Thursday, April 23, 2009

(15) Pacuan belum selesai

Ada rasa jenuh menyesak kalbu. Bulan bulan terakhir seolah berpacu menyelesaikan tugas akhir. Berlari resana kemari sebelum pendadaran. Sekarang Bram ingin istirahat sejenak. Begitu jenuh membayangkan kembali kegiatan kuliah selama lima tahun terakhir. Lima tahun lebih dari cukup untuk menyelesaikan pendidikan sarjana. Di berbagai universitas di luar negeri, pendidikan sarjana biasanya diselesaikan dalam waktu empat tahun. Di kampus kampus di Indonesia, berkembang kepercayaan keliru. Kalau tak lulus paling tidak tujuh sampai sembilan tahun atau lebih, tidaklah afdol sebagai sarjana. Masih mentah istilahnya. Bahkan ada dosen yang pernah bilang, ulangi setiap tahun dua kali. Gila. Berarti kan lulus sarjana harus sepuluh tahun. Keburu tua sebelum mengamalkan ilmu yang didapat.

Bram tak percaya. Nilai lebih apa yang diperoleh dengan mengulang kuliah dan menunda kelulusan bertahun tahun ? Bahannya juga itu itu saja. Diktat kumal dengan referensi dari buku buku bahasa Belanda puluhan tahun lewat. Sering para dosen memitoskan diri seolah merekalah sumber ilmu satu satunya. Banyak dosen tak meningkatkan diri dengan pengetahuan terkini. Bram sejak awal berketetapan ingin menyelesaikan secepat mungkin kuliahnya. Masih bisa belajar terus setelah lulus nanti. Manusia harus mampu belajar dan meningkatkan pengetahuan sepanjang masa.

Menyelesaikan tugas akhir dan ujian telah menyita semua waktunya. Ingin istirahat sementara minggu minggu ini. Merasa bersalah tak pernah sempat menulis ke Rosa. Baru minggu kemarin setelah pendadaran, dia bisa tulis surat ke Rosa. Bukan surat cinta. Belum berani bilang cinta. Ada rasa bahagia yang dalam setiap mengingat Rosa. Tak ragu lagi kalau dia sudah jatuh cinta. Tetapi belum berani memutuskan. Sikapnya masih menunggu, mengikuti arus air yang mengalir. Apapun yang terjadi terjadilah. Perjalanan masih jauh. Masih banyak hal yang harus dipikirkan dan dilakukan. Pacuan belum selesai. Baru saja lulus sarjana. Sarjana sosial politik, hubungan internasional. Keren judulnya. Tetapi perjalanan karier masa depan masih kabur. Dia tak ingin klontang klantung melamar dari kanor ke kantor. Ingin bekerja di departemen luar negeri. Tokoh idolanya adalah pakdhe Dewanto. Mantan diplomat senior. Tak ingin jadi pamong praja seperti bapaknya. Sabtu siang Bram masih berkurung diri di kamar membaca koran ketika Reni menilponnya.

"Selamat mas Bram. Saya tahu dari ibu, mas Bram pendadaran minggu kemarin".
"Terima kasih Reni. Tak ada yang istimewa rasanya. Hanya lega setelah semuanya selesai. Jenuh sekali rasanya bulan bulan terakhir kemarin".
" Iya mas, tetapi anda lulus cepat benar. Lima tahun pas. Orang lain kan bisa sembilan tahun".
" Tak ada yang sulit. Hanya salah pandangan saja. Seolah semakin lama di kampus akan semakin matang".
" Banyak yang kerasan dan dapat titel paska sarjana MA*" ( *mahasiswa abadi).
" Gimana keadaanmu Reni? Baik baik kan?".
" Semuanya lancar. Baru saja tugas di Klaten. Minggu ini di Yogya. Dua minggu lagi ke Solo".
" Sokur kalau begitu. Moga moga lancar terus".
"Mas Bram apakah anda ada waktu? Saya pengin ikut merayakan pendadaran anda. Saya traktir jika anda ada waktu".
" Terima kasih sekali. Kau begitu perhatian. Petang ini atau besok boleh lah. Hari hari lain kau sibuk di rumah sakit".
" Sore ini samperin saya di rumah ya. Kira kira jam setengah lima. Daag".

Suara Reni terdengar merdu. Memang empuk suaranya. Dia telah terbiasa mendengarnya bertahun tahun, sejak kanak kanak. Persahabatan jangka panjang. Bram meneruskan baca koran. Dia bilang sama ibunya kalau akan di traktir Reni nanti sore. Ibunya hanya mengiyakan.

" Jangan ngendon di kamar saja kau Bram. Tak baik laki laki ngendon di kamar. Jadi pemalas. Kehilangan banyak kesempatan".
" Makanya pengin keluar sekalian ada yang nraktir Bu. Minggu depan akan ke Jakarta. Melamar pekerjaan. Mampir ke Bandung dulu. Minta surat pengantar pak dhe".
"Bapakmu juga menanyakan apa rencanamu sesudah lulus. Jangan terlalu lama berdiam diri".
" Saya juga ingin cepat dapat pijakan. Prioritas pertama mau melamar di Deplu. Juga melamar ke instansi yang lain tetapi nanti belakangan".
" Saya doakan moga moga terkabulkan impianmu. Tak ingin melamar di pemerintahan daerah ?"
" Nggak tahu Bu nanti belakangan lah. Saya pengin Deplu dulu".
"Bagaimana kabarnya Reni?. Sudah hampir lulus dokter?".
"Baik baik kelihatannya. Dia masih sibuk kepaniteraan klinik di luar kota. Ini baru giliran di Yogya. Masih setahun lagi katanya. Pacarnya keburu nunggu".
" Kau kenal pacarnya? Siapa namanya Bram?"
" Namanya Herman, Saya belum pernah ketemu. Tapi Reni janji mau dikenalkan ke saya".

Ibu Bram dan ibu Reni bersahabat sejak muda. Sering bergurau ingin besanan. Bram tak begitu memperhatikan pertanyaan ibunya. Dia selalu enggan jika ditanya tentang Reni. Tak ada hubungan apa apa. Persahabatan semata. Jam empat Bram pamitan sama ibunya. Bapaknya masih istirahat di kamar. Dia mengemudikan mobil dengan hati hati. Fiat 1100, mobil kesayangan bapaknya. Pelan pelan merayap dari Suryodiningratan ke utara, lewat alun alun selatan belok kanan. Rumah orang tua Reni dikelilingi tembok dengan gapura besar di depan. Reni telah menunggu di pendopo. Nampak cantik, luwes sekali dengan pakaian warna ungu. Ada pita di rambut yang hitam mengkilat. Nampak ceria sore itu.

" Maaf kalau kau lama menunggu Reni."
" Nggak mas. Memang pengin duduk di sini. Angin semilir jam jam segini".
" Sudah pamitan bapak sama ibu?"
" Sudah mas. Mereka mungkin masih istirahat di kamar. Kita langsung berangkat saja. Kecuali kalau mau omong omong dulu".
"Terima kasih. Terus berangkat. Ngobrol sambil jalan".
" Kemana mas Bram? Masih terlalu sore untuk makan malam. Saya pengin ke pantai".
" Boleh kita ke Samas atau ke Parangtritis ?".
" Enak ke Parangtritis. Ada bukit di sana bisa melihat laut dengan lepas"

Melewati plengkung Gading belok ke kiri, sampai pojok beteng membelok ke kanan. Menyusuri jalan ke arah Parangtritis. Suasana sore jalan sudah sepi. Hanya sering terlihat iringan sepeda atau andong ke arah luar kota. Kembali ke tempat masing masing sesudah mencari nafkah di kota. Kiri kanan jalan penuh pepohonan yang rindang. Melindungi para pemakai jalan dari terik matahari. Tiba tiba Reni bicara memecah kesunyian.

" Bagaimana kabar teman barumu di Bandung mas? Masih terus berhubungan kan?
" Mungkin baik baik. Hanya sempat ketemu sekali setelah perkenalan itu. Dia tulis surat sekali setelah itu. Baru sempat membalasnya minggu kemarin sesudah pendadaran".
" Katanya jatuh cinta kok nggak menggebu gebu. Seperti jaman Siti Nurbaya".
"Tak ada yang harus kukejar. Saya baru saja lulus. Dia juga sudah menjanda. Lebih baik saling menyelami dan saling mengenal dulu".
"Apa mas Bram tak merasa tergesa gesa?"
"Saya baru akan berpikir kawin jira sudah mapan. Paling tidak karier sudah jelas. Di jalan yang benar".
"Tetapi kan mas Bram cinta betul sama dia. Siapa namanya? Lupa saya".
"Namanya Rosa. Pipit Rosalina. Saya yakin mencintainya. Hanya belum berani memastikan sekarang. Hanya masalah waktu".
: Baru pertama kali bertemu langsung jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertamakah?".
” Dalam bis itu gelap gulita Reni. Gimana mau jatuh cinta pada pandangan pertama?".
" Kok mas Bram yakin betul kalau jatuh cinta sama Rosa".
" Secara instink, tanpa sengaja, kami melakukan perbuatan diluar batas. Saya begitu terpana melihat dia pasrah di pelukan saya. Menikmati belaian saya. Mencapai puncak kenikmatan dalam pelukan saya. Perasaan saya terbawa. Seolah kami berdua berjalan dalam kegelapan malam menyongsong esok pagi".
" Hiih kok bisa sampai sejauh itu. Kita bergaul rapat. Bergurau hangat. Kadang kadang berdua sendirian dalam kamar. Tak pernah sampai meremas jari jemari. Semua berjalan wajar. Normal normal saja".
" Kita bersahabat layaknya saudara dekat. Hubungan kita sangat platoonis. Tak pernah ada asmara dan nafsu birahi menggelora. Reni saya selalu menganggap kau layaknya adikku".
" Asmara memang aneh mas Bram. Saya tak tahu apakah saya mencintai mas Herman sepenuhnya. Hanya merasa dekat. Tetapi hubungan kami rasanya sangat formal".
" Perjalanan hidup memang penuh warna. Banyak hal tak terduga. Banyak pilihan. Kita harus mampu menetukan pilihan terbaik ke depan Reni".

Mereka sampai di pantai menjelang matahari terbenam. Langit memerah di cakrawala. Permukaan lautan yang luas dan tenang. Indah dan damai. Hening mereka tenggelam dalam alunan pikiran masing masing. Bram menggandeng tangan Reni dengan limpahan rasa sayang.

" Mas Bram, jira kita sudah terikat dengan pasangan masing masing apa bisa menikmati kedekatan seperti ini ya?".
" Kita akan tetap bersahabat. Bahkan bersaudara. Persaudaraan yang abadi. Tetapi kita mungkin sudah terikat dengan pasangan dan keluarga masing masing".
" Mungkin tak sempat memikirkan apa yang pernah kita lalui bersama ya?".
" Kita masing masing akan punya babak baru dalam hidup kita Reni. Kau tahu saya tak punya teman putri yang lain. Hanya kau sahabatku. Saudaraku".
"Terima kasih. Semoga anda selalu bahagia. Terkabul cita citamu mas. Mantapkan hatimu dengan orang yang kau cintai. Saya akan selalu berdoa untukmu. "
" Reni persahabatan kita akan berjalan sepanjang masa".

Bram mengakhiri percakapan dengan memeluk Reni. Berpelukan dalam keheningan masing masing. Persahabatan yang intens. Lewat jam enam Bram dan Reni masuk salah satu rumah makan di pantai. Angin malam bertiup sepoi. Mnghantar hawa sejuk dari laut. Sesejuk dan sedamai pasangan sahabat. Sahabat dalam arti yang sebenarnya.

No comments:

Post a Comment