Monday, November 9, 2009

(19) Perjalanan menembus kabut

Masih terang tanah ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun Bandung. . Belum lewat setengah enam. Kereta Parahiyangan bergerak pelan meninggalkan kota yang baru bangun. Terlambat beberapa menit. Tidak apa, tak ada yang harus dikejar kejar hari ini. Pikir Bram menenangkan diri. Walau hatinya bergejolak keras. Belum pernah seumur hidup dia bepergian berdua dengan seorang wanita. Belum ada janji dan keterikatan. Kenapa terlalu jauh begini? Badannya terasa tak segar. Semalam mata sulit dipincingkan. Jam satu masih terjaga. Bangun jam empat langsung cuci muka dan lari ke stasiun naik taksi. Rosa sudah datang duluan, menunggu di ruang tunggu bersama Iwan. Dia datang diantar Iwan. Bergegas mereka naik ke gerbong. Tak begitu sesak di kelas eksekutif. Pagi yang hening. Bram tertidur dalam goyangan gerbong. Belum sempat ngobrol sama Rosa.

Rosa duduk tenang. Matanya memandang ke luar jendela. Kabut pagi masih menyaput samar. Terasa tenang dan damai. Hatinya kadang berdesir saat menyadari pergi bersama dengan Bram. Pria yang dia kagumi. Sekejap dia kerling Bram yang tertidur lelap. Bersandar disampingnya. Kabut pagi yang indah. Walaupun pandangan samar samar, manusia selalu yakin bahwa matahari pasti akan datang. Perjalanan telah dimulai. . Antara Bandung Jakarta. Dalam kabut pagi. Moga moga perjalanan bersama Bram akan berlanjut selamanya. Perjalanan ;panjang ke depan. Saat lewat jembatan Cimeta, tiba tiba Bram terbangun. Masih setengah sadar ketika mengetahui tangannya menggamit tangan Rosa.

'Maaf tertidur. Semalam nggak bisa tidur'. Bram memulai percakapan.
''Tak apa apa. Silahkan istirahat mas Bram. Pemandangan di luar indah sekali. Sejuk dan damai'.
' Udara berkabut di luar'
' Saya selalu menikmati kabut pagi. Awal hari yang cerah'.
' Iya tapi kabut juga sering menyebabkan kecelakaan pesawat kan. Yang nampak indah belum tentu selalu aman ?'
'Tak usah dikaitkan. Biar saya menikmati keindahan pagi ini'.

Terlihat di luar lembah hijau yang indah penuh pesona. Jalur kereta Bandung Jakarta memang selalu mempesona. Sejak dulu penumpang di buat takjub.saat lewat di sana. Di akhir tahun lima puluhan di balik keindahan alam itu kadang kadang terjadi penghadangan oleh para pemberontak.

'Mengapa diam mas Bram?'
' Pemandangan di bawah sana begitu cantik mempesona. Damai sekali rasanya. Tak bisa dipercaya konon dulu sering terjadi penghadangan berdarah di dini. Sering makan korban'
'Saya jarang sekali bepergian ke Jakarta. Tak tahu apa apa tentang cerita itu'
' Saya pikir kau dulu sering bolak balik'.
'Apa maksudmu?. Hanya akhir akhir ini saja karena pekerjaan. Biasanya naik suburban.
Bram tak mengira kalau pertanyaannya mungkin diterima terlalu jauh. Dia tak berkeinginan mengorek masa lalu Rosa. Masa lalu bersama Dedi sang mantan suami. Pertanyaan itu tak bermaksud ke sana. Dia memindahkan percakapan.

' Jam berapa kita akan sampai ke Jakarta ?.
'Mungkin sekitar pukul sembilan'.
'Kita terus ke penginapan saja nanti. Akan tilpon ke kantor Pak Rinto dulu. Kalau nggak bisa ketemu hari ini ya besok.
'Saya masih malas mau ngurusin dagangan. Boleh ikut mas Bram?. Saya nanti menunggu di luar.
Bram terdiam sejenak. Mengapa mesti berduaan terus ? Ini masalah karier dan pekerjaan.
'Mengapa kau nggak menemui langganan langganan mu dulu?.
'Masih ragu. Malah dikira mau nagih bayaran. Biar saja saya menunggu di penginapan kalau mas Bram keberatan'.

Jam setengah sembilan lewat sedikit kereta telah memasuki Jakarta. Stasiun Gambir. Mereka langsung naik taksi menuju ke komplek TIM (Taman Ismail Mardjuki). Kebetulan penginapan penuh. Hanya ada satu kamar yang kosong. Petugas menanyakan apakah mereka suami isteri ? Bram berkata singkat ' Sebentar lagi kawin'. Jawaban sekenanya agar tak ditanya surat kawin. Dia ingat temannya, Budi, yang kuliah di kedokteran dan ngurusi penginapan di jalan Pajeksan Yogyakarta. Ceritanya dia selalu debat dengan pasangan yang datang cari kamar tetapi tak bisa menunjukkan surat kawin.

Kamar itu sederhana tetapi bersih. Sayang kamar mandi di luar. Ramai karena hari itu banyak tamu datang. Setelah istirahat sebentar Bram pamit tilpon kantor pak Rinto di Deplu. Ternyata beliau baru bisa ditemui siang jam setengah tiga. Bram bermaksud istirahat dulu. Hanya ada satu tempat tidur besar. Dari kayu jati dengan warna plitur gelap. Kain seprei warna putih bersih berbau harum segar. Dia merebahkan diri di tempat tidur. Sementara Rosa pamit mencari minum. Bram masih tidur tidur ayam ketika Rosa kembali membawa minuman.

'Mas Bram ada minuman'
'Terima kasih, saya juga belum sarapan tadi'
'Mungkin makan pagi dulu di kantin ya? Masih siang nanti kan janjinya'
'Biasanya saya hanya minum jus segar pagi hari. Tetapi tak apa kita makan dulu'.

Rosa ganti baju sebentar. Memakai kaos T shirt dan celana jin. Nampak cantik dan segar. Mereka makan pagi di kantin. Tak banyak pilihan. Ada pecel sama rawon. Berdua mereka pesan rawon. Tak lama berada di kantin. Banyak orang ngobrol di sana. Tidak tahu rombongan dari mana. Keras benar suaranya. Pandangan mereka penuh selidik menatap Bram dan Rosa. Tak enak lama lama di kantin. Selesai sarapan mereka kembali ke kamar.

" Saya akan meneliti berkas berkas saya sebentar, Rosa. Takut kalau nanti ada yang kurang".
"Mengapa kau nampak gelisah?"
"Tak tahulah, hati saya was was terus. Seperti ada yang nggak beres".
"Apanya yang nggak beres? Tenanglah mas Bram, yang penting ketemu pak Rinto, dan dengarkan nasehatnya nanti. Gelisah sendiri tak akan menyelesaikan masalah".

Rosa tak mengerti bahwa Bram galau pikirannya karena dia. Karena pergi bersamanya. Habis meneliti berkas berkas surat, Bram duduk di samping Rosa. Bau harum bunga melati menyentuh lembut. Mereka bicara sekenanya. Tak ada arah pembicaraan yang jelas. Ketika tangan Bram menyentuh jari jari Rosa, mata mereka beradu. Penuh arti. Saling menggenggam.. Tahu tahu Rosa sudah bersandar dalam dekapan Bram. Darah mengalir cepat dan napas napas mereka berdesah memanas. Ketika bibir mereka saling bertaut, berbagai perasaan bercampur jadi satu. Tangan Bram merayap ke berbagai bagian tubuh Rosa yang halus. Dan pakaian mereka terlepas tak terasa. Rosa berbisik lirih. "Jangan tergesa mas. Masih banyak waktu ke depan". Bram tak menyahut. Hanya mendesah perlahan. Ketika terdengar suara mobil berhenti di halaman, mereka juga berhenti bercumbu. Rombongan yang ramai tadi berangkat meninggalkan penginapan.

Jam satu mereka berdua naik taksi ke Pejambon. Bram tak berani meninggalkan Rosa sendirian di penginapan itu. Banyak laki laki bermata liar di sana. Lebih baik Rosa bersamanya. Gedung Departemen Luar Negeri itu nampak megah. Bercat putih. Tak terlalu sulit mencari kantor pak Rinto. Petugas satpam di depan juga tahu siapa pak Rinto. Dia pejabat tingkat Direktur Jendral. Harus menunggu sejam lagi kira kira. Mereka memutuskan menunggu di kantin. Tempatnya nampak bersih dan rapi Sepi karena jam makan siang sudah hampir habis. Bram pesan sayur asem dan Rosa soto.

" Mas Bram, kantornya bagus sekali. Anda pasti senang kerja di sisni'.
' Diterima saja belum. Tak perlu berpikir macam macam lah".
' Orang harus selalu berharap. Optimis. Jangan kecil hati di depan".
' Kecil hati sih enggak. Tapi semuanya datang bersamaan sepertinya. Perlu mengambil keputusan penting dalam hidup dalam waktu yang bersamaan'.
' Mas Bram, ada waktu waktu dimana orang harus mengambil keputusan yang tepat yang menentukan hidup ke depan'. Bram tercenung sejenak, 'Moga moga saya bisa mendapat jalan terbaik'.
' Apapun yang anda pilih, anggaplah itu yang terbaik. Jalani dengan tekun dan semangat'.

Jam setengah tiga tepat Bram sudah datang di kantor pak Rinto. Rosa menunggu di ruang tunggu di bawah.
'Tunggu sebentar mas, bapak masih ada tamu. Apakah anda masih famili dengan Bapak? Tanya sekretaris menyelidik.
' Pakdhe saya teman baik beliau sejak jaman gerilya'.
' Boleh tahu namanya ?. Bapak juga sering cerita jaman gerilya dulu'.
' Dewanto. Nama lengkapnya Kusumo Dewanto"
' Aduh, pak Dewanto. Tahu banget kami. Beliau mantan duta besar di Budapest. Baik baik kan beliau di Bandung ?'.

Ketika tamu sudah pergi, sekretaris yang ramah itu masuk ke kamar pak Rianto. Mungkin meberi tahu siapa tamunya. Sesaat kemudian dia keluar dan minta Bram masuk.
' Selamat datang mas. Anda keponakan mas Dewanto ya?. Siapa namanya '
' Saya Bram. Bramantyo. Salam dari pakdhe'.
' Bagaimana keadaan beliau?. Baik baik kan'
' Sokur pak. Sehat sehat selalu. Saya sendiri dari Yogya'
' Dari Yogya?. Putranya adiknya pak Dewanto kalau gitu?'
'Iya, bapak saya tugas di pemda'.
'Banyak kenangan saya di Yogya, bersama pakdhemu. Kami bergerilya bersama di daerah Yogya lalu di Banaran, Ambarawa'.
' Saya tidak banyak tahu tentang cerita itu'.
' Teman karib kami sekelompok tewas di Banaran. Namanya Kresno. Dimakamkan di sana".
'Saya dengar sepintas dari pak dhe cerita itu'
' Kisah masa lalu yang tragis. Kapan kapan jika saya pensiun akan datang ke sana dengan mas Dewanto. Bagaimana anda? Minat bekerja di Deplu?'.
' Harapan saya demikian jika mungkin pak. Saya lulus jurusan hubungan internasional di Gama'.
' Gini, langsung saja besok ke bagian personalia. Masukkan berkas lamaran lengkap. Saya kasih catatan kecil'.
' Terima kasih sekali pak'.
' Nanti ceritanya disambung lagi. Yang penting selesaikan proses lamaranmu dulu'.

Pak Rianto memberikan satu catatan singkat yang ditulis tangan dalam amplop kecil. Bram minta diri dan mengucapkan terima kasih sebesar besarnya. Besok akan memasukkan lamarannya. Sekarang pegawainya sebagian besar sudah pulang.

***
Setelah makan malam di kantin, Bram dan Rosa segera kembali ke kamar. Pengin cepat istirahat. Semalam mereka kurang tidur, harus bangun pagi. Bram agak sungkan tidur bersama satu tempat tidur. Dia bermaksud tidur di kursi.
' Jangan tidur di kursi. Badanmu tak bisa istirahat mas. Di tempat tidur saja berdua. Tak apa apa'.
'Tak enak dilihat orang kita tidur bersama'.
' Mana orang tahu. Yang penting kita nggak ngapa ngapa kan'

Bram ingat cerita Reni, saat tugas praktek juga sering terpaksa tidur bersama ramai ramai. Apa salahnya asal tak melakukan apa apa? Dia langsung tertidur pulas. Sementara Rosa masih duduk di kursi membaca koran yang dibeli tadi siang. Jam setengah sebelas dia menyusul tidur. Berdampingan dengan Bram. Tak ada rasa takut atau was was. Dia percaya sepenuhnya kepada Bram. Mimpi indah seolah berjalan menembus kabut pagi. Bergandengan tangan dengan orang yang dicintai. Semakin erat tangan tangan mereka saling menggenggam. Semakin melayang perasaan mereka di antara kabut yang indah dan sejuk. Napas mereka mendesah berkepanjangan bersama irama detak jantung yang memburu, Ternyata bukan hanya mimpi semata. Tangan tangan mereka saling memeluk dan meraba. Merambat di antara lekuk lekuk tubuh yang indah. Bibir mereka bertautan di antara suara suara lembut. Saling memanggil nama. Dua jiwa dan raga beradu dan bersatu dalam nikmat tak terhingga. Seolah melayang bersama. Terbang bersama mengarungi lautan cinta tak berbatas. Ketika nikmat itu berlalu mereka sadar akan perbuatan yang baru saja dilakukan. Ada perasaan kecewa di dalam hati. Bram merasa mungkin belum saatnya itu.
' Maaf Rosa kita terlalu jauh sudah'.
' Tak perlu kecewa mas Bram. Saya melakukannya dengan iklas dan sadar. Saya pasrah'.
' Rosa, tak mungkin kita balik kembali. Perjalanan sudah mulai. Mungkin sangat panjang jalan itu'.
' Mas Bram, saya akan senantiasa bersamamu. Berjalan disampingmu apapun yang akan terjadi. Ingat perjalanan awal kita tadi pagi. Menembus kabut pagi yang indah'.

No comments:

Post a Comment