Sunday, February 1, 2009

(8) Bouginvila ungu



Kereta seolah merambat. Berjalan terengah. Kadang menjerit kelelahan. Orang naik kereta malam selalu pengin cepat sampai ke tujuan. Tak ada yang bisa dilihat dari jendela. Hanya kegelapan malam. Mungkin bintang bintang di langit. Jjika tak ada awan menutup medan. Masih terang tanah ketika mereka sampai di stasiun Bandung. Masih terlalu pagi untuk terus menuju kampus. Bertiga mereka naik taksi menuju jalan Dago. Kakak Parasto seorang dosen di ITB dan tinggal di kompleks Sangkuriang. Bisa ikut mandi atau cuci muka sebelum ke kampus. Bram merasa sangat gerah karena semalam hampir tidak bisa memincingkan mata. Hanya tertidur sebentar saat kereta mendekati Bandung. Pikirannya galau, mungkin enggak menemui Rosa? Dia tak sempat memberi kabar. Tetapi rumahnya dekat Sangkuriang. Lihat saja nanti.

" Tok, kenapa nggak memberi kabar?" Kakak Parasto menyambut dengan nada terkejut. "Bapak ibu baik baik kan?" Permadi, kakak Parasto menjadi dosen di ITB. Seorang insinyur sipil, lulus doktor dari Perancis.
"Ada kepentingan mendadak. Kami akan menemui DEMA ITB. Mencari fakta sebenarnya mengenai meninggalnya Rene" Parasto menjawab singkat dan memperkenalkan Bram dan Sinambela.
" Kami hanya mampir, sore ini akan kembali ke Yogya. Bisa ikut mandi dan ganti pakaian ya?". Mereka duduk di kamar tamu sambil minum teh. Permadi selanjutnya memberikan penjelasan tanpa diminta.
" Nggak tahu kenapa mesti pertandingan segala. Maunya sih untuk persahabatan. Tetapi nyatanya orang nggak siap secara psikologis. Terlalu dipaksakan. Kesebelasan ITB selamanya nggak pernah menang, kok sekali ini menang. Anak anak keliahatannya menumpahkan rasa gembira dengan meledek taruna taruna itu"
"Apapun penjelasannya pembunuhan berdarah dingin itu nggak bisa diterima mas. Kami akan bergerak. Rejim ini sudah keterlaluan. Arogan dan korup". Sinambela menukas.
" Semua generasi muda pasti nggak senang dengan penguasa militer sekarang. Tetapi pendekatan konfrontatif, tak akan efektif dan makan korban. Mereka selalu heavy handed. Mahasiswa dan kalangan kampus selalu dicurigai".

Bram minta ijin untuk cuci muka di belakang sekalian ganti baju. Dia sengaja memakai baju hitam dan celana hitam. Tak sempat istirahat lama lama. Sesudah ganti pakaian, Bram dan Sinambela menunggu di ruang tamu, sementara Parasto bicara dengan kakaknya Permadi bersama isterinya, Nina. Urusan keluarga. Ada bunga bouginvila ungu di sudut halaman depan. Bunga warna ungu itu seolah selalu membawa keheningan yang dalam. Bram selalu mengagumi. Bouginvila warna ungu yang hening, mengingatkannya ke Rosa. Hatinya berdesir.

Jam setengah tujuh, Nina isteri Permadi berangkat mengantar kedua anaknya yang masih duduk di sekolah dasar, berangkat ke sekolah. Bram menyapa ramah " Wah tugas rutin ya kak. Mengantar anak. Saya ambil segenggam boubinvilla ungu boleh nggak. Mau saya bawa ke kampus".
"Ngantar anak sih tugas bersama gantian sama mas Permadi. Dia baru ngobrol sama adiknya. Anak anak masuk sekolah jam tujuh. Silahkan kalau senang ambil bouginvila. Tetapi biasanya bouginvilla nggak untuk melayat lho".
"Terima kasih, nanti kami beli mawar sama sedap malam juga di Dago. Sekalian pamitan kalau nanti nggak sempat mampir kak Nina".

Menjelang jam delapan mereka berangkat ke kampus Ganesa, sekalian sama Dr Permadi berangkat kantor. Kantornya juga di kampus yang sama. Mereka mampir beli bunga. Bunga mawar, melati dan sedap malam. Bunga bunga itu dirangkai rapi dengan bouginvila ungu yang diambil dari halaman rumah Permadi tadi.

Mereka langsung menuju ke ruang Dewan Mahasiswa. Bertemu dengan ketua dan beberapa anggota pengurus. Semua dalam keadaan tegang dan sedih. Parasto atas nama seluruh mahasiswa Gadjah Mada, mengungkapkan rasa duka sedalam dalamnya atas gugurnya Rene. Dia juga menjelaskan maksud kedatangannya di Bandung untuk menyatakan dukungan bagi pihak mahasiswa ITB dan mencari fakta tentang kejadian tragis itu.. Penjelasan yang diperoleh dari pihak DEMA ITB singkat dan jelas. Rene Louis Conrad tidak terlibat dalam huru hara pertandingan sepak bola. Dia masih mondar mandir di muka kampus dengan Harley Davidsonnnya ketika truk rombongan taruna kepolisian itu keluar dari kampus. Beberapa saksi mengatakan kalau dia dihentikan oleh sekelompok taruna yang turun dari truk. Ketika dia berhenti beberapa taruna mendekatinya, dan tiba tiba saja salah salah seorang taruna menembak Rene dari belakang. Dia roboh dan langsung dinaikkan ke truk dan dibawa pergi. Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian itu kemudian ramai ramai mencari Rene.. Kisah selanjutanya sama persis seperti yang mereka terima sebelumnya. Mayat Rene ditemukan di gudang salah satu kantor polisi di kota Bandung. Dia meninggal kehabisan darah tanpa memperoleh pertolongan.

Setelah berdiskusi beberapa lama, mereka sepakat agar kasus pembunuhan ini diusut secara tuntas dan yang bertanggung jawab dibawa ke pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun dalam pembicaraan itu, ada rasa pesimis yang membayangi. Salah satu taruna yang terlibat pembunuhan adalah anak seorang petinggi militer. Kemungkinan akan ada skenario untuk menghindarkan proses hukum. Sesudah diskusi mereka bertiga diantar untuk meihat tempat di mana Rene ditembak di muka kampus. Masih banyak mahasiswa berkumpul di sana. Beberapa karangan bunga terserak di tepi jalan. Bram, Parasto dan Sinambela bersama dengan beberapa teman dari DEMA ITB mengheningkan cipta ditempat itu. Karangan bouginvila ungu, mawar, sedap malam dan melati diletakkan di tempat Rene gugur.

"Selamat jalan kawan. Selamat jalan anak muda. Semoga pengorbananmu tidak pernah sia sia. Semoga kekerasan dan kesombongan tidak akan menjadi alat kekuasaan. Beristirahatlah dalam keheningan yang abadi. Dalam damai. "

Tiba tiba seorang dengan kamera ditangan mendatangi mereka. Memperkenalkan diri sebagai koresponden radio Australia dan menanyakan sikap dan tindakan mahasiswa lebih lanjut setelah peristiwa pembunuhan itu. Ketua DEMA ITB menjelaskan peristiwa yang terjadi, Di akhir pembicaraan, Bram menyela " There are no appropriate words to describe this barbaric and coward murder. We will keep demanding that those who are responsible be brought to justice. Oppression and arrogance of this military regime will not last forever".

Setelah selesai acara di kampus, mereka diantar untuk berkunjung ke keluarga Rene di Bandung atas. Rumah dengan pekarangan luas di tepi jalan menuju ke Lembang. Masih banyak kerabat korban yang berkumpul di sana. Mereka ditemui oleh tante Rene, adik papa Rene. Bram atas nama segenap mahasiswa Gadjah Mada menyampaikan duka sedalam dalamnya dan berharap agar keluarga yang ditinggal selalu diberi ketabahan. Melihat tante Rene, Bram tak bisa menahan rasa iba. Kesedihan yang dalam dan putus asa nampak membayang diwajahnya. Dia peluk seolah dia memeluk ibunya. "Tante sekeluarga mohon tabah ya. Kami akan berdoa untuk Rene dan akan mengenang dia selamanya". Tak mampu menahan air matanya ketika mengucapkan kata kata itu. Sesaat dia ingat ibunya.

Jam tiga seluruh acara selesai. Mereka akan pulang malam itu juga dengan kereta ke Yogya. Masih ada waktu beberapa jam oleh karena kereta berangkat jam tujuh. Parasto mengajak mereka kembali dulu ke Sangkuriang, bisa istirahat sejam dua jam di sana. Mereka bertiga naik opelet lewat jalan Dago. Seharusnya turun di depan pasar Simpang. Namun Bram berkata " Saya akan ke Dago Bukit. Ke tempat pakdhe saya. Mungkin nanti ketemu saja di stasiun ya. Jam setengah tujuh".

Tiba tiba saja keinginan itu muncul. Dia ingin menemui Rosa. Tetapi dia belum memberitahu sebelumnya. Agak bimbang sebenarnya. Biar sajalah. Coba dulu ke rumah Rosa. Kalau nggak ketemu, terus ke tempat pakdhe Dewanto. Matahari masih memancar cerah sore itu, baru menjelang pukul empat. Angin semilir menghembus ringan mengurangi panas matahari musim kering. Dan Bram berjalan kembali di jalan itu di Cisitu. Menuju rumah nomer sebelas dengan bunga bunga kembang sepatu di pagar halamannya. Agak ragu ketika dia memencet bel.
" Gan, selamat sore. Mau ketemu sama ibu Pipit?" Pembantu membukakan pintu dan menyapanya ramah. "Kebetulan dia seharian nggak keluar. Silahkan masuk gan".
Bram memasuki pekarangan yang asri itu. Langsung menuju ke ruang tamu disamping rumah utama. Di tempat dimana dia beberapa minggu lalu berduaan dengan Rosa. Menunggu beberapa saat di kursi tamu. Suasana sepi tak terdengar kesibukan sama sekali. Sesaat kemudian Rosa muncul dengan baju warna hijau muda. Warna segar dan cerah. Nampak cantik dan ceria. Dia bangun menyambutnya. Dia kasih salam dan pelukan seolah sudah kenal lama sekali.
"Tak ada kabar sama sekali Bung Bram. Surat ku sampai enggak ya?" dia menyapa riang.
"Ada keperluan mendadak. Kami mengunjungi teman teman di ITB untuk mencari fakta pembunuhan kemarin dulu".
"Iya suasana tegang sejak peristiwa itu. Dua hari ini workshop saya tutup. Dari pada ada resiko. Mahasiswa dan anak anak muda marah sekali. Mereka lalu lalang di jalan. Moga moga cepat terselesaikan secara tuntas".
"Kami bertiga, malam nanti harus pulang dengan kereta jam tujuh. Ada waktu sebentar saya kesini pengin menemuimu"
'Terima kasih mau menyempatkan ke sini. Banyak yang ingin saya ceritakan sebenarnya jika anda punya waktu cukup".
"Take it easy. Saya akan mendengarnya. Jika belum mantap tak perlu cerita sekarang. Besok masih ada waktu lebih baik Rosa".
"Saya tak merasa tenang sebelum cerita ke anda Bung. Ini masalah prinsip. Masalah tentang kehidupan".
"Terserah mana yang terbaik buat anda Rosa. Saya tidak memaksamu. Saya siap mendengarnya".
Sejenak Rosa terdiam. Menarik napas dalam dalam menahan gejolak perasaannya.
"Maaf bung Bram, saya tak cerita sejak awal sewaktu anda ke sini dulu. Saya seorang janda. Perpisahan kami resmi diijinkan pengadilan belum ada enam bulan lalu. Saya bersama putri saya Tita. Dia baru dua tahun lewat"
Bram tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dia sama sekali tak mengira apa yang diungkapkan Rosa. Dia terdiam beberapa saat menata pikiran. Pelan pelan dia berkata.
"Tak ada yang perlu disesali Rosa. Hidup adalah perjalanan. Perjalanan panjang ke depan. Banyak kemungkinan peristiwa terjadi dalam perjalanan."
" Hanya masa depan Tita yang menjadi impian saya Bung Bram. Saya tidak akan menyerah berjuang demi dia"
"Masih banyak kesempatan untuk bercerita. Jangan ceritakan semuanya saat ini"
Mereka duduk bersama sore itu. Tak banyak pembicaraan. Masing masing tenggelam dalam gejolak pikiran dan perasaan masing masing. Ada rasa kecewa menyelinap di hati Bram. Mengapa dia mesti mampir menemui Rosa kali ini. Masih ada kesempatan yang lebih baik. Akhirnya dia menutup gejolak perasaanya sendiri "Hidup memang sebuah perjalanan. Kadang kadang bertemu dengan sesuatu di luar rencana manusia. Biarlah segalanya berjalan seperti air mengalir".
Jam enam Bram pamitan. Dia salami tangan Rosa dengan erat. Pikirannya tak karuan saat itu. Tetapi tanpa dia sadari dia memeluk Rosa erat sekali. "Biarlah semuanya berjalan alamiah. Tak perlu kita paksakan. Kita saling berdoa Rosa. Moga moga terbuka jalan terang buat kita". Rosa menjawab lirih. "Maaf kalau anda kecewa. Hati hati di jalan. Saya akan tulis selengkapnya". Bram berjalan gontai meninggalkan rumah itu. Di ujung jalan dia menengok ke belakang. Rosa melambaikan tangan. Bram bertanya dalam hati " Apakah saya harus kehilangan dia?

1 comment: