khas sarapan para mahasiswa. Terutama mereka mereka yang indekost. Jika kostnya mewah sedikit, sarapan pakai telor ceplok. Jika sedang krisis, sarapan pagi sambal kecap, makan siang kecap sambel. Ini cerita teman temannya yang kost.

"Bram, nak Reni kapan itu tilpon. Pengin ketemu sama kamu. Sempatkan tilpon atau ketemu. Nanti dikiranya saya nggak nyampaikan pesannya".
"Iya Bu, besok besok akan saya sempatkan menemuinya"
Bram menjawab singkat pesan ibunya. Dia mencoba menghindari pembicaraan mengenai Reni dengan ibunya. Bisa bisa melebar kemana mana. Ibu Reni punya hubungan dekat dengan ibunya. Mungkin ada hubungan kerabat jauh.
" Bagaimana kabar Pakdhe dan Budhemu di Bandung ? Sehat sehat kan? Beberapa temanmu dari kampus bolak balik mencarimu. Apa ada masalah serius?"
"Pakdhe dan Budhe, baik baik saja. Sempat cerita macam macam. Termasuk dia lari tunggang langgang dikejar pak Kanjeng . Juga cerita tentang pengalamannya selama menjadi duta besar".
"Jika mau ke kampus, hati hati ya. Kelihatannya suasana agak memanas minggu ini. Teman temanmu banyak menanyakanmu. Jangan lupa kontak nak Reni"

Ibunya selalu khawatir memikirkan kegiatan Bram sebagai aktivis mahasiswa. Aparat keamanan kadang2 bersikap ringan tangan terhadap para aktivis. Banyak aktivis di awasi KOPKAMTIB, sering diinterogasi dan dipermak selama interogasi.

***
Jam lima sore Bram sudah datang di rumah Reni di jeron beteng. Tepatnya di Ngadisuryan, sebelah barat alun alun kidul. Reni kebetulan tidak jaga. Dia duduk di tahun ke lima sekolah kedokteran. Satu setengah tahun lagi akan menyelesaikan pendidikan dokternya. Mereka berdua bersahabat dekat. Mungkin juga karena ada hubungan kerabat walaupun jauh, yang membuat mereka akrab. Namun orang tua masing masing mungkin berpikiran lain. Mereka mengharap hubungan Bram dan Reni berkembang lebih jauh.

" Mas Bram, ke Bandung kok nggak ngomong sama sekali ? Ada rahasia apa?" Reni menyambut Bram dengan riang seperti biasanya. Dia merasa akrab seperti kakak beradik dengannya.
" Sekedar mengunjungi Pakdhe, lama nggak bertemu. Juga tanya tanya soal karier masa depan".
"Rupanya mas Bram serius berpikir masa depan sekarang ya. Masih aktif di Dewan Mahasiswa kan?
"Aktif di dunia mahasiswa tak harus mengorbankan masa depan zoes. Saya pengin mencari karier di bidang yang saya tekuni. Diplomasi internasional. Anda ko-skap di mana sekarang?
"Baru seminggu ini masuk Bagian THT, di rumah sakit Mangkuwilayan. Lumayan nggak begitu tegang. Kasus darurat jarang jarang"
"Ibu bilang kau mencari saya ya? Apa ada sesuatu yang serius ?"
"Serius sih enggak mas Bram. Cuma pengin ketemu dan ngobrol saja. Biasanya saya tak pernah sempat ngobrol. Praktek klinik ini telah menyita seluruh waktu dan perhatian"
"Tak perlu menyesal. Jalan karier itu sudah kau pilih sejak awal kan. Dokter di klinik harus siap memisahkan waktu untuk pribadi dan tugas profesi"
"Jangan salah sangka mas Bram. Saya tak pernah menyesal. Hanya kadang kadang saya merasa kehilangan begitu banyak waktu bersama teman seperti waktu SMA dulu. I miss the beautiful time in the past".
" Tak usah sentimental. Hidup adalah perjalanan. Hidup adalah kenyataan Reni"
"Akhir akhir ini saya merasa bimbang sekali mas. Ada sesuatu yang akan saya ceritakan, jika anda tak keberatan. Saya perlu nasehatmu"
" Jangan ragu bila saya bisa membantu"

Reni akhirnya menceritakan jika ada salah seorang seniornya, telah mendekatinya sejak beberapa bulan ini. Hanya seminggu lalu dia bicara terus terang padanya. Herman beberapa tahun diatas Reni, saat ini sedang menjalani pendidikan spesialis kandungan. Reni juga tak kenal dekat benar dengannya. Orangnya pendiam dan serius. Sewaktu Reni ko skap di Bagian Kandungan, di rumah sakit Mangkuyudan, mereka sempat dekat. Reni belum pernah pacaran ataupun mempunyai hubungan istimewa dengan laki laki. Pria yang paling dekat dengannya, hanyalah Bram. Dia merasa dekat dengan Bram, sebagai teman dan kerabat. Tak ada getaran asmara. Tak ada birahi yang membara. Hanya platoonis semata.

"Mas Bram, saya tak pernah punya hubungan khusus dengan laki laki. Belum pernah pacaran. Masak mas Herman begitu kenal dekat langsung mau ngajak serius. Bingung saya".

"Reni, hidup dan kebahagiaan adalah pilihan. Ikuti suara hatimu. Jika kau merasa cocok dan mencitainya, sayangilah dia demi masa depanmu. You have all my support darling"

Bram agak terkejut sebenarnya. Namun dia sadar, Reni juga sudah saatnya memikirkan pilihan masa depannya. Sebentar lagi lulus dokter. Hubungannya dengan Reni, semata mata persahabatan. Tak mungkin berkembang lebih lanjut, walau dia selalu mengagumi dan menikmati hubungan itu. Reni begitu lembut dan ceria. Reni mempunyai ciri khas wanita Jawa, wajahnya oval dengan mata yang selalu berbinar indah. Pembawaannya selalu ceria. Orang harus berani memutuskan pada saat yang tepat. Jangan membuat kesan berkepanjangan seolah punya hubungan khusus, jika kedekatannya hanya semata mata persahabatan. Ini waktu yang tepat untuk menegaskan hubungan itu.
" Kapan kapan kenalkan saya sama Hermanmu ya. Saya ingin dia juga sangat menyayangimu. Kita akan tetap bersaudara, bersahabat dekat".
"Apakah anda kecewa mas Bram? 
"Nggak ada alasan untuk kecewa. Saya bahagia jika anda mendapatkan seseorang yang akan membahagiakanmu. Tak ada kata perpisahan di antara kita".

Malam itu perasaan Braļ½ tenang sekali. Ingatannya tak bisa lepas dari Rosa. "Jangan lupa tulis surat ya", kata kata Rosa selalu mampir di telinganya. Berkali kali mencoba menulis. Tetapi selalu kandas di tengah. Ah besok masih ada hari untuk menulis. Tak perlu kecil hati. Tak perlu tergesa.

Thursday, December 11, 2008

(4) Di bawah rumpun kembang sepatu



Seharian Bram tidak kemana mana. Di rumah membaca buku dan majalah. Tak ada keinginan untuk keluar. Lewat jendela angin semilir kadang datang membelai. Melihat daun daun cemara di luar melambai diterpa angin. Bunga bunga mawar menebar bau harum menerobos masuk ke kamar. Membuatnya betah di rumah. Terbersit keinginan ketemu teman di salah satu kampus di Bandung. Sama sama aktivis mahasiswa. Ah paling paling bicara tentang demo. Sekali ini tak ingin memikirkan negara. Berpikir tentang karier dan masa depan dulu.. Ada temannya satu SMA yang kuliah di ITB. Sudah beberapa tahun tak bertemu. Terakhir dia menjadi pengurus majalah mahasiswa. Tak ada hasrat menggelora menemuinya kali ini. Tak seperti kunjungannya di masa lalu. Dia selalu menemui mereka. Bicara tentang kebebasan mimbar, bicara tentang kebenaran, tentang penindasan. Tentang korupsi. Kali ini lain. Dia lebih berminat memikirkan kebebasan dirinya memikir masa depan. Masa depan. Bicara tentang kebebasan dan kebenaran tak perlu mengorbankan masa depan. Tiba tiba saja dia teringat Rosa. Kartu namanya ada di dalam dompet. Pipit Rosalina. Harus ketemu sebelum pulang ke Yogya. . Ingin mengatakan sesuatu padanya. Hatinya seolah begitu dekat. Dia memutuskan menemuinya. Toh ini bagian dari masa depan.

Jam empat sore hari, dengan opelet Bram menuruni jalan Dago. Belok ke kanan ke arah LIPI menuju daerah Cisitu. Cari alamat dalam kartu nama itu. Di ujung jalan ada rumah berpagar hidup. Nomer sebelas. Ya itulah nomer rumah yang tertulis dalam kartu nama. Pohon pohon bunga sepatu mengelilingi pekarangan luas. Hibiscus rosa sinensis. Warna merah merona, Ada beberapa yang kuning. Tak menabur bau harum. Tetapi bunga sepatu tak akan layu oleh kekeringan. Daunnya tetap hijau berkilat di musim kering. Bunganya tetap mekar tersenyum ke alam sekitar.

Bram ragu sejenak. Dipencetnya bel di gerbang kayu. Seorang lelaki muda membukakan pintu.
"Mau ketemu juragan?".
"Apakah benar bu Pipit Rosalina, tinggal di sini ? Tanya Bram agak ragu.
" Iya benar. Mungkin sebentar lagi datang. Silahkan masuk gan".
Dengan mantap dia melangkah masuk pekarangan. Pekarangan luas, bersih terpelihara. Di antara Hibiscus nampak rumpun rumpun bouginvila ungu. Sejuk, asri dan damai. Seorang pria usia lanjut berambut putih duduk di beranda tengah. Bram memberikan salam.

"Selamat sore Bapak. Saya ingin menemui Rosa".
" Saya ayah Rosa. Sebentar lagi dia datang. Siapa anda ? Sudah lama kenal Rosa?

Bram terhenyak dengan pertanyaan begitu langsung.
" Saya Bramnatyo pak. Kami berkenalan di Yogya baru baru ini. Kebetulan saya di Bandung beberapa hari. Apakah masih lama dia datang ?".
" Jam empat workshop sudah tutup. Aturan dia sudah datang. Mungkin sebentar lagi. Silahkan duduk"
" O begitu. Workshop memproduksi apa pak?" Kecewa dia menanyakan pertanyaan itu. Menunjukkan bahwa dia belum kenal baik dengan Rosa.

" Dia memproduksi pakaian jadi. Makin banyak pekerjanya akhir akhir ini. Rosa begitu sibuk sekarang. Apakah anda rekan usaha ? Saya sendiri sudah berhenti lama. Usaha saya diteruskan Iwan adik Rosa".

" Maaf saya baru saja kenal. Saya masih kuliah di Yogya pak. Rosa belum cerita banyak tentang usahanya".

Pikiran Bram melayang. Tak tenang hatinya. Jangan jangan kedatangannya tidak dikehendaki. Pikirrannya bergejolak. "Ngapain susah susah ke sini.? . Siapa suruh datang ke sini ? Tetapi dia ingat benar kata kata Rosa, "Datanglah ke rumah sebelum pulang ke Yogya ya". Dan kartu nama itu bukti kalau dia mengundangnya. Kadang kadang orang memberikan kartu nama sekedar untuk aktualisasi diri. Ini lho siapa aku, apa jabatanku. Belum tahu siape gue? Tetapi Rosa memberikan kartu namanya karena ingin memberinya alamat, dan pasti mengharapkan kedatangannya. Tidak ragu ragu dia. Pertanyaan Bapak Rosa, pertanyaan biasa sebagai orang tua. Pengin tahu siapa teman yang akan menyambangi anak wanitanya. Biasa. It is not an issue, young man. Tak separah yang pernah dialami temannya satu kuliah di Yogya, Abdulah Haliman. Sewaktu bertandang ke rumah teman gadisnya, bapak sang gadis melakukan interogasi dan meminta kartu mahasiswanya. Edan. Mungkin saja orang itu pensiunan Hansip.

Tiba tiba suara mobil pick up masuk halaman samping. Rosa turun dari pintu belakang. Wajahnya nampak lelah. Belum tahu kalau ada tamu menunggunya. 'Pipit, mas ini, mas Bramantyo pengin menemuimu", ayah Rosa menyambut. "Silahkan sama Pipit, saya ke dalam dulu".

Wajah Rosa nampak berubah. Tak pernah berpikir atau berharap kalau Bram yang dikenalnya di bis malam itu akan mau datang menemuinya. Sekalipun dia mengharap dengan ragu. Wajah lelah nampak berubah ceria. Bram terhenyak sekali lagi melihat wajah kalem dan ceria itu. Kata kata Rosa meluncur lepas.

"Belum selesai acara di Bandung ya? Semua lancar lancar kan? Kaget saya anda mau datang. Saya pikir tak akan pernah datang"

" Beberapa hari malas malasan di rumah. Baca buku. Tak kemana mana. Besok pagi pulang. Makanya saya sempatkan ke sini. Ingat pesan anda untuk datang ke rumah sebelum pulang"

" Gimana kalau kita duduk di luar sana?. Lebih enak sambil menikmati angin sore". Rosa menunjuk ke halaman samping di muka pavilion. Ada kursi taman dibawah naungan pohon kembang sepatu. Seorang wanita seetengah baya menyajikan teh bersama dengan stopless berisi emping. Bram hanya mengikuti.

" Maaf jika tak keberatan, saya akan mandi sebentar ya. Silahkan baca kalau minat". Beberapa majalah disodorkan ke Bram. Dia ambil koran Pikiran Rakyat. Mencoba membaca namun hatinya tak bisa tenang. Pikirannya melayang ke mana mana. Nggak tahu apa yang akan dilamunkan. Ikut saja. Melayang dalam lamunan. Tanpa agenda. Banyak orang melamun dengan memaksakan diri. Memikirkan hal yang nggak mungkin terjadi. Bram tak ingin itu. Perhatiannya tertarik ke bunga bunga sepatu yang segar dan ramah. Ranting ranting pohon kembang sepatu berayun ayun bermain bersama tiupan angin. Bunga bunga bouginvila warna ungu seolah menyaksikan dan menemani dirinya. Dalam keheningan. Mengapa sampai di sini ? Tak ingin dia memikirkan mengapa, tetapi memang harus ke sini. Pengin ke sini. Bertemu Rosa.

Tak lama Rosa muncul dari pintu pavilion. Memakai baju warna lila. Nampak bersih dan ceria. Senyumnya begitu lepas dengan mulut yang indah.

"Itu kamar saya. Sekalian tempat kerja saya. Saya masih banyak mengerjakan banyak hal di malam hari. Usaha saya masih dini".

Bram masih tertegun menatap Rosa. Tak bisa mengusir lamunannya, membayangkan saat Rosa bersandar di pundaknya. Hatinya seolah lekat, lamunannya tertumpu ke wanita ini. Mencoba menenangkan diri agar bisa berkata kata dengan pas.

"Bung mengapa diam saja ? Jangan gitu dong. Baru ketemu sekali. Kita sukuri perkenalan kita".

Bram kaget terbangun dari lamunannya. Menjawab sekenanya "Kebun ini indah sekali. Saya senang kombinasi kembang sepatu dengan bouginvila ungu. Ceria dan damai".

"Bagaimana saya harus memanggil anda ? Tak enak hanya memanggil Bram. Pengin panggil mas, tetapi di Manado konon orang memanggil tukang bakso dan tukang becak dengan mas".

" Dipanggil apapun mau. Terserah anda. Selagi masih mau memanggil saya, saya akan senang". Bram tak pernah berpikir bagaimana dia harus di panggil. Belum masuk agendanya formalitas panggil memanggil. Dia ingat orang tua temannya di jeron beteng Yogya. Ibunya selalu memanggil sang suami dengan Romo Kanjeng.

" Cuma itu ? Bahagia jika saya panggil ? Tak ingin lebih dari sekedar dipanggil?. Bram, Anda aktif di gerakan mahasiswa. Bagaimana kalau saya panggil Bung ? Rosa mencoba berseloroh. Tetapi selorohnya sudah agak menjurus dalam. Tak tahu Bram apa maksud pertanyaan itu. Tak perlu dijawab langsung. Akan dicatat dalam agendanya. Suatu saat nanti akan dia jawab.

Bram dan Rosa asyik bicara menikimati sore yang indah. Di bawah rimbun pohon bunga sepatu. Di antara bunga bunga bouginvila ungu. Hati Bram damai dan tenang. Tak ada keraguan, mengapa dia datang ke sana. Siapa suruh datang ke sana. Dia memang ingin ke sana dan harus ke sana. Menemui Rosa. Sementara Rosa banyak cerita tentang usaha pakaian jadi yang tengah dirintisnya. Mantap sekali dia menekuni menyenangi bidang itu nampaknya. Hanya orang orang yang menyenangi pekerjaannyalah yang akan berhasil. Ada motivasi kuat berkembang. Rosa bercerita bagaimana dia merasa begitu bangga melihat pakaian yang dirancang dan diproduksinya dipakai orang.

" Karier apa yang anda rencanakan Bung Bram?. Pasti sudah punya rencana matang ya? . Bram tersentak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan ini yang selalu menghantui dirinya. Ingat kata Bude Larasati, raihlah bintang bintang di langit. Agak kecut memikirkan. Apalagi ingat jika teman teman seangkatannya berseloroh. "Sampai jumpa di Stasiun Senen sesudah lulus nanti". Hampir semua lulusan selalu berpikir ramai ramai ke Jakarta. Tanpa sadar Bram bercerita tentang pakdhenya, Dewanto, mantan diplomat, yang begitu dia kagumi.


"Bung Bram, karier tak datang dengan sendirinya. Karier tak jatuh dari langit. Karier tercapai karena orang merencanakan, mengimpikan dan berusaha menggapainya. Mengapa nggak mengikuti jejak pakdhemu ? ". Bram terdiam. Dia tak ingin bicara masa depan saat ini. Biarlah mengendap dulu. Gelap mulai menyaput. Bram merasa sudah saatnya pulang. Meskipun dia menikmati pembicaraan dengan Rosa. Sesaat setelah berpamitan Rosa berkata " Bung Bram, kita teruskan persahabatan kita. Jangan lupa beri kabar ya. I mean it". Dia hanya berkata dalam hati, salam dan doaku selalu bersamamu, Rosa. Hatinya berdesir ketika tangannya memegang tangan Rosa di pintu. Setelah menarik napas panjang, dia berjalan pelan dalam keheningan dan kedamaian. Beberapa puluh langkah kemudian, dia menoleh kembali. Seorang anak kecil nampak tertatih menghambur ke dekapan Rosa. Rosa menghilang di balik pintu.

Wednesday, December 3, 2008

(3) Raihlah bintang bintang itu


Ada awan komulus bergumpal indah di ujung langit. Warna biru tak bertepi. Tak terjangkau batas penglihatan manusia. Mungkin juga pikiran manusia. Alam semesta tak berbatas, tak beujung, tak bertepi. Pikiran dan impian manusia selalu melanglang alam semesta. Lamunan tentang kehidupan. Impian tentang kebahagiaan dan kedamaian. Hidup kadang dalam lamunan indah menelusuri awan menembus cakrawala.

Bram membayangkan Rosa, Pipit Rosalina, menari di antara gumpalan awan. Di antara pelangi dia melambaikan tangan. Sementara hatinya berdesir indah setiap wajah yang sejuk dan cantik itu mampir di ingatannya. Seandainya dia bisa berjalan bersama, menari bersama di antara awan indah itu. Berjalan bersama mengarungi semesta sampai akhir cakrawala. Impian indah. Kadang suatu saat hidup seperti dalam impian. Disitulah dia bisa merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang dalam. Mungkin hanya sesaat. Tetapi dia merasakan kenikmatan luar biasa. Perasaan orang muda yang sedang jatuh cinta, selalu melayang melanglang buana.

Tak aneh jika dalam legenda Jawa, setiap ada tokoh pewayangan yang jatuh cinta atau kasmaran selalu diiringi irama gamelan khusus. Supaya bisa melamun dan melanglang buana dengan lebih asyik. Bahkan Burisrawa, tokoh legenda dalam cerita wayang itu kalau jatuh cinta selalu menari (Burisrawa gandrung) sambil menyanyikan lagu lagu khusus pula. Nggak tahulah, mungkin di jaman kuno dulu para raja jika sedang jatuh cinta, selalu melamun sambil diiringi irama gamelan. Di jaman modern ini mungkin hanya para dalang yang nyetel klenengan jika sedang bermain cinta, sekalian kaki memainkan kecrek.

Sudah lewat petang ketika Bram terbangun. Rupanya sejak siang tadi ketiduran di kamar depan. Jendela terbuka, angin dingin terasa menyentuh. Badannya terasa segar kembali. Rasa ngantuk dan letih sudah hilang sama sekali. Hanya pikirannya yang masih menyanyi. Dia cepat cepat mandi dan ganti baju hangat. Kaos hangat warna merah hati pemberian kakak sepupunya Rio, selalu dia bawa jika dia ke Bandung. Karena dua alasan. Pertama, Bandung memang berhawa dingin. Kedua, Rio si pemberi kaos itu, bahkan Pakdhe dan Budhenya akan senang jika kaos itu dipakai. Bram selalu ingat dan menghargai pemberian orang lain.

Pakdhe Dewanto dan Budhe Larasati sedang duduk di halaman samping sambil menikmati teh hijau. Belum ada jam delapan malam. Langit bertabur bintang. Di ujung langit nampak rembulan memantulkan sinar lembut. Planit Venus nampak ceria. Dengan pantulan sinar lebih tajam.

"Baru bangun kamu Bram. Silahkan makan. Pakdhe sama saya sudah duluan tadi. Nggak sampai hati membangunkanmu. Kamu tidur lelap sekali."

"Terima kasih Budhe. Nanti saja, belum terasa lapar" kilah Bram.
Kebiasaannya sebenarnya, mulai makan sebelum terasa lapar, dan berhenti makan sebelum terasa kenyang. Ini bisa membuat stabil kondisi dan berat badan. Tetapi sekali ini dia agak nggak enak, pekewuh.

"Kapan selesai kuliahmu anak muda?. Apa rencana selanjutnya? Jangan pasif semata mata. Manusia harus membuat rencana masa depannya"

Bram terperangah mendapat pertanyaan bertubi walaupun memang dia datang ke Bandung khusus untuk minta nasehat khusus tentang masalah karier masa depannya. Di jaman ini semua harus pakai nasehat. Para pejabat selalu memohon pengarahan dari penguasa yang lebih tinggi. Dalam pembukaan acara resmi kedinasan, selalu ada pidato pengarahan. Kurang afdol jika tak ada. Acara pertemuan ilmiah juga harus ada pidato pengarahan, walaupun penguasa yang memberikan belum tentu tahu isi pokok masalah yang dibahas. Mungkin isinya hanya basa basi kata selamat datang buat para peserta. Tetapi karena namanya pidato pengarahan, rasanya jadi afdol. Ini masalah prinsip. Tak bisa ditawar. Mau melamar calon penganten atau acara mantenan juga harus ada pidato pengarahan. Supaya pasangan penganten nanti bisa hidup rukun sampai akhir hayat. Seperti mimi dan mintuna. Walaupun yang memberikan pengarahan kadang2 sudah kawin cerai berulang kali. Sekali lagi ini masalah prinsip. Nggak tahu prinsip dari mana.

"Saya sendiri masih samar samar Pakdhe. Belum ada rencana pasti. Romo ibu sih penginnya saya magang di pemerintahan" .

"Jadi pamongpraja ? Jadi camat ? Kamu lulusan perguruan tinggi jurusan Hubungan Internasional, apa bisa bersaing sama lulusan APDN itu? Kamu kan nggak terlatih nggebuki orang waktu mahasiswa ?

Bram hanya terdiam melihat langit yang bertabur bintang. Tak enak menyangkal sindiran Pakdhenya. Mahasiswa APDN yang direncanakan menjadi pamong praja atau camat yang baik, malah terkenal suka main gebuk dan keroyok. Minimal nendhang. Dia tercenung kosong. Bingung memikirkan masa depan kariernya.

" Bram lihatlah bintang bintang di langit itu nak. Rencanakan kariermu, ukirlah masa depanmu untuk meraih bintang bintang itu. Demi kebahagiaanmu dan kebanggaan romo ibumu". Budhe Larasati, sok melankolis, pikir Bram. Tetapi pikirannya melayang ke Pipit Rosalina. Seandaninya saya bisa merangkai perjalanan karier disampingnya.

"Kamu berpenampilan tenang dan punya kemampuan komunikasi bagus, maganglah jadi seorang diplomat. Kamu bisa menyumbang lebih banyak buat bangsamu" "Saya menggeluti dunia diplomatik berpuluh tahun. Dunia yang indah dan rumit. Penuh seni negosiasi".

"Saya akan berpikir pikir dulu Pakdhe"

Tak berani dia langsung mengiyakan atau membantah nasehat Pakdhenya. Kalau didebat dengan satu kata orang satu ini balik dengan dua puluh kata. Dia memang telah makan garam puluhan tahun di dunianya. Keinginan Bram untuk menjadi pamong praja, entah Bupati, Residen atau minimal Wedono sedikit kendur. Tak pernah dia ingin jadi camat. Apalagi kalau syaratnya harus terlatih nggebuki orang. Salah satu adik eyangnya dulu di akhir revolusi, harus masuk penjara karena nggebuki maling ayam sampai mati. Beliau lurah di salah satu desa di Bantul. Dalihnya nggak sengaja membunuh, hanya mau bikin kapok. Tetapi maling itu dipukul pakai doran, kayu dari pohon enau yang terkenal keras.

"Silahkan baca buku buku sejarah dalam diplomasi Bram. Pelajari kisah Sutan Syahrir, Perdana Menteri termuda. Umurnya baru tiga puluh tiga tahun waktu itu, tetapi pidatonya di depan sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa Bangsa, telah meluluh lantakkan diplomasi diplomat senior Belanda. Indonesia mendapat pengakuan defacto dari PBB. Ingat kan kisah presiden Kennedy almarhum? Jika beliau nggak pinter di dunia politik dan diplomasi, atau terbawa emosi menanggapi Perdana Menter Uni Soviet, Nikita Kruschev yang angin anginan dan semau gue, pasti sudah terjadi perang nuklir.

Jika kamu serius berminat, saya akan kenalkan dengan temanku Rinto yang dinas di Pejambon, di Departemen Luar Negeri. Kami bertiga dengan Kresno almarhum sudah seperti saudara sewaktu di front Banaran. Saya sama Rinto sedang tidak berada di Banaran ketika peristiwa itu tejadi. Kami harus bertugas sebagai kurir, menyampaikan pesan ke daerah Sumowono. Rinto berpembawaan tenang dan tidak emosional. Jika kami berdua disana, tak akan terjadi penghadangan itu. Hanya puluhan pejuang masih hijau dengan empat pucuk bedhil, menghadang konvoi Gurkha satu batalyon. Kresno gugur bersama semua teman pejuang. Ayah dan metuanya dibunuh Gurkha. Saya hanya menyaksikan jasadnya ketika kembali ke desa itu.

Pakdhe Dewanto terlihat berkaca kaca menceritakan kisah tragis dan heroik puluhan tahun lalu itu. Dia selalu berkeyakinan jika semua masalah pasti bisa diselesaikan dengan perundingan. Bramantyo terdiam. Tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Dia mencamkan pesan pesan Pakdhenya, dunia diplomasi, mencegah penyelesaian masalah dengan senjata dan kekerasan. Dia mencamkan nasehat Budhe Larasati, raihlah bintang bintang itu. Akhirnya kembali wajah Rosa mampir dalam kalbunya.

Tuesday, December 2, 2008

(2) Pakdhe Dewanto - Cerita dari masa silam


"Ah Rosa". Pikiran Bram melayang. Wajah teman barunya begitu lekat dalam sanubari yang paling dalam. Bertemu tak terduga. Seperti mimpi, begitu indah. Sulit dipercaya. Tak kuasa melepaskan dia dari ingatan. Hatinya berdesir melambung. Terasa kebahagiaan luar biasa. Tak kuasa dia mengingat saat Rosa menggeliat kejang dalam rangkulannya tadi. Tak hanya wanita yang menyerah karena rasa nikmat birahi. Pria seperti Bram pun merasa begitu dalam keterikatannya melihat Rosa mencapai puncak nikmat karena dirinya. Orang selalu berpikir salah seolah laki2 hanya cari kepuasan dari wanita satu ke yang lain. Bram merasa tak bisa lepas dari Rosa karena peristiwa sesaat dalam bis tadi.

Dia masih menunggu sampai matahari meninggi. Tak enak langsung datang ke rumah pak dhenya jika penghuni rumah masih tidur. Menunggu sambil melanglang lamunan mencari wanita yang baru dikenalnya. Baru kali ini dia mempunyai perasaan aneh seperti itu. Luar biasa. Naik opelet ke jurusan Dago arah utara. Jam setengah tujuh, dia sudah mengetuk pintu kediaman pak dhe Dewanto. Di daerah Dago atas. Hawa sejuk menerpa. Rasa lelah kurang tidur tesaput rasa aneh yang menghinggapi dirinya.

" Welcome young man. Selamat datang di Bandung. Naik kereta atau bis malam?" Pakdhenya punya kebiasaan memanggil dirinya dengan anak muda. Sejak dulu sewaktu dia masih kanak kanak. Selalu dicampur bahasa Inggris. Mungkin karena mantan diplomat. Generasi awal republik. Lain dengan para mantan pegawai pemerintah Hindia Belanda yang selalu pakai bahasa Belanda, campur campur.

"Naik bis malam pakdhe. Sungkem dari romo ibu untuk pakdhe berdua".
Bram selalu berbicara dalam bahasa Jawa halus dengan pakdhenya. Suatu kebiasaan dan disiplin keluarga yang tertanam sejak lama. "Istirahat dulu Bram. Lama kan di Bandung? Budhe Larasati selalu menyambutnya ramah. Tak lupa dia mencium tangan pasangan yang sangat dihormatinya itu."Silahkan di kamar tamu depan. Kedua kakakmu, Rio sama Mia masih di Jakarta". Ryanto, panggilannya Rio adalah putra pakdhe Dewanto yang pertama. Dia seorang pilot. "Terima kasih Bu Dhe, saya akan mandi dulu".

Rumah pakdhe Dewanto berhalaman luas. Di daerah perbukitan. Pohon pohon cemara nampak indah menghiasi halaman di bawah sana. Sementara berbagai tanaman bunga menghiasi tepian jalan jalan kecil di halaman. Bram ingat benar dia selalu bermain dengan sepupunya Rio di halaman itu sewaktu masih kanak kanak dulu. Pakdhe Dewanto berputra dua orang, Ryanto sama Mia. Mia seumur dengan Bram. Dia lulusan perguruan tinggi di Budapest. Sekarang bekerja di salah satu bank swasta. Juga di Jakarta. Selesai mandi Bram bergegas ke ruang belakang. Bergabung dengan pakdhe Dewanto dan budhe Larasati di meja makan.

"Ada acara khusus di Bandung Bram?"pakdhenya cepat bertanya.
"Hanya pengin bertemu sama pakdhe berdua. Sekalian pengin nasehat untuk karier masa depan".
" Omong omong sudah punya calon belum ? Kata ibumu kau sudah punya sir-siran. Calon dokter ya? Budhe Larasati memberondong pertanyaan beruntun.
"Wah belum punya Budhe. Hanya sekedar teman dekat saja di Bandung sini" Bram berkata sekenanya. Ingatannya melayang ke Rosa. Tak sengaja.
"Jaman saya muda dulu, kalau ada pemuda seumurmu belum punya minat sama perempuan, biasanya lantas disuruh minum jamu. STMJ. Susu telur madu sama jahe".

Sialan pikir Bram, dipikir saya ini sapi. Dia ingat cerita pakdhenya dulu, kalau eyangnya punya peternakan sapi. Sapi pejantan selalu dikasih jamu susu madu telur jahe. Supaya birahi dan kuat kawin. Orang kampung sekitar biasanya akan mengawinkan sapi betinanya dengan pejantan bagus kepunyaan Eyangnya. Mereka harus bayar. Untung pemilik sapi pejantan karena akan terima bayaran jika ada orang yang ingin mengawinkan sapi betinanya. Sapi pejantan juga ikut untung, dapat jamu STMJ. Pria yang mengharapkan bayaran saat kawin atau mengawini wanita, hampir menyerupai sapi jantan. Atau akan menjelma menjadi sapi jika meninggal nanti.

"Bapak ibumu sudah tahu kalau kamu punya teman wanita di sini ? Pertanyaan menyelidik dari budhe. "Jangan membuat kejutan untuk orang tua dalam memilih jodoh. Ada pakem dan ada adatnya sendiri"

"Jangan pikirkan Bram. Jika kamu sudah seneng mantep ya, orang tua bisa apa? Jaman sudah banyak berubah. "

Pakdhe Dewanto berpikiran luas. Tak begitu peduli dengan adat istiadat Jawa yang ketat. Dia sering bercerita tentang masa mudanya. Beberapa kali Bram mendengar cerita yang hampir sama. Pemuda Dewanto dulunya suka mendekati gadis gadis pingitan di jeron beteng. Tak biasa di jaman itu pemuda main ke tempat gadis yang sudah menginjak dewasa. Tetapi pemuda Dewanto nggak peduli. Di mana ada putri yang cantik, dia coba berkenalan dan berkunjung ke rumah sang gadis. Siapa tahu ada wahyu dewata dan ada yang cocok. Dia selalu pakai sepeda merk BSA. Sepeda torpedo tanpa lampu.

Suatu sore di tahun lima puluh, Dewanto bertandang ke rumah seorang gadis kenalan barunya di daerah Ngabean. Dia duduk di bangku SMA kelas akhir waktu itu. Di SMA Padmanaba. Seperti biasanya dia naik sepeda kebanggaannya. Pamit sama ibunya ya Eyang putrinya Bram, katanya mau tentir untuk ujian akhir. Nggak tahunya hanya menuju rumah kenalan barunya Lena. Baru dikenal sehari sebelumnya dalam acara antar sekolah.

Lewat jam enam sore, dia masih asyik ngobrol di kursi panjang di samping rumah. Rumah kebetulan sepi. Bapak Ibu Lena baru bepergian. Nggak tahu kemana. Bukan urusannya mau tahu kemana orang tua Lena pergi. Urusan saya hanya bertamu mengunjungi Lena. Sementara sepedanya terkunci di samping rumah. Situasi memang aman. Nggak ada orang lewat. Nggak ada anak kecil bermain di halaman. Nggak ada pemuda kampung yang ronda malam. Masih terlalu dini untuk ronda. Mereka berdua asyik duduk bersama di kursi panjang di bawah pohon mangga. Pembicaraan biasa biasa saja. Tak menyangkut hal hal yang menjurus ke masalah asmara. Tak lajim di jaman itu muda mudi bicara hal hal yang agak menjurus ke birahi. Paling paling cerita tentang buku yang baru saja dibaca. Mana tentang Siti Nurbaya, mana tentang Atheis, tentang Aku Ini Binatang Jalang, tentang karangan St Takdir Alisyahbana. Pemuda Dewanto secara basa basi melayani pembicaraan Lena. Tak berkonsentrasi benar. Dia senang buku buku terjemahan dari penulis penulis Eropa. Baru saja menyelesaikan bacaan terjemahkan karya Boris Pasternak.

Jam setengah delapan pas asyik asyiknya bercerita, tiba tiba ada andhong berhenti di halaman depan. Kedua orang tua Lena datang naik andhong. Bapaknya seorang petinggi di Kepatihan, KRT Tantoro. Suaranya parau dan berat berwibawa. "Lena, kok lampu pendhopo masih gelap". Tak merasa berbuat kesalahan apa apa. Tetapi pemudha Dewanto, begitu ciut nyalinya mendengar suara menggelegar itu. Ini bukan main main. Baru kali ini dia mendengar suara demikian berat. Dia mencoba menenangkan diri. Mencoba mengingat kakek moyangnya Ki Ageng Singayuda, yang gagah berani melawan tentara Belanda di jaman perang Diponegoro. Legenda dan kebanggaan keluarga. Mengingat kakek moyangnya untuk sekedar mengembalikan rasa percaya diri. Tak juga membantu. Kakinya gemetaran. Hatinya berdebar keras, sementara Lena menyambut ayah ibunya ke ruang depan. Dia mencoba mengingat cerita tentang kakek moyangnya yang selalu gagah naik kuda hitam mulus Pasopati. Konon ketika terjepit sewaktu disergap pasukan Belanda di utara Sleman, Ki Singayuda berhasil lolos meloncat ke punggung kuda kesayangannya. Dan sempat melempar tombak ke komandan Kumpeni yang menyergapnya.

"Sampeyan siapa nakmas? Kok sampai malam begini sama Lena" Belum sempat dia memperkenalkan diri dia sudah dicerca dengan pertanyaan yang menusuk dan meluluh lantakkan keberaniannya sebagai keturunan Ki Ageng Singayuda. Sementara Lena berdiri gemetar ketakutan melihat ayahandanya begitu marah. "Pemuda masa kini harus tanggung jawab ys mas. Jangan sembrono ndekem di tempat gadis saja". Edan gelagat semakin buruk. Suara Kanjeng Raden Tumenggung Tantoro semakin menggelegar, hampir membentak. Sementara pemuda Dewanto sudah habis kehilangan nyali. Ketika dia melihat KRT Tantoro mulai meraba raba pinggangnya dia berpikir, orang ini bisa bunuh saya. Mungkin ada keris atau pistol di pinggangnya. Kainnya sudah disingkap ke atas. Nampak celana komprang warna hitam sepanjang bawah lutut. Lebih baik mundur. Menurut kepercayaan jika seorang manggala yuda sudah menyingkapkan kain sampai kelihatan celana komprangnya, pasti dia siap bertempur dan siap membunuh.

Untung suasana di bawah pohon mangga itu remang remang. Wajahnya yang pucat pasi tak nampak. Dia bergeser pelan kesamping menghampiri sepedanya. Dia ingat cerita moyangnya Ki Ageng Singayuda yang loncat ke atas kuda Pasopati, yang meloloskannya dari kepungan Belanda. Pemuda Dewanto secara instink loncat ke atas sepeda torpedonya. Sial baginya. Sepeda itu terkunci. Dia jatuh terjerembab bersama sepeda kesayangannya di halaman yang berpasir. Dia langsung bangun. Tak ada nyali seperti kakek moyangnya Ki Ageng Singayuda melempar tombak ke komandan Kompeni. Tetapi karena begitu grogi dia angkat sepeda itu dan dia bawa lari keluar halaman. Nyalinya baru kembali sesudah keluar pintu halaman. Di jalan raya Ngabean dia merasa merebut lagi sifat pemberaninya. Dia letakkan pelan pelan itu sepeda. Dia cari kunci yang ada di kantong celananya. Dia naiki sepedanya kembali. Dengan tenang pulang ke rumahnya di Pugeran. Pikirnya, tak layak turunan Ki Ageng Singayuda kok terbirit lari karena gertakan seorang Tumenggung yang pakai kathok kolor. "Belum tahu siapa saya"

Bramantyo selalu ketawa mendengar kisah seru itu. Budhenya hanya tersenyum mendengar cerita konyol yang sudah berkali kali dikisahkan itu. Dia juga tak pernah ingin tahu siapa itu Lena, sang gadis anak Tumenggung. Cerita masa silam, puluhan tahun berlalu.