Monday, November 2, 2009

(18). Siapakah anda?

Sore itu Rosa pulang awal. Ingin mempersiapkan diri. Bertemu keluarga Dewanto. Bram memberitahu lewat tilpon pagi tadi kalau pak Dhe dan Budhenya sore itu tak ada acara. Mereka hanya di rumah saja. Bram akan datang menjemput sekitar jam setengah lima nanti. Udara agak mendung. Awan tipis menutup kota Bandung. Tak ada angin bertiup. Namun udara tetap terasa dingin. Rosa memilih pakaian yang paling serasi. Beberapa kali berganti di depan kaca. Hatinya sedikit berdebar. Apa yang akan diceritakan nanti dimuka keluarga Bram? Mungkin pertemuan ini terlalu dini. Rasa khawatir itu ditepis sendiri. Biarlah, apa pun yang terjadi, terjadilah. Manusia tak bisa mengubah masa lalu. Semua telah lewat. Beginilah saya adanya. Akhirnya Rosa memilih gaun panjang warna ungu lembut. Dengan scarf sutera pemberian papanya dulu. Dia selalu menyenangi kombinasi warna lembut. Merasa lebih percaya diri dengan warna itu.

Jam setengah lima kurang sedikit, Bram telah datang. Wajahnya nampak tak tenang. Namun dia mencoba menyembunyikan perasaan. Rosa menyambut dengan tenang. Ada rasa damai di dalam sana melihat wajah Bram.

"Silahkan tunggu dulu mas Bram. Saya belum selesai"
" Saya datang terlalu cepat. Tadi pagi kak Mia datang dari Jakarta. Sempat berbincang sebentar habis makan siang tadi".
"Siapa itu kak Mia?"
" Putra kedua pakdhe Dewanto. Adiknya kak Rio".
" Mas Bram belum pernah cerita"
" Nanti saya kenalkan. Pasti cocok kau. Kak Mia sangat ramah".
" Mungkin saya tak bisa lama. Tita agak rewel sejak pagi. Dia masih tidur sekarang".
" Tak apa apa. Yang penting kau katanya pengin kenal sama pakdheku".

Tak lama kemudian Bram dan Rosa telah berjalan bersama.Berdampingan melewati jalan di tepi pemukiman. Jalan bersih dengan bunga bunga kana di sisi jalan. Bau semerbak melati parfum Rosa kadang menghampiri dengan kembut. Mereka berdua berdiam diri. Tak banyak pembicaraan. Berjalan bersama berdampingan. Hanya hati masing masing yang bergejolak. Apakah ini awal perjalanan bersama ke masa depan ? Tak ada yang tahu dan tak ada yang bisa menjamin. Manusia hanya menjalani garis perjalanan hidup masing masing. Mungkin saja jika hati masing masing mantap dan menghendaki, mereka akan berjalan bersama terus mengarungi perjalanan hidup yang panjang. Berdua seperti sore itu. Berjalan bersama di bawah naungan pohon2 cemara yang berjajar rapi. Kemudian mereka naik opelet ke arah Dago Bukit. Dengan hati hati sekali Bram menggamit tangan Tita. Khawatir Tita yang begitu lembut dan halus akan terjatuh dan tergores di dalam opelet. Penumpang opelet hanya diam memandang. Sopir menatap lewat kaca. Kernet berteriak lepas. Dago, Dago, Dago. Semua mengerti, nampak sejoli yang sedang dimabuk cinta. Tak ada yang tahu, ada keraguan di dalam sana. Di dalam hati sang pria, Bram.

Pak Dhe Dewanto baru bangun tidur sore ketika mereka sampai. Bu Dhe masih duduk di kebun belakang rumah. Membersihkan tanaman bunga kesayangannya. Tak banyak acara mereka dari hari ke hari. Masa pensiun adalah masa istirahat. Mereka nikmati masa istirahat itu dengan melakukan apa yang mereka senangi dari hari ke hari. Tak ada istilah post power syndrome. Masa tugas telah lewat. Tak mau pusing dengan urusan macam macam. Mengikuti berita hanya lewat koran atau TV. Tak ada acara ngrumpi dengan kelompok. Sekarang banyak acara sosial. Pertemuan rutin akar rumput. Namun isinya hanya dipenuhi dengan acara ngrumpi. Mana ada tetangga yang beli mobil baru. Mana yang punya wanita atau pria idaman lain. Semua berita bisa jadi acara menarik untuk ngrumpi. Pasangan Pakdhe Dewanto sama Budhe Larasati, tak kenal itu ngrumpi. Pensiun ya pensiun, titik. Masa istirahat. Tak ada kamus ngrumpi.

" Bram, kok sudah gagah benar kamu. Tak tahu kapan kamu pergi tadi".
" Budhe sama pak Dhe baru istirahat ketika saya pergi. Perkenalkan teman saya Budhe. Rosa".
Rosa mengulurkan tangan dengan sopan. Menyebut namanya lirih Hatinya bergetar.
" Saya Rosa. Pipit Rosalina"
" Nama yang bagus. Silahkan duduk di ruang tengah saja. Biar tak ada angin. Sudah lama berteman dengan Bram nak?.
" Sudah beberapa bulan ini Ibu"
"Mengapa kamu nggak cerita Bram ?. Pakdhe mu baru mandi nampaknya. Tunggu ya. Mia, kesini lah. Ini Bram sama Rosa".

Mia menghambur dari kamar depan. Bercelana jean dengan kaos warna hijau. Kelihatan sangat santai. Dia memang selalu menikmati masa libur di rumah orang tuanya.

"Kemana Bram? Habis ngobrol makan siang tadi terus menghilang?"
" Saya kira kak Mia tidur tadi. Saya tidak pamitan. Menjemput Rosa. Kenalkan, ini Rosa".
"Rosa ?. Bram tak pernah cerita tentang kau Rosa. Saya Mia, sepupu Bram? Sudah kenal lama dengan Bram?
"Baru beberapa bulan belakang ini. Kami berkenalan dalam perjalanan Yogya Bandung". Rosa menjawab tersipu.
"Kenalan terus dekat ya? Biasalah anak muda. Ngapain tunggu tunggu segala"
"Kak Mia tinggal di mana?"
"Saya di Jakarta. Saya kerja di salah satu bank asing. Saya pulang Bandung tiap dua bulan. Sudah lama nggak ketemu Bram".
"Beberapa kali saya ke Bandung, kak Mia nggak ada di Bandung", sela Bram.
"Sering sering datang ke Bandung Bram sekarang. Ada teman dekat lagi. Lama nggak ketemu tahu tahu sudah bawa pasangan".
" Kangen saya sama obrolan kak Mia". Bram tak banyak berkutik. Merasa tersindir.
" Rosa. Bener ya Pipit Rosalina?. Namamu indah sekali seperti parasmu yang cantik. Hati hati sama lelaki. Jaman sekarang banyak hidung belang. Mau enaknya saja. Tetapi boleh jamin Bram, pemuda anteng. Nggak macam macam. Ada rencana berdua yang serius?"
Kata kata Mia memberondong ke arah Rosa. Mia tak menyadari kata kata gurauannya menyentuh luka Rosa yang paling dalam. Muka Rosa memerah.
"Kami hanya berteman dekat kak Mia. Baru beberapa bulan berkenalan. Iya kan mas Bram?."
" Bram kau mau ke Jakarta, melamar kerja kan? Tolong hubungi saya di Jakarta nanti ya? Kita bisa makan malam. Masih pengin ngobrol sama kau".
Bram terkejut menerima tawaran itu. Dia akan ke Jakarta bersama Rosa. Bagaimana mungkin mau mampir ke tempat Mia.
"Saya kumpul sama teman teman dari Yogya kak Mia".
"Di mana nginapnya? Masih sering nginap di dalam kompleks Taman Ismail Mardjuki ?
"Kadang kadang, makanannya enak di situ. Sayur asem sama daging empal. Paling enak yang pernah saya rasakan".

Bram memang sering menginap di penginapan dalam kompleks TIM. Penginapan sederhana untuk para sastrawan dari daerah jika ada acara di Jakarta. Yang istimewa memang makanannya, terutama sayur asem dan daging empal dengan sambal pedas sekali. Dia selalu makan malam di kantin itu. Hanya ramainya nggak karuan. Seniman seniman yang sering nginap di sana, suka ngobrol sampai larut malam. Seolah tak ada lagi waktu esok hari untuk ngobrol. Bukan selalu obrolan berat tentang kebebasan mimbar atau kebebasan berkreasi. Salah seorang dari mereka mimpi aneh saja bisa jadi bahan diskusi berjam jam. Yang penting diskusi. Apapun isi dan maknanya.

Tiba tiba Budhe dan Pakdhe keluar dari kamar. Mereka duduk di kursi panjang di seberang ruangan. Wajah Pakdhe begitu tenang dan berwibawa. Bram dan Rosa tak bisa mengeluarkan kata sepatah pun.

" Siapakah anda? Teman Bram ya?" Tiba tiba Pakdhe bertanya.
"Panjenengan ini gimana sih pak. Tadi kan saya sudah bilang, ada Rosa temannya Bram".
Budhe mencoba mencairkan suasana. Rosa terhenyak dengan pertanyaan langsung itu.
" Perkenalkan saya Rosa, Pakdhe. Pipit Rosalina. Temannya mas Bram".
"Bram tidak pernah cerita tentang anda. Tinggal di Bandung?"
" Iya dekat sini. Di Cisitu sama papa dan mama. Mas Bram banyak cerita tentang Pakdhe dan Budhe".
" Gimana Bram, kau cerita tentang Pakdhe ke Rosa. Tetapi tak cerita tentang Rosa ke pakdhe?". Bram semakin bingung dengan pertanyaan yang menghunjam itu.
"Belum sempat cerita Pakdhe. Baru kenalan beberapa bulan".Jawabnya sekenanya.
" Gimana rencana kamu ke Jakarta? Jadi kan? Saya sudah tulis surat ke Rinto di Deplu. Besok jangan lupa di bawa suratnya"
"Iya Pakdhe. Kami akan berangkat besok pagi pagi".
"Lho memangnya kau ke Jakarta berdua?". Tiba tiba Budhe Larasati menyela. Bram tak sengaja bilang kami tadi. Ini mengungkap rencana mereka pergi ke Jakarta bersama. Rosa memerah mukanya. Bram terdiam sesaat.
"Rosa juga ada acara di Jakarta Budhe. Sekalian sama sama".
" Nak Rosa kuliah di Bandung atau Jakarta?"
"Dulu saya kuliah di Bandung Budhe. Sekarang sudah berhenti. Usaha pakaian anak. Kami pasarkan sampai ke Jakarta juga. Tak berapa besar".
" Jika ke Jakarta dengan Bram. Kita ketemu nanti ya. Bram berikan alamat tempat nginapmu. Saya dua hari lagi pulang Jakarta" Mia menyela. Tak berpikir kalau Bram gelisah luar biasa.
"Iya kak nanti saya tilpon. Tetapi jika urusan selesai saya langsung pulang Yogya".
"Lantas Rosa juga ikut ke Yogya?'
"Tidak kak. Dia kembali ke Bandung".

Bram begitu terperangah dengan pertanyaan tak terduga itu. Dia juga belum punya rencana sesudah acara di Jakarta selesai. Sementara Rosa hanya diam mendengarkan. Pakdhe dan Budhe mengajak mereka berdua duduk di halaman belakang. Mia kembali masuk ke kamar. Dia tahu Bapaknya akan memberikan wejangan. Tak ingin dia terlibat. Mereka berbincang sejenak sambil menikmati angin sore hari. Pakdhe dan Budhe menanyakan secara singkat akan keluarga Rosa. Tak banyak yang bisa dia ceritakan. Juga tak diungkapkan kisah masa lalunya. Belum saatnya. Toh nanti mereka akan tahu dengan berjalannya waktu.

" Pernah ke Yogya Rosa?"
" Belum pernah. Nanti kapan kapan akan khusus ke Yogya jika urusan mas Bram sudah selesai Budhe".
"Belum pernah bertemu bapak ibunya Bram?"
"Belum pernah. Kami bersama mas Bram baru merencanakannya"

Bram terlihat berdiam diri. Dia merasa bingung bagaimana akan memberitahu Bapak ibunya tentang Rosa. Tentang hubungannya dengan Rosa. Tentang kisah masa lalu Rosa. Dia merasa bersalah. Tetapi dia tak punya kekuatan untuk mundur meninggalkan Rosa yang sudah begitu lekat di hatinya. Dia merenung melihat langit memerah di ufuk Barat. Hatinya terbawa gundah. Tarikan napasnya mendesah galau.

" Bram dan Tita. Saya nggak tahu apa rencanamu ke depan. Pikirkan baik baik semuanya. Apapun yang kau putuskan dan rencanakan, kami orang tua hanya bisa ikut berdoa. Moga moga keinginan kalian bisa terkabul". Pakdhe berkata pelan dan berat.
"Iya Pakdhe. Terima kasih". Suara Bram hampir tak terdengar.
" Beritahu bapak ibumu, jika sudah ada rencana ke depan. Jangan membuat mereka menabak nebak. Susah nanti bapak dan ibumu. Biar mereka menikmati masa tua dengan tenang".

Rosa menunduk diam. Hatinya tergetar mendengar kata kata Pakdhe. Mengapa begitu jauh? Kami belum berencana apa apa ke depan. Belum ada rencana bilang ke orang tua segala. Tetapi dalam batin dia bersyukur mendengar wejangan Pakdhe. Mulanya begitu getir mendengar pertanyaan yang begitu berat, siapakah anda. Tetapi dia lega di akhir pembicaraan, Pakdhe mengatakan kalau orang tua hanya bisa ikut berdoa.

Lewat jam enam, Bram mengantar Rosa pulang. Pagi2 besok harus berangkat. Naik kereta jam lima pagi. Sekembali mengantar Rosa, Bram berpamitan ke Pakdhe dan Budhenya, jika besok akan berangkat pagi pagi sekali.

"Ingat pesan saya Bram. Sampaikan pesan saya untuk pak Rinto ya di Deplu. Moga moga kau berhasil"
"Terima kasih Pakdhe dan Budhe. Mohon doa restunya selalu"
" Saya doakan moga moga perjalananmu ke Pejambon, mengawali perjalanan kariermu ke depan sebagai diplomat. Berdoalah anak muda"

Tak lupa Bram menemui Mia sebelum masuk kamar tidur.

"Kak Mia, saya akan kontak kau nanti di Jakarta ya. Tapi jangan bilang sama Bapak ibu di Yogya kalau saya sama Rosa. Biar saya yang memberitahu dulu".
" Tilpon saya ya nanti. Kita sempatkan bertemu. Melihat kau bersama Rosa, saya berpikir masa muda kita akan berakhir. Tak sebebas dulu lagi. Main bersama dalam setiap kesempatan ".
"Untung kau Bram, bisa menggandeng Rosa. Dia cantik dan ramah. Dia sayang banget sama kamu"
"Terima kasih kak Mia. Sampai ketemu lusa.".

No comments:

Post a Comment