Monday, January 3, 2011

(21) Menunggu

Hari hari sekembali di Yogya, Bram sibuk mempersiapkan diri. Menghadapi ujian seleksi pegawai dalam beberapa minggu mendatang. Mencari bahan bacaan di perpustakaan. Juga bahan bahan ujian masuk pegawai negeri di bagian kepegawaian. Tak lupa menemui beberapa dosen yang dikenal dekat. Dari pak Wardi di bagian kepegawaian dia banyak mendapatkan materi yang sering diujikan dalam ujian seleksi pegawai.

Tak sengaja bertemu dengan Drs. Warsito, salah satu dosen yang dikenalnya. Dia juga menjadi pengurus perhimpunan alumni, Kagama. Keluarga Alumni Gadjah Mada, merupakan salah satu himpunan alumni yang paling luas jangkauannya di tanah air. Cabangnya tersebar di semua propinsi. Sebagian besar lulusan UGM bekerja di kantor pemerintah. Istilah kerennya jadi abdi negara. Di Yogya, para pejabat pemerintahan juga harus bisa jadi abdi dalem. Tak perlu dihujat, ini memang keistimewaan Yogyakarta

" Jika saudara berminat, bisa menghubungi pengurus Kagama di manapun. Nanti saya buatkan surat rekomendasi. Biasanya mereka akan sangat membantu".

" Terima kasih pak. Saya kebetulan sudah memasukkan lamaran di Deplu. Tinggal menunggu ujian seleksi saja beberapa minggu lagi".

" Sokur kalau begitu. Moga moga berhasil. Beberapa alumni kita juga menduduki posisi penting di sana, sampai beberapa posisi duta besar".

" Pakdhe saya juga lulusan UGM awal tahun enam puluhan. Pensiun beberapa tahun lalu dari Deplu".

" Siapa namanya ?"

" Dewanto, pernah jadi duta besar di Hongaria".

" Saya tahu namanya, termasuk lulusan awal dari jurusan sosial politik. Saya belum pernah bertemu langsung. Jika sudah mantap di Deplu, jangan ragu ragu Bram. Jalani pilihan itu dengan tekun. Walaupun hati mungkin tak sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah, di luar bersikaplah right or wrong is my country".

Pesan itu yang dia ingat benar. Pak Warsito juga pernah menjabat sebagai atase kebudayaan di negeri Belanda selama lima tahun. Kemudian kembali ke kampus. Bukan hanya dosen yang berkutat pada teori dan buku, juga praktisi dalam politik diplomasi. Tak banyak berjumpa teman seangkatannya. Mungkin semua telah berpencar mencari jalan masing masing. Sebagian besar teman dekatnya sudah kembali ke daerah asal. Hanya Sutomo yang tinggal di Yogya, jadi asisten dosen.
***

Tiga minggu, sejak Bram memasukkan lamaran di Pejambon, surat panggilan ujian penerimaan pegawai belum juga diterima. Menunggu dari hari ke hari, bosan rasanya. Pernah mencoba menghubungi Biro Personalia lewat tilpon, tetapi tak banyak membantu. Pegawai yang menerima tilpunnya sama sekali tak membantu, mungkin juga karena tidak tahu. Selalu dilempar ke sana kemari. Jawaban yang selalu diterima seragam ‘Tunggu saja panggilan resmi”.

Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk baca buku. Rasanya baru sempat sekarang membaca buku pengetahuan dengan mendalam. Semasa mahasiswa lebih banyak baca diktat kuliah dan beberapa bacaan wajib. Yang penting asal bisa lulus semester sudah cukup. Kini banyak waktu terluang untuk lebih mendalami materi materi yang dianggapnya penting. Kadang ikut diskusi dengan teman teman kampus. Tentang situasi politik terkini. Tetapi jenuh rasanya. Dia merasa tak pas lagi diskusi dengan bahasa berapi api seperti dulu. Bram ingin memulai kehidupan sebagai professional meski belum resmi menjadi pegawai. Tak layak lagi berteriak lantang sekedar melontar kritik tanpa tindakan nyata. Dia ingin berbuat nyata. Cuma kesempatan itu belum datang kini.

Ingatannya selalu kembali ke Rosa. Membuat hatinya gundah membayangkan bagaimana melangkah maju. Terbayang begitu jelas semua peristiwa yang terjadi di Jakarta dan Bandung, antara dia dan Rosa. Begitu indah, membahagiakan. Hatinya selalu berdesir dan membuai setiap ingat peristiwa itu. Sudah terlalu jauh. Tak mungkin melangkah mundur. Mundur berarti berkianat. Bukan lelaki jantan, jika lari dari tanggung jawab. Terlebih lagi, dia yakin mencintai Rosa. Tak akan bergeming sedikitpun. Beberapa kali ibunya bertanya. Tak ada nyali untuk berterus terang.

“ Mas Bram kenapa kau banyak diam akhir akhir ini? Bapakmu juga menanyakan?” Ibu memulai percakapan sewaktu Bram sarapan.
“ Tak ada apa apa Bu. Hanya sibuk mempersiapkan ujian seleksi”.
“Sendirian saja ke Jakarta?”
Terkesiap dia menerima pertanyaan itu. Tak siap menjawab. Hanya berdesah mengiyakan.
Mencoba mengalihkan pembicaraan.
“ Bapak masih lama pensiunnya Bu ?”
“ Mungkin satu setengah tahun lagi. Ada apa ?”
“ Tak ada apa apa. Apa rencana sesudah pensiun? Jika saya jadi bekerja di Jakarta, bapak ibu sendirian di rumah”.
“Asal kau dapat pekerjaan sesuai keinginanmu, kami tak apa apa. Cepat atau lambat orang tua kan harus melepas anaknya”.

Bram merasa lega bisa membelokkan arah pembicaraan. Ternyata hanya sementara. Ibunya kembali bertanya tentang perjalanannya ke Bandung dan Jakarta.
“ Kau tak banyak cerita pertemuanmu dengan pakdhe dan budhemu. Juga tidak tentang kawan pakdhemu itu, pak Rinto di Jakarta”.
“Mereka baik baik Bu. Salam untuk bapak dan ibu dari pakdhe dan budhe”.
“Apakah ada pesan khusus?”.
“ Apa maksud ibu?. Pakdhe banyak cerita dan memberi nasehat tentang profesi diplomat. Juga cerita tentang teman temannya di masa lalu”.
“ Hanya itu mas Bram ? Ingat baik baik nasehatnya, beliau punya pengalaman segudang”.
“Iya Bu. Tak ada yang mencari saya selama saya pergi?”
“ Yang tanya sama ibu hanya Reni, menanyakan kabarmu”
“ Saya memang tilpun dia sebelum berangkat dulu. Belum sempat kontak dia lagi. Tunangannya seorang dokter sedang ambil spesialisasi kandungan dan kebidanan”.
“ O ya?. Kau sendiri kapan punya calon. Jika sudah ada yang menyangkut di hatimu, beritahu ibu ya nak. Jangan membuat kejutan”.

Ibunya sedikit terkejut mendengar berita tentang Reni, tetapi tak bertanya lebih lanjut. Mungkin dia belum tahu kalau Reni sudah bertunangan. Bram lega bisa mengakhiri pembicaraan tentang perjalanannya ke Bandung dan Jakarta. Menghindari pertanyaan tentang Rosa. Dia belum siap menjelaskannya. Pertanyaan tentang Reni, gampang dijawab. Tak ada hubungan emosional istimewa antara dia dan Reni. Ibunya saja yang mungkin memandang seolah olah ada hubungan istimewa. Hatinya tak pernah berdesir sedikitpun jika mengingat Reni.
***

Angin sore bertiup lembut. Jam setengah lima, Bram terbangun dari tidur siang. Tak biasanya dia tidur siang sebenarnya. Tetapi siang tadi merasa cape setiba di rumah. Dia baru saja datang dari perpustakaan di kampus. Suara burung saling bersahutan di pohon sawo kecik di halaman belakang. Suasana rumah sepi. Mungkin bapak dan ibunya sedang keluar. Tiba tiba pak Djo, pembantu tua itu berlari menghampiri kamarnya.

“Ada surat barusan datang Gus Bram”.
“ Siapa yang menerima surat ini tadi ?”
“ Dari pak pos, saya terima sendiri baru saja, langsung saya bawa ke sini”.
“ Rama ibu ke mana?”
“ Keluar kira kira sejam yang lalu. Tidak tahu kemana mereka Gus. Katanya akan pulang sebelum maghrib”.
“ Letakkan surat itu di meja pak Djo, dan buatkan saya teh ya”.

Amplop berwarna kuning itu tanpa alamat pengirim yang jelas. Hanya tertulis ‘dari BDG’. Berdebar Bram mau membukanya. Pasti dari Rosa, siapa lagi kalau bukan dia. Tak ada teman lain yang dia kenal di Bandung. Dia timang timang surat itu. Lebih baik mandi dulu, biar bisa baca dengan tenang. Baru sadar jika selama tiga minggu ini dia tidak menghubungi Rosa. Tak menulis surat ataupun mengangkat tilpun. Sesudah mandi dia buka surat itu dengan tenang. Hatinya berdesir, dibacanya kalimat demi kalimat.

Mas Bram,

Salam rinduku untukmu. Semoga mas Bram di Yogya selalu dalam keadaan baik, tak kurang suatu apa. Saya menulis surat ini persis tiga minggu sesudah kepergian kita ke Jakarta. Sejak itu pikiran saya selalu melanglang mengingatmu. Teringat semua peristiwa yang kita jalani bersama. Begitu indah dan membahagiakanku. Perasaanku begitu terbuai dalam kebahagiaan bersamamu.

Mas Bram, rasanya begitu tersiksa menunggu kabar dan pesan darimu. Saya takut sekali jika anda tidak akan datang lagi. Tetapi saya selalu percaya bahwa anda tidak akan pergi dariku. Perjalanan kita sudah jauh. Terlalu jauh untuk berbalik kembali.
Saya tak ingin membuat kesalahan dua kali dalam memilih teman hidup. Saya ingin hidup bersamamu karena saya mencintaimu. Saya menyayangimu, percayalah.

Satu minggu sesudah tanggal surat ini saya akan datang ke Yogya. Ada urusan pekerjaan di Yogya beberapa hari. Saya ingin berkenalan dengan orang tua mas Bram, jika anda tak keberatan. Salam sayang dan sampai jumpa minggu depan.
Rosa


Tertegun sejenak Bram membaca surat dari Rosa. Dia merasa salah. Terlalu lama membiarkan masalahnya mengambang. Menyembunyikannya dari kedua orang tuanya. Dia berketetapan untuk menuntaskannya secepat mungkin. Dia juga sangat menyayangi ibunya. Tak akan melukai perasaannya sedikitpun. Mungkin mereka akan kecewa. Tetapi dia bersumpah akan membahagiakan ibu dan bapaknya.

No comments:

Post a Comment