Sunday, February 8, 2009

(9)Termangu Di Simpang Jalan

Mereka bertiga tiba di stasiun Tugu masih pagi benar. Kebetulan kereta tak terlambat. Menjelang jam empat sudah masuk Yogya. Tak ada suara hiruk pikuk. Tak ada jeritan penjaja makanan. Tak ada nyanyian burung. Nyanyian yang menggambarkan kedatangan kereta di Yogya, adalah lagu Sepasang Mata Bola. Tetapi lagu itu menngambarkan kedatangan kereta di sore hari. Hampir malam di Yogya. Ketika keretaku tiba. Remang remang cuaca. Terkejut aku tiba tiba. Tak enaklah mendendangkan lagu itu di pagi hari, pikir Bram. Irama refrainnya juga seperti kereta langsir.

Sebagian besar penumpang lelap tidur sepanjang perjalanan Hanya Bram yang tak mengejapkan mata. Pikirannya kalut. Hatinya gundah. Bingung apa yang harus dilakukan dengan Rosa. Hati sudah terlanjur lekat. Tak membayangkan sebelumnya jika Rosa sudah mempunyai anak. Sudah menjanda. Bagaimana dia harus mengatakan pada ibu dan bapaknya? Bagaimana dia harus membukanya di hadapan teman teman di kampus. Dia dikenal sebagai aktivis di kampus.

Keluar dari stasiun berjalan menuju pemberhentian becak. Parasto dan Sinambela, beranjak pergi, sambil mengingatkan Bram " Ketemu di kampus jam sepuluh". Dia hampir tak mendengar. Masih merenung termangu di simpang jalan di depan stasiun. Hawa dingin menusuk, menembus sweeter rajutan warna merah ungu yang dibelinya di Bandung beberapa waktu lalu. Akhirnya dia menghempaskan diri di kursi becak dan minta diantar ke alamat rumahnya di selatan. Terlena di atas becak.

***
Matahari sudah tinggi ketika Barm terbangun. Hampir jam delapan. Cepat cepat mandi. Kemudian minta pak Djo membuatkan kopi. Bapaknya sudah berangkat ke kantor diantar sopir, pak Mardi. Sejenak Bram membaca koran Kedaulatan Rakyat. Sambil minm kopi. Perhatiannya tertuju ke berita utama yang memuat pernyataaan Gubernur AKABRI. "Insiden terbunuhnya Rene adalah kemunduran besar dalam pembangunan generasi muda dan demokrasi". Bram tak punya minat untuk membacanya. Pernyataan tak akan mengembalikan nyawa korban.
" Kenapa sudah necis, mau ke kampus ?" Ibunya bertanya menyelidik.
" Hasil misi kami di Bandung harus dilaporkan Bu. Hari ini akan dibuat kebulatan tekat".
"Sempat mampir ke rumah Pakdhe Dewanto?"
"Tak sempat sayangnya. Habis dari kampus menemui keluarga Rene. Kami sempat bertemu dengan saudara saudaranya. Tantenya yang menemui kami. Saya sampaian duka sedalam dalamnya."
" Jika selesai acara rapat, cepat pulang ya Bram. Keadaan sedang panas. Berita di televisi, selalu mengabarkan bentrok mahasiswa dengan polisi. Selalu was was saya. Bapakmu juga selalu menanyakan kau dimana. Rupanya nggak tenang dia di kantor"
"Tenang saja Ibu. Memang suasana sedang panas. Kami nggak akan memancing kerusuhan".
" Biar diantar pak Mardi. Dia harus njemput bapakmu jam dua nanti. Jangan naik motor".
"Nanti Parasto mau nyamperin Bu. Sekalian mau bicara dulu tentang hasil misi ke Bandung. Bagaimana harus melaporkan".
"Kapan kalau nggak sibuk, hubungi nak Reni ya. Setiap ketemu selalu kirim salam untukmu".
" Nggak enak Bu dekat dekat sama Reni. Dia sudah punya calon. Seorang dokter. Sedang ambil spesialis kandungan".
"Apa? Yang bener kamu Bram. Saya kok nggak dengar apa apa dari ibunya ya?.
Ibu Bram nampak terkejut sekali mendengar ucapan putranya. Bagaimana mungkin Reni sudah punya calon? Ibu Reni sobat karibnya selalu menanyakan tentang Bram dan tak pernah cerita apa apa. Dulu sih pernah bergurau, "Gimana kalau kita menjadi besan?". Tak perlu dirisaukan. Perjodohan hanya Tuhan yang tahu.

***
Dalam rapat di Pagelaran, Bram tak banyak bicara. Parasto melaporkan secara tuntas hasil pembicaraan dengan DEMA ITB. Tak perlu ditutup tutupi. Rene memang dibunuh. Tidak menjadi korban huru hara. Dia tak terlibat huru hara. Jelas dia dicegat, ditembak. Tubuhnya diseret ke atas truk yang mengangkut para calon polisi itu. Yang lebih membuat panas suasana karena versi polisi sangat berat sebelah. Mereka menutup nutupi keterlibatan para taruna calon polisi. Ketika mayatnya ditemukan di gudang kantor polisi, bukan mencari siapa yang mencampakkan tubuh malang itu di sana. Tetapi yang ditangkap dan ditahan adalah petugas polisi yang sedang jaga. Polisi pangkat rendah yang tak mampu berbuat apa apa melihat para taruna beringas itu menyeret tubun Rene yang penuh darah. Petugas jaga itupun telah lari menyelamatkan diri ketika mahasiswa ramai ramai masuk ke kantor polisi mencari korban.

Terjadi debat ramai oleh karena sebagian besar wakil mahasiswa menginginkan agar mahasiswa turun ke jalan. Akhirnya disepakati untuk membentuk panitia adhoc yang senantiasa akan memantau perkembangan situasi lebih lanjut. Khusunya bagaimana tindak lanjut secara hukum. Kekerasan telah menjadi dogma dan alat untuk mencapai segalanya.

Pikir Bram, entah sampai kapan kekerasan akan menjadi alat untuk menakut nakuti masyarakat demi kelangsungan kekuasaan. Apapun retorikanya. Entah itu demi stabilitas. Demi kelangsungan pembangunan manusia Indoinesia seutuhnya. Demi pertumbuhan ekonomi dan tinggal landas. Intinya sama saja. Kekuasaan dan penyelewengan. Moga moga tidak akan jatuh korban sia sial agi.

***
Pulang dari rapat Bram ragu ragu untuk terus pulang. Pikiran kalut. Mau kemana hari ini. Mau kemana masa depannya. Dengan siapa dia akan menjalani perjalanan ke depan? Dengan Rosakah? Tanpa rencana dia mnuju rumah Reni di Jeron Beteng. Moga moga dia nggak jaga di rumah sakit. Kemarin dulu dia bilang katanya sedang asistensi di THT.

"Hai mas Bram. Tumben mau datang ke sini? Katanya ke Bandung?" Reni menyambutnya ramah. Mereka duduk di belakang di bawah pohon jambu yang rindang. Bram dulu semasa kanak kanak sering sekali memanjat pohon itu, sementara Reni menunggu dibawah.
"Bapak sama ibu baru ke Solo, pulang besok. Saya sendirian sama simbok mas"
"Baru tadi pagi saya tiba dari Bandung. Hanya sehari di sana. Ke ITB kemudian mengunjungi keluarga Rene, mahasiswa ITB yang dibunuh taruna polisi beberapa hari lalu".
"Iya ceritanya gimana sih. Kejam amat dia disiksa ramai ramai kabarnya. Sampai badannya hancur. Benarkah itu mas Bram?"
"Sebagian besar ceritanya benar. Bagaimana kabarmu Reni ? Bagaimana kabar calonmu, dokter siapa?".
"Mas Herman? Dia baik baik saja. Tetapi serius sekali. Nggak pernah ngobrol hangat. Saya segan sama dia, tetapi kok rasanya begitu formal dan kaku ya"
"Reni, jangan menyesal. Anda sudah memutuskan. Jangan ragu. Keraguan akan membuat kita tak berjalan ke depan".
"Enggak ah. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Moga moga hanya butuh waktu untuk saling mengerti dan menyesuaikan. Omong omong, memangnya ada apa kok hari gini mau datang ke sini, mas Bram".
"Cuma pengin ngobrol saja. Rasanya kok kita nggak seperti dulu begitu bebas bercerita dan bercanda ya".
"Ya emangnya suruh seperti masa kanak kanak terus. Waktu kan terus berjalan".
"Reni, ada sesuatu yang akan saya ceritakan. Saya juga ingin dengar saranmu. Saya sedang kalut".
"Dengan senang hati saya akan membantu. Kita sudah saling membantu sejak kanak kanak mas Bram"

Bram menceritakan kisahnya dengan Rosa. Sejak perkenalan di bis malam sampai ke pertemuan di rumah. Lengkap dan lugas. Dia mengaku kalau benar benar jatuh hati dengan wanita yang dikenalnya di bis malam itu. Sudah begitu lekat dalam hatinya. Kemudian pertemuannya yang kedua kemarin. Hatinya begitu berbunga bunga ketemu Rosa kembali walau hanya sejenak. Namun tak disangka. Pengakuan Rosa telah membuatnya kalut dan gelap. Pengakuan bahwa dia seorang janda. Pengakuan tentang anaknya bernama Tita. Rosa belum menceritakan semuanya.

"Mas Bram,sulit saya memberikan saran. Bagi saya bukan masalah janda atau gadis. Masalahnya Mas Bram benar benar mencintai dia enggak. Kalau cinta dan mantap, berjalanlah terus. Kalau ragu, berhentilah sejenak. Lihatlah perjalanan anda ke belakang dan kedepannya.".
" Saya yakin mencintainya Reni. Keraguan saya bukan karena cinta atau tidak. Tetapi bagaimana menghadapi kenyataan. Kenyataan yang tidak selamanya bisa diterima".
Bram membayangkan bagaiman.a dia akan memberitahu bapak ibunya. Teman temannya mengenai Rosa.
"Mas Bram, berhentilah sejenak
. Lihatlah sekeliling anda. Lihatlah ke belakang dan ke depan. Perjalanan masih panjang. Tak perlu membuat keputusan terburu buru". Reni berkata lirih, sementara matanya berkaca kaca. Dia dengan Bram sejak kecil selalu dekat. Dalam canda. Tetapi dalam situasi sulit seperti ini rasanya dia merasa dekat sekali. Dia memeluk erat Bram tanpa ragu. "Berhentilah sejenak mas Bram. Jangan terburu". Bram tak berkata sepatahpun. Pikirannya melayang. Reni memang dekat di hatinya sejak kanak kanak. Hubungan kerabat yang kental. Tetapi ada getaran lirih yang dalam kali ini. Getaran yang tak pernah terasakan sebelumnya. Pikirannya bingung membayangkan Rosa. "Rosa, Rosa mengapa kita harus ketemu?". Termangu di simpang jalan. Antara jalan bersama Rosa atau Reni.

No comments:

Post a Comment