Saturday, February 21, 2009

(10) Hidup bukan impian




Hari Minggu sore, Rosa bermain bersama Tita, putri tercinta. Di halaman depan di mana dia beberapa minggu lalu duduk bersama Bram di sana. Titania Puspasari, panggilannya Tita, baru berumur dua tahun lebih. Beberapa bulan lalu baru merayakan ulang tahun ke dua. Ulang tahun hanya bersama mama, opa, oma dan oomnya Iwan. Tak ada orang lain. Merekalah orang orang yang hadir dekat dalam kehidupan Tita. Juga bibik Irah. Tak ada papa. Dia masih polos dan belum mengenal papa. Belum juga punya naluri untuk bertanya. Suatu saat pasti dia akan bertanya. Dan Rosa harus siap memberikan jawabannya.

Kadang Rosa merasa getir, bagaimana menghadapi situasi itu. Bagaimana saat Tita masuk sekolah dan melihat teman temannya bersama papa dan mamanya. Dia pasti akan bertanya. "Mama Rosa, teman teman saya selalu diantar papa sama mamanya. Dimana papa Tita?" . Kadang merasa takut membayangkan pertanyaan itu. Hidup memang bukan impian. Banyak peristiwa di luar kendali manusia. Sewaktu gadis dulu, dia selalu menatap kehidupan dengan penuh harapan akan kebahagian. Dunia seolah sorga penuh impian indah. Sayang tak selamanya impian bisa terwujud. Dia pernah terhempas dari impian impian itu. Dia pernah jatuh karena asmara. Tetapi dia merasa yakin untuk bangkit kembali. Hidup adalah pilihan. Kebahagiaam adalah hak setiap manusia. "Tita, mama akan berjuang untukmu dan untuk kita". Rosa selalu berpikir, karena Tita, dia berjuang untuk meraih kembali kebahagiaan dalam hidupnya. Dia belum terkandas, dia belum terhempas.

Sore itu Rosa merasa punya rasa percaya diri kembali untuk menghadapinya. Ingat saat duduk bersama Bram di tempat itu. Perkenalan dengan Bram sangat berarti buat Rosa. Selama ini hatinya dingin membeku terhadap pria. Hatinya begitu sakit dan terhunjam jika mengingat peristiwa masa lalu. Seolah kebahagiaan dan masa depannya telah direnggut secara paksa. Oleh situasi yang tak terkendali. Oleh seseorang yang telah mengkianati cintanya yang polos. Bertemu dengan Bram, dia merasa punya semangat kembali untuk mengarungi perjalanan ke depan. Jika itu mungkin. Jika Bram tak menjauh lagi. Tak ada keterikatan di antara mereka. Hanya rasa sesaat yang baru muncul. Rasa saling ingin melindungi dan membahagiakan. Rosa tak merasa rendah diri, walau dia sudah menjanda. Dia merasa lega setelah memberitahukannya ke Bram. Whatever happens, this is me. Pikirannya melayang ke masa masa lalu. Jangan lagi terkecoh impian indah. Jika toh Bram kecewa akan keadaan dirinya, Rosa tak akan berkecil hati menghadapi. Apapun yang terjadi terjadilah. Akan dihadapi dan diterima apa adanya.

***
Masih jelas benar pertemuan pertama dengan Dedi empat tahun lalu. Senja yang indah. Penutupan masa perploncoan. Semua mahasiswa dan mahasiswi selesai menjalani perploncoan berpakaian normal layaknya mahasiswa. Dalam dua minggu ini mereka mengalami tekanan mental dan fisik yang sangat. Harga diri dan kebanggaan sebagai mahasiswa seolah dirampas dan dicerca. Pakaian tak pernah layak. Selalu dengan atribut atribut brengsek, simbol perploncoan yang tak jelas maknanya. Sore itu Rosa berpakaian normal kembali. Warna gelap. Masa konyol perploncoan telah selesai. Malam penutupan menanti.

Dia sendirian menghadiri malam penutupan. Belum banyak teman yang dia kenal. Semua pakai nama brengsek selama plonco. Rosa diantar Iwan, adiknya ketempat pesta di kampus. Iwan janji akan menjemput setelah pesta usai. Pesta begitu meriah dan mengasyikkan. Lepas dari tekanan dan kekangan selama dua minggu. Puncaknya pesta dansa. Mula mula irama musik keras menghentak. Semua peserta bergerak bebas menggoyangkan tubuh. Suara musik begitu memekakkan telinga. Tubuh asal bergerak berjingkat jingkat mengikuti irama musik. Semakin malam alunan musik semakin menghanyutkan. Lewat jam sepuluh musik beralih ke irama ballroom.

Rosa senang ballroom. Dia begitu menikmati dansa dengan irama tenang. Wallz, tango, rhumba, foxtrot. Ketika lagu "Raindrop keeps falling on my head", seseorang mendekat dan mengajaknya turun. Tak ada yang istimewa. Orang itu bukan teman plonconya. Mungkin seniornya. Dia menuruti ajakannya karena Rosa memang gemar foxtrot. Berdua bergerak mengikuti irama musik. Seolah melayang bersama. "Nama saya Dedi. Dedi Karnadi", pria itu memperkenalkan diri dengan sopan sembari membimbingnya di lantai dansa.
"Saya Rosa. Apakah anda kuliah di sini ?
"Di jurusan ekonomi. Tahun terakhir. Baru menyusun skripsi akhir"
"Enak dhong, nggak usak ikut plonco".
"Rosa, rupanya anda gemar dansa. Sudah luwes dan pas sekali gerakannya".
"Papa sama mama selalu dansa di rumah. Saya belajar dari mereka".

Tak banyak mereka bisa bicara. Suara musik menjadi penghalang untuk bicara banyak. Mau bisik bisik tak kedengaran. Mau bicara keras, dibilang anak kampung sedang ronda. Ketika musik berganti lagu Amor, berdua mereka menari rhumba dengan gemulai dan seksi. Papa selalu memuji Rosa, jika dia menari rhumba. Meliuk liuk ritmis mengikuti irama musik. Dedi teman barunya juga tak banyak bercerita. Bicara seperlunya. Sepertinya selalu serius. Ceritanya dia tinggal di Bandung sendirian. Asli Jakarta. Hampir tiap dua minggu pasti balik ke Jakarta di akhir pekan. Tinggal di daerah sekitar Dago.

Menjelang tengah malam Rosa mulai gelisah. Iwan belum juga datang menjemput. Dia pesan tadi agar Iwan menjemputnya sebelum tengah malam.
"Jika tak keberatan, saya bisa antar. Saya tinggal di Dago".
"Enggak apa apa? Saya tinggal di Cisitu. Mestinya adik saya akan menjemput. Papa pasti sudah menunggu".
"Nggak usah kuatir, kita satu jurusan. Saya antar sebentar"
Mereka berdua pulang naik mobil Dedi. Rosa terkesan sikap Dedi yang sopan. Membukakan pintu mobil dan membimbingnya masuk. Pelan pelan mereka menyusur jalan Dago. Angin malam dingin kadang menerpa masuk lewat kaca jendela. Sampai rumah ternyata Iwan sudah berangkat sejak jam sebelas tadi. Papa Rosa heran ketika anak gadisnya datang diantar pria yang belum dikenalnya.
"Mana adikmu, Iwan?"
"Pah saya nunggu nunggu dia kok nggak muncul muncul. Lalu saya diantar oleh kak Dedi".
Dedi cepat cepat pamitan setelah menyerahkan. Masih sempat memberikan kartu nama sebelum pergi. "Bisa hubungi saya jika ada butuh informasi tentang kampus".
"Terima kasih kak Dedi, mau ngantar saya. Kapan kapan ketemu lagi".
Hari hari berlangsung normal kemudian. Dedi semakin sering menemui Rosa. Menjemput dan mengajak jalan jalan di akhir pekan. Mulanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Namun Rosa menikmati hubungan mereka. Mungkin lebih dari sekedar teman dekat. Ada getaran selalu muncul di balik senyuman mesra. Tak bisa diingkari. Keduanya masih sama sama muda. Masih penuh dengan impian dan gairah asmara yang indah.

***
Bulan bulan berlalu dengan nyaman. Rosa teratur mengikuti kegiatan akademis perkuliahan di fakultas ekonomi. Tak banyak kesulitan ditemui. Karena dia memang menyenangi. Juga karena bantuan Dedi, yang empat tahun lebih senior darinya. Dedi sangat membantu dan membimbing Rosa menyesuaikan dengan disiplin dan kehidupan akademis. Mereka juga mengakui ada hubungan istimewa. Antara pria dan wanita.

Dedi tak lagi sering pulang Jakarta. Akhir pekan dimanfaatkan mengunjungi Rosa. Mereka memanfaatkan waktu akhir pekan berduaan. Selalu saja ada acara. Entah di rumah, entah ke tempat teman, entah ke Lembang, entah dansa di klub mahasiswa Bandung. Seolah tak bisa dipisahkan lagi. Cinta pertama bagi Rosa. Perasaannya melambung setinggi langit. Papa dan mama Rosa juga memberi lampu hijau. Dedi berasal dari kalangan atas di Jakarta. Dari keluarga kaya.

Hari Minggu siang. Dedi seperti biasanya menjemput Rosa untuk jalan jalan. Menjelang jam makan siang. Mereka makan siang di dekat Braga. Habis makan rencananya mau cari buku di toko buku sekitar daerah itu. Ada beberapa buku teks yang harus dibeli. Rosa serius sekali mengikuti pelajaran. Setiap kuliah selalu disertai dengan penugasan yang harus dikumpulkan sebagai bahan penilaian semester. Mereka telah selesai makan ketika tiba tiba hujan deras mengguyur. Rencana ke toko buku batal. "Masih banyak kesempatan besok " pikir Rosa. Pelan pelan mereka menuju utara lewat jalan Dago.
"Baru jam satu Rosa. Tak usah tergesa pulang. Gimana kalau mampir ke tempat saya. Ada musik baru, busanova. Bisa mendengar suara musik"
Rosa agak ragu. Dia sudah beberapa kali mampir ke rumah Dedi, tetapi selalu diantar Iwan.
"Iyalah, di rumah paling saya tidur. Minggu siang acaranya tidur". Hari hari biasa tak pernah sempat tidur siang. Ada saja acara di kampus.
Akhirnya mereka singgah di rumah Dedi. Rumah dengan halaman luas. Dedi ditemani oleh pembantu suami isteri yang sudah di sana bertahun tahun. Pak Ading dan Bik Onah, asal Pengalengan. Mereka ikut keluarga Karnadi sejak sebelum membeli rumah di Dago itu. Di halaman banyak bunga terpelihara rapi. Kebanyakan bunga mawar dengan bau yang semerbak.
"Kok rumah sepi sekali kak?"
" Pak Ading sama bik Onah baru pulang ke Pengalengan. Katanya sih besok akan pulang. Nggak apa apa, kita berdua saja".

Mereka duduk di ruang depan sambil mendengarkan musik lembut. Busanova mengalun tenang menghanyutkan. Sementara hujan di luar tak juga reda. Musik membawa khayalan mereka melayang layang. Tak banyak percakapan. Hanya kadang kadang Rosa bicara lirih. Tangan mereka saling menggenggam dan rabaan raban halus membawa mereka berdua ke alam asmara yang serba indah. Sementara napas mereka semakin memburu. Ketika bibir bibir panas mereka saling memagut dan tangan tangan mereka saling meraba, keinginan datang menderu tak terbendung. Keinginan untuk menikmati kebersamaan fisik sampai tuntas. Pelan pelan mereka pindah ke dalam. Ke kamar tidur. Rosa tak mampu menahannya. Keinginan menghindar tersisih jauh di sudut hatinya. Tersapu gelora asmara yang membara. Seluruh tubuhnya bergetar disertai rasa nikmat melambung tiada tara. Dia menyambut mesra ketika Dedi mulai melepas pakaiannya satu persatu dan mencium dengan gairah lekuk lekuk tubuhnya yang indah. Semua berjalan alamiah. Melayang dengan ringan, Dan napas mereka memburu. Ketika puncak itu datang, napas mereka mengendur dan dan ada rasa puas luar biasa. Jam setengah lima sore ketika mereka bangun. Cepat cepat memakai pakain mereka kembali. Ada rasa kecewa muncul dari dalam hati. Dan Rosa terisak sejenak.
"Tak apa apa Rosa. Telah berlalu. Kita akan tanggung bersama".
Ketika sampai rumah mama Kusuma agak terkejut melihat anak gadis pulang dengan wajah murung dan lusuh. "Apakah kau sakit nak?". Rosa tak menjawab. Pertanyaan itu tak perlu jawaban khusus. Pertanyaan rutin seorang ibu yang penuh perhatian terhadap putri satu satunya.

Hari hari berikutnya berlalu secara normal. Dedi dan Rosa semakin akrab dan mesra. Apa yang mereka lakukan di rumah Dedi hari minggu itu terulang berkali kali. Entah di rumah, entah di tampat peristirahatan, entah di rumah Rosa jika papa sama mama nggak ada dirumah. Hidup begitu indah bergairah. Papa dan mama Kusuma, orang tua Rosa ikut senang melihat putri mereka begitu bergairah. Hidup seolah dalam impian. Dua anak manusia saling terbuai dalam dalam asmara. Terbuai kenikmatan dan keindahan. Mereka tak yakin akan berjalan selamanya. Hanya mengikuti naluri semata.

***
Rosa tersentak dari lamunan ketika Tita menghambur menghampiri. Dia nampak sangat gembira berlari lari di atas rerumputan. Ketika rasa gatal menyentuh kulitnya karena rerumputan itu, Tita berlari menghampiri mamanya.
"Mama, sakit ma"
"Jangan berguling di rumput. Kulitmu nggak tahan. Minum dulu ya nak" Rosa mengelus tangan Tita sejenak.
"Mama saya pengin terbang seperti burung. Bernyanyi sepanjang hari"
" Tita bisa nyanyi. Tapi nggak bisa terbang. Besok naik pesawat kalau sudah besar".
"Sama siapa ma. Sama papa?"
"Iya sama mama nak. Saya janji".
Matahari telah hilang dibalik cakrawala. Rosa menghela napas mengingat peristiwa yang lalu. Hatinya bertekat ingin melupakannya. Hanya melihat ke depan. Masa depan bersama Tita. Hidup memang bukan impian.

No comments:

Post a Comment