Friday, April 17, 2009

(14) Surat dari Yogya

Enam bulan telah lewat sejak pertemuan terakhir dengan Bram. Paling tidak dua tiga bulan sekali, Rosa ke Yogya untuk mengurus pemasaran pakaian jadinya. Dengan Barm, dia belum menceritakan kisah masa lalunya bersama Dedi. Asmara yang menggebu yang akhirnya kandas dalam perkawinan yang gagal. Tetapi lega rasanya telah menyampaikan kondisi yang sebenarnya tentang dirinya. Tentang Tita. Bahwa dia seorang janda. Terhempas dalam perjalanan perkawinan. Tak ada beban lagi. Apapun yang terjadi akan dihadapi dengan tenang. Tak ada yang perlu ditutupi. Inilah saya. Inilah Rosa bersama Tita.

Kadang terbersit kegetiran, mengapa tak ada kabar dari Bram? Mungkin dia kecewa mengetahui dirinya seorang janda ? Tak tahulah. Mungkin juga sedang sibuk menyelesaikan ujian akhirnya. Secara tak sadar dia mengharap sesuatu. Menanti kabar dari Bram. Menunggu sepucuk suratnya. Ingin rasanya menulis sesuatu. Tetapi nalurinya mengingatkan untuk menahan diri. Biarlah, apa yang terjadi, terjadilah. Apapun yang akan datang akan diterima dengan sabar. Mencoba sabar setelah menyadari dia terburu buru dalam kisah asmara menggebu sebelumnya.

Kegagalan rumah tangga Rosa tak hanya berdampak terhadap kehidupan pribadinya. Juga ke keluarganya. Bapak Kusuma, ayahnya seolah tak lagi bersemangat mengembangkan usahanya. Pabrik tekstil yang dirintis bertahun tahun dan mulai berkembang, lebih banyak dikendalikan oleh isteri bersama anak lelakinya Iwan. Iwan sebenarnya masih kuliah. Tetapi dia juga kurangi kegiatan akademiknya dan lebih banyak terlibat dalam pengelolaan perusahaan. Membantu mamanya. Sementara Rosa semakin menekuni produksi pakaian anak. Membutuhkan perhatian khusus. Dalam sebulan paling tidak selama seminggu dia harus mengunjungi toko toko pelanggannya di berbagai kota. Tita sudah terbiasa ditinggal sang mama. Dia dekat dengan bibik Irah, dengan Oom Iwan dan dengan oma dan opa.

Suatu sore rosa dan mamanya duduk duduk di depan pavillion. Menikmati udara sore hari sambil minum teh.

" Rosa, Dedi tak pernah menanyakan kabar anaknya?'
" Tidak ma. Saya senang tak ada komunikasi. Status sudah jelas. Dia tak ingin diganggu dan memutuskan hubungan"
"Apakah kau tak bermaksud kontak dengan orang tua Dedi di Jakarta ?"
"Biarlah ma. Saya memang tak berminat sama sekali. Tak ada kata kata sewaktu saya melahirkan Tita. Tak ada berita sewaktu ayah Tita pergi ke Australia. Ini semua sudah menjadi garis perjalanan hidup saya bersama Tita"
" Hati hati selalu nak. Saya dan ayahmu masih sedih melihat semua ini. Lihatlah papamu jadi begitu pendiam sekarang".
"Papa sama mama tak perlu terlalu sedih memikirkan saya. Bukankah saya telah bangkit? Usaha saya sangat berkembang. Dan saya sangat bahagia. Semua untuk Tita".
"Teman baru mu dari Yogya, Bram, gimana kabarnya?"
Rosa terkejut mendengar pertanyaan itu. Tak menyangka mamanya menanyakan masalah itu. Dalam hatinya yang dalam, terbersit harapan bertemu kembali dengan Bram. Dalam suasana yang lebih tenang. Ingin bicara dan membuka semuanya. Semua tentang masa lalunya.
"Bung Bram sedang sibuk ma. Menyelesaikan ujian akhirnya. Saya juga menunggu berita darinya. Moga moga telah beres semuanya".
"Hati hati nak. Jangan terlalu menaruh harapan. Dunia tak selalu seperti yang kita harapkan".
"Papa sekarang kok diam sekali ya ma. Kasihan dia"
"Dia terpukul benar dengan kegagalanmu. Kamu anak kesayangannya. Kebanggaannya. Dia akan bahagia melihatmu bahagia. Jangan mengeluh ke papamu".
"Enggak ma. Saya telah menerima semuanya. Melupakan semuanya. Hanya melihat ke depan".

Percakapan sekilas dengan mamanya memberi kesadaran yang dalam buat Rosa. Dia tak ingin melihat apa dan mamanya terbebani karena dia. Dia mantap ingin menunjukkan kalau dirinya kuat. Menjalani perjalanan hidup yang berat ke depan. Esok hari sesudah percakapan itu, sepucuk surat datang dari Yogya. Dari Bram. Kabar yang ditunggu tunggu selama ini. Dia berdebar. Gembira menerima surat itu. Dia baca dengan tenang di malam hari setelah Tita tidur. Dengan tenang. Apapun isinya. Tulisan tangan yang indah tertuang dalam kertas warna jambon lembut. Hatinya berdesir membaca kata demi kata dalam surat itu.

Salam hangat buat Rosa,

Lama aku ingin menulis sesuatu buatmu. Namur maaf saya selalu ragu untuk mengirimnya. Ragu bagaimana mengungkapkan pikiran dan perasaan saya dalam surat. Inilah surat saya yang pertama. Moga moga kau membacanya dalam suasana yang tenang. Terima kasih sekali atas surat yang kau kirimkan beberapa bulan lalu. Saya masih baca berulang kali. Sambil membayangkan wajahmu yang indah.

Dari mana saya harus mulai surat ini ? Saya ingin sejak dari awal. Sejak kita berkenalan. Saya merasa begitu bahagia ketika berjumpa dan berkenalan denganmu. Dalam perjalanan malam ke Bandung. Banyak harapan dan impian datang dalam benak saya. Mengenai hubungan kita selanjutnya. Ingin berjalan bersamamu menatap masa depan. Melintasi kegelapan malam menatap esok hari yang indah. Seolah perjalanan malam itu menggambarkan kelanjutan persahabatan kita. Saya berharap dan berimaginasi. Impian dan harapan ini yang membawa saya melakukan sesuatu yang tak patut malam itu. Mohon maaf sekali lagi. Saya melakukannya bukan karena iseng. Saya lakukan itu dengan impian indah dan harapan perjalanan ke depan. Dengan penuh rasa hormat dan penghargaan buatmu.

Rosa,
Tak banyak waktu kita untuk saling mengenal lebih dalam. Juga tak banyak kesempatan untuk memikirkan masa depan persahabatan kita. Tetapi rasa kekaguman dan kedekatan saya tak terusik sedikitpun saat kau menceritakan tentang Tita. Tentang dirimu. Kekaguman saya tak akan lekang oleh panas. Tak akan lapuk oleh hujan. Abadi sepanjang masa. Hanya keraguan bagaimana melewati banyak pertanyaan dan ketidak mengertian. Dari keluarga. Dari kerabat dan sahabat. Saya akan mencobanya dan akan datang padamu.

Saya baru saja menyelesaikan pendidikan saya. Minggu kemarin baru saja pendadaran. Seolah mengharapkan kau menemani saat pendadaran itu. Walau kita hanya sahabat. Persahabatan yang moga moga berkembang abadi untuk hidup kita bersama. Saya akan segera mencari pekerjaan. Minggu minggu ke depan akan ke Jakarta. Saya akan sempatkan ke Bandung dan menemuimu. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Mungkin belum bisa kita putuskan. Tak perlu tergesa kan ? Tak ada yang mengejar. Kita bicara tentang perjalanan panjang. Perjalanan hidup menyusur waktu ke masa depan.

Salam hangat dari Yogya.

Bram

2 comments:

  1. hebring... makin penuh teka teki ending story nya
    makin bikin penasaran
    saya pembaca setia lo ki........

    ReplyDelete