Thursday, April 9, 2009

(12) Akhir sebuah impian

Beberapa bulan setelah melangsungkan pernikahan, Dedi lulus dan menyandang gelar sarjana ekonomi. Rosa sangat bangga dengan keberhasilan sang suami. Dia yakin benar, cita cita masa depannya menjadi wanita karier atau pengusaha sukses bisa tetap di kejar walaupun dia telah berkeluarga. Dia menaruh harapan bahwa Dedi akan mendorong dan memberikan bimbingan baginya berjalan ke depan. Suatu sore Dedi mengutarakan rencana mengejutkan. Dia akan kembali ke Jakarta. Bergabung dengan perusahaan papanya.

"Rosa, kesempatan untuk bergerak di Bandung sangat terbatas. Saya tak berani memulai dari nol di sini"
"Kak semuanya harus sabar. Tak ada yang turun dari langit. Kita mulai sedikit demi sedikit di sini. Kita berdua berusaha".
"Papa sama mama penginnya saya bergabung dengan perusahaan papa. Sedang investasi besar besaran untuk perluasan"
Papa Dedi punya banyak perusahaan. Bergerak di berbagai bidang. Import ekspor, distributor, supplier barang barang kebutuhan kantor beberapa departemen pemerintah.
"Jika begitu apa saya berhenti kuliah dan pindah Jakarta?".
" Lebih baik kau meneruskan kuliah di Bandung Rosa. Saya akan balik tiap dua minggu. Nanti kalau semua sudah mapan. Jika anak kita lahir pindah ke Jakarta".

***
Tak ada pertanda jelek pada awalnya. Dedi selalu menengok datang ke Bandung setiap dua minggu. Jum'at malam sampai Bandung, Senin pagi berangkat Jakarta. Kehidupan mereka normal normal saja. Biasa banyak pasangan penganten baru yang harus hidup terpisah beberapa saat. Menunggu sampai pekerjaan stabil. Rosa masih terus mengikuti perkuliahan meskipun perutnya semakin membesar. Hanya kegiatan diskusi dan kelompok belajar dia tak bisa ikut. Sore hari penginnya istirahat di rumah. Dia rajin membaca bahan kuliah.

Menjelang umur kehamilan ke tujuh, Dedi agak jarang datang ke Bandung. Alasannya sibuk, pekerjaan tak bisa ditinggalkan. Sering harus pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Rosa tak begitu merisaukan walau kadang sering merasa sepi. Dia hanya bicara dengan suaminya lewat tilpon, kalau tidak sedang bepergian. Rasanya pengin sekali dia ikut ke Jakarta. Tetapi Dedi selalu bilang, kalau di Jakarta suasana nggak enak. Lari ke sana kemari. Dia akan kesepian jika ikut ke Jakarta. Memang sejak pernikahan itu, Rosa belum sekalipun diajak ke Jakarta. Pengin dia bertemu dengan mertua, papa dan mama Dedi serta adik adiknya. Rosa hanya bisa mengiyakan meskipun dia sebenarnya pengin sekali ikut hijrah ke Jakarta. Dia pupus harapannya, inilah pengorbanan demi kebahagiaan bersama, demi masa depan dan demi anak yang dikandungnya. Semua pasangan baru pasti mengalami masa masa sulit untuk meniti perjalanan ke depan. Belum mapan. Semuanya masih berjuang untuk menata kehidupan berumah tangga.

Saat saat menjelang kelahiran bayinya, Rosa semakin rajin menilpun Dedi. Dua minggu sebelum hari perhitungan lahir, dia ingatkan agar siap siap menunggu kelahiran bayi mereka. Dedi memang mengiyakan akan datang ke Bandung waktu itu. Tetapi kemudian dia bilang bahwa ada jadual pekerjaan yang tak bisa ditinggal'

" Minggu depan saya harus ke Medan dan Pekan Baru. Ada kontrak yang harus dibicarakan tuntas sebelum ditanda tangani".
"Apakah tidak ada orang lain yang bisa mewakili perusahaan kak. Saya butuh kau bersama di sini?"
"Saya usahakan semaksimal mungkin Rosa. Hanya papa, mama atau saya yang bisa menuntaskan urusan ini. Papa ada janji dengan mitra investor Korea. Mereka juga akan datang dalam waktu bersamaan".
"Gimana saya mesti bilang sama mama dan papa jira kak Dedi nggak menunggu saya melahirkan? Rosa hampir terisak dalam tilpon. Dia tak bisa percaya kalau pekerjaan bisa demikian menyita kehidupan suazi isteri.
"Sampaikan maaf saya untuk papa dan mama. Saya akan datang secepat mungkin sesudah urusan selesai semuanya".

Tak semuanya dikatakan ke papa dan mamanya. Semua dipendam dan dirasakan sendiri. Hanya dia bilang sambil lalu kalau Dedi sedang sibuk luar biasa karena pekerjaannya. Agar papa dan mamanya tidak terkejut betul jika Dedi tak menunggu saat dia melahirkan nanti. Ketika waktu melahirkan datang, hanya adiknya Iwan yang ada di dekatnya. Rosa diantar Iwan ke rumah sakit bersalin. Mama dan papanya menyusul kemudian. Mereka baru membereskan urusan pabrik textil yang tengah mulai berproduksi di daerah Bandung selatan. Rosa minta Iwan menghubungi Dedi, namur tak pernah berhasil bicara langsung dengan dia. Iwan hanya meninggalkan pesan kalau kakaknya Rosa di rumah sakit akan melahirkan.

Hari Sabtu sore, Rosa akhirnya melahirkan dengan selamat. Semua lancar. Semua cerah secerah hawa Bandung sore hari. Seolah semua bahagia menyambut kedatangan bayi yang dikandung. Tetapi hati Rosa tetap gundah. Dedi tak juga muncul. Tak ada tilpun. Tak ada pesan. Iwan ikut merasakan kesenduan kakaknya. Tetapi dia hanya berdiam diri. Ketika kedua orang tuanya hadir di rumah sakit, Rosa tak mengungkapkan gejolak hatinya.

"Tak ada berita dari suamimu?" papanya bertanya.
"Mungkin masih di Medan pa. Tetapi Iwan sudah meninggalkan pesan lewat tilpon di rumahnya".
"Moga moga dia cepat menghubungimu'.
"Tak apa, tak ada yang perlu tergesa gesa. Moga moga saja kak Dedi cepat datang dan lihat anaknya".
"Tak semua ayah bisa menunggu kelahiran anak pertama. Banyak peristiwa terjadi bersamaan. Tetapi moga moga dia cepat datang Rosa".

Mama hanya berdiam diri. Dia memendam kekecewaan yang dalam. Tak suka dia memperlihatkannya. Hanya berdiam diri. Mencoba menghibur Rosa sebaik mungkin. Hari Senin pagi, Rosa kembali ke rumah bersama bayinya. Dia sudah siap dan merasa mantap menimang dan membesarkan bayinya sendirian. Jika memang harus demikian. apa boleh buat. Tak bisa berandai andai menunggu. Mungkin saja Dedi memang belum siap menerima kenyataan menjadi seorang ayah. Dengan persetujuan papa dan mamanya dia beri nama anaknya Titania Puspasari.

Hari Sabtu sore, Dedi akhirnya datang.. Naik suburban 4848. Wajahnya nampak lelah dan kuyu. Tak menyiratkan kegembiraan.
" Maaf saya tak bisa tilpon dari Pekan Baru Rosa. Hubungan telepon tak lancar. Saya terima pesan Iwan waktu tiba di Jakarta. Langsung ke sini".
"Semuanya lancar kak. Hanya papa sama mama yang menanyakan kak Dedi. Saya beri nama Tita. Titania Puspasari"
"Nama yang indah. Dia cantik seperti kau" Dedi memandang sekilas bayi di ranjang.
"Kak kapan saya bisa ikut pindah ke Jakarta?. Kan sesudah melahirkan, kita rencana pindah Jakarta".
"Tak usah tergesa Rosa. Biar Tita agak besar sedikit. Supaya nggak repot nanti"
"Kita akan tinggal bersama keluarga papa dan mama atau mau kontrak rumah sendiri nanti?'
"Mungkin tinggal bersama papa dan mama sementara".

Hanya semalam Dedi menunggu Rosa. Hari Minggu siang dia harus kembali ke Jakarta. Hari Senin ada acara rapat di kantor. Rosa mencoba menahannya untuk tinggal beberapa hari lagi. Tak bisa meninggalkan pekerjaan katanya. Tak ada orang yang bisa menggantikannya di kantor. Dedi lebih banyak merenung selama di bandung. Tak sempat ke luar kemana mana. Hanya diam di kamar bertiga dengan bayi Tita. Semalam sempat bicara sebentar dengan papa dan mama. Mereka menanyakan gimana rencana lebih lanjut. Dedi menjawab jika belum punya rencana pasti.

Pagi menjelang keberangkatan ke Jakarta Dedi ingin membicarakan sesuatu dengan Rosa.
"Rosa, ada sesuatu yang musti saya beritahukan padamu."
"Apakah menyangkut kita bertiga?"
"Ya sedikit banyak menyangkut kita sekeluarga. Masa depan kita bersama"
"Katakan jira saya bisa membantumu kak"
"Sebenarnya sudah rencana lama. Tetapi saya tak pernah mengungkapkannya padamu. Saya ingin menempuh program paska sarjana di Australia"
"Berarti harus pisah jauh beberapa tahun kak. Paling tidak kan dua atau tiga tahun. Ada kemungkinan kami ikut nanti?".
"Iya paling tidak dua tahun. Saya tak tahu nanti mungkin kamu bisa menyusul bersama Tita. Tetapi bukan saat saat awal ini".
"Kapan rencana berangkat ?"
" Kira kira dua minggu lagi. Surat panggilannya baru saya terima saat kembali dari Pekan Baru kemarin".

Rosa tak bisa menutupi rasa sedihnya. Dia hanya menangis lirih. Dia ingin hidup seperti kebanyakan keluarga baru. Hudp bersama dan menikmati kebahagiaan. Bukan masalah uang semata. Dia tak pernah merasa kekurangan. Tetapi ketersendirian tanpa kebersamaan dengan suami itulah yang menyiksanya. Dia peluk suaminya dan menangis lirio di dada Dedi. Kesunyian yang mencekam. Keduanya tenggelam dalam perasaan masing masing.

"Sebelum berangkat, usahakan ke sini dulu ya kak. Juga pamit sama papa dan mama".
"Saya belum mengatakannya ke papa dan mamamu. Mungkin besok saja kalau mau berangkat ya".

Siang itu dia mengantar Dedi sampai pintu halaman. Dia seolah merasakan kehilangan orang yang diicintainya. Untuk masa yang lama.
"Ah moga moga ada jalan. Mungkin juga ini jalan terbaik untuk kami bertiga".

No comments:

Post a Comment