Sunday, December 6, 2009

(20) Pintu masa depan

Esok harinya jam delapan tepat Bram sudah sampai di Pejambon, kantor Departemen Luar Negeri. Pagi yang cerah. Langit membiru tanpa awan. Tak tertutup kabut asap. Dia langsung menuju ke Biro Personalia. Masih sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang sudah datang. Sebagian mungkin masih terjebak kemacetan di jalan. Lalu lintas Jakarta memang tak pernah ramah. Selalu menjadi penghambat bagi mereka yang setiap pagi harus berangkat kerja. Sebagian mungkin memang terbiasa datang terlambat. Toh tak ada sangsi jika terlambat. Juga tak ada penghargaan jika rajin datang pagi. Mau rajin atau mau malas tak memberikan banyak perbedaan. Semua bersatu dalam dinamika birokrasi kepegawaian yang rumit. Hanya sikap dan etos kerja yang membedakan perilaku kerja masing masing. Bukan karena sistem. Tak ada habisnya menggerutu jika memikirkan dinamika kepegawaian di tanah air. Seperti lingkaran setan.

Bram duduk di ruang tunggu. Rosa tak ikut pagi itu. Ada urusan ke Pasar Rumput, menemui pelanggan pelanggannya. Mereka janji akan bertemu siang nanti di penginapan. Bram termenung diam. Badannya terasa segar, tak seperti kemarin letih kurang tidur. Semalam tidur enak. Mimpi indah bersama Rosa. Semuanya memang hanya terasa indah dan nikmat saat berkasih dengan orang yang dicintai. Semua beban dan rasa sesal hanya datang kemudian. Tetapi dia tak pernah menyesal. Dia melakukan dengan penuh kesadaran dan penuh cinta. Dia mencintai Rosa, wanita yang dikenalnya beberapa bulan lalu. Mencintainya dengan sepenuh hati. Hanya bagaimana memberitahu orang tuanya, itu saja yang masih menghantui pikirannya. Tiba tiba seorang pegawai berseragam datang mendekat. Bram sedikit kaget. Pasti ini petugas yang menguurusi berkas berkas lamaran, pikirnya. Ternyata salah.
"Bung punya korek? Boleh minta apinya?" Petugas itu bertanya sambil lalu. Ternyata dia hanya butuh pinjam korek api untuk merokok.
" Maaf saya tidak merokok" Bram menjawabnya singkat. "Apakah Bapak Kepala sudah datang?"
"Apakah ada janji sama Bapak? Ada keperluan khusus?"
" Saya diminta menemui beliau. Ada surat dari pak Rinto".
" O begitu. Pak Rinto pejabat eselon satu di depan ya?"
" Kemarin saya menghadap beliau. Lalu saya dianjurkan ke sini menghadap Kepala Biro".

Ada perubahan sikap dari petugas itu ketika Bram mengatakan bahwa dia membawa surat dari pak Rinto. Jam sembilan tepat dia dipersilahkan masuk. Menghadap Drs.Parmono MA, Kepala Biro Kepegawaian. Orangnya nampak berwibawa. Berwajah ramah dan pembawaan tenang. Bram menyampaikan surat dari pak Rinto. Langsung dibuka dan dibaca.
"Anda fresh graduate ya? Punya pengalaman kerja?"
" Baru saja lulus pak. Belum pernah bekerja kecuali di organisasi mahasiswa".
" Apakah berkas lamaran sudah dilengkapi?"
" Sudah, semuanya lengkap pak".
"Bagus. Nanti selesaikan prosedur lamaran dan tunggu panggilan sewaktu waktu".
" Apakah prosesnya panjang pak ?"
" Ada beberapa ujian yang harus dilalui. Tak usah takut. Anda pasti bisa melaluinya. Jangan sampai lupa baca materi Wawasan Nusantara dan Panca Sila".
" Terima kasih pak. Kapan ujiannya?".
" Lupa kapan persisnya, nanti bisa ditanyakan di administrasi. Mungkin beberapa minggu lagi. Yang penting semua prosedur dan persyaratan harus dipenuhi".
" Begitu pak.Terima kasih nasehatnya"
Bram sebentar kemudian minta diri dan menyelesaikan proses lamaran di bagian administrasi.Tak terlalu lama. Pegawai yang menerima tak banyak bertanya. Bram diminta mengisi beberapa formulir.
" Nanti tunggu panggilan untuk test . Mungkin tiga minggu lagi"
"Terima kasih Bu".
Bram meninggalkan kantor Biro Kepegawaian dengan perasaan tenang. Tak ada beban lagi. Berkas lamaran sudah masuk. Tinggal menunggu proses lebih lanjut, test. Moga moga semua berjalan lancar sampai selesai. Ini adalah langkah pertama ke pintu masuk perjalanan kariernya. Dia buru buru kembali ke penginapan di kompleks TIM. Rosa belum datang. Bram tiduran sambil baca majalah. Jam setengah dua belas siang. Dia pikir sebentar lagi Rosa pasti datang. Dia menunggu untuk makan siang. Bram ketiduran ketika ada ketukan di pintu. Jam setengah satu. Rosa berdiri di muka pintu. Wajahnya memerah kepanasan. Tetapi matanya berbinar begitu melihat Bram membukakan pintu.

" Sudah lama?. Saya cepat cepat menyelesaikan urusan. Takut mas Bram menunggu terlalu lama"
" Sejam yang lalu. Tak terasa tertidur".
Bram menjawab pelan sambil menggamit tangan Rosa. Tangan yang halus. Wajah yang lembut. Hatinya berdesir keras. Pikirannya melayang, ingin menemani dan melindungi wanita cantik yang lembut ini selamanya.
" Jangan melamun mas. Kita makan siang dulu. Saya cuci tangan dan membersihkan muka dulu".
" Habis makan siang nanti rencana kita kemana Rosa?"
" Apakah urusan lamaran telah selesai?"
" Semua berkas dan persyaratan sudah saya serahkan. Tinggal tunggu panggilan test beberapa minggu lagi".
" Jika urusan selesai, apa kita terus ke Bandung sore nanti ? Nanti malam nginap di Bandung".

Bram terdiam. Pikirannya semula dia akan terus pulang ke Yogya tanpa lewat Bandung. Tetapi dia sadar datang ke Jakarta bersama Rosa. Dia harus menemaninya pulang ke Bandung dulu. Tak mungkin dia biarkan Rosa sendirian ke Bandung, walau sudah terbiasa pulang pergi Jakarta Bandung.
" Tetapi saya belum bilang kalau mau nginap di Bandung sama Budhe atau Pakdhe".
" Tak apalah. Nginap di tempat saya. Ada kamar tamu yang selalu kosong. Nanti saya bilang mama sama papa".
Bram terdiam sesaat. Tak pernah terencanakan sebelumnya akan menginap di rumah Rosa. Ini terlalu cepat di luar rencana.
" Iya lah. Besok pagi saya ke Yogya dengan kereta. Jam tujuh ada kereta ke Yogya."
" Ambil kereta sore saja mas jika tak tergesa gesa. Kita bisa lihat lihat Bandung dulu".
" Saya pikir dulu dan kita putuskan setelah sampai di Bandung nanti. Jam berapa berangkat ke Bandung?".
" Kita naik suburban saja nanti. Paling tidak berangkat setiap jam. Mungkin kita bisa ikut berangkat jam tiga".

Kantin tak terlalu ramai siang itu. Mungkin tak ada rombongan dari daerah. Hanya tamu perseorangan. Mereka menikmati makan siang bersama. Sayur asam Jakarta dan daging sapi empal. Kegemaran Bram.
" Gimana urusanmu Rosa?"
" Lumayan bagus banyak pesanan baru masuk. Harus meningkatkan jumlah produksi".
" Tak bisa setengah setengah. Lakukanlah sepenuhnya. Jangan hanya sebagai sambilan mengisi waktu luang".
" Iya pikiran saya memang akan saya kembangkan. Cuma saya sendirian. Iwan mengurus pabrik sama mama".
" Pasti ada saja jalan jika kita berusaha serius. Sayang saya tak bisa membantu. Bukan bidang saya"
" Tak apa apa. Tak perlu dipikirkan. Kita punya jalan dan karier berbeda. Asal saling mengerti dan mendukung".

Selesai makan mereka berkemas kemas. Tak terlalu lama oleh karena memang tak banyak bawaan. Masing masing hanya bawa satu travelling bag. Ketika menyelesaikan pembayaran di kasir depan, seorang pegawai wanita menyapa Rosa.
" Cik tas tangannya ketinggalan di kantin tadi"
" Terima kasih sekali. Malah nggak sadar saya kalau ketinggalan tas".
" Kok keburu buru sih tacik?".
" Urusan sudah selesai, kami terus pulang Bandung".
" Anda berdua pengantin baru? Kelihatan masih muda sekali anda berdua".
Bram terkejut mendengar pertanyaan sambil lalu itu. Dia menjawab pelan sekenanya.
" Iya, kami tinggal di Bandung".
"Mas Bram asli Yogya. Saya asli Bandung" Rosa menimpali.

Jam tiga kurang seperempat mereka sudah sampai di tempat pemberangkatan taksi suburban di daerah Senen. Masih ada tempat, tetapi pemberangkatan kemudian baru jam setengah empat nanti. Perjalanan Jakarta Bandung lancar tanpa hambatan. Bukan seperti perjalanan di akhir pekan. Hawa mulai terasa dingin setelah melewati Bogor. Rosa bersandar ke bahu Bram sepanjang perjalanan. Sementara lengan Bram memeluk tubuh Rosa. Tak banyak bicara. Kecuali kadang kadang penumpang di samping sopir bertanya tentang temat tempat yang dilewati. Mungkin belum pernah menempun jalur itu. Suatu saat dia bertanya ke arah Bram.
" Dik sampeyan asli Jakarta?"
" Bukan. Saya dari Yogya. Ini akan ke Bandung dulu".
" Apakah anda berdua pengantin baru?"
" Belum lagi. Mungkin sebentar lagi. Nama saya Bram. Ini tunangan saya Rosa, tinggal di Bandung. Bapak tinggal di mana?".
" Saya dari Medan. Mau lihat anak saya mondok di Bandung. Dia kuliah di UNPAD".
" Di jurusan apa pak di UNPAD?".
" Ambil pertanian. Baru tahun ketiga. Agak khawatir saya, dia aktif di organisasi mahasiswa". Tanpa diminta orang itu bercerita terus tentang anaknya.
" Mengapa pak? Asalkan kuliahnya lancar lancar saja kan nggak apa apa".
" Maunya begitu. Tetapi saya sama ibunya sering khawatir kalau terjadi apa apa. Kondisi tak menentu. Protes sedikit disekap dan dipukuli tentara".

Bram ingat bapak dan ibunya yang selalu merasa khawatir setiap ada demo mahasiswa di kampus. Tak jarang memang banyak aktivis yang keluar masuk markas KOREM dan dipermak habis habisan.
" Jangan terlalu khawatir Bapak. Keadaan pasti akan membaik. Sebagai aktivis mahasiswa putra bapak tak bisa diam melihat penyelewengan kekuasaan saat ini. Di mana mana".
" Kami sebagai orang tua tak mungkin tak memikirkannya, apalagi jika menyangkut keselamatan anak. Siapa yang mau disalahkan jika sampai jadi korban seperti mahasiswa ITB tempo hari?".
" Bapak dinasnya di mana ? Bram mencoba mengalihkan pokok pembicaraan.
" Saya pengusaha perkebunan. Teutama kopi dan kelapa sawit. Tak luas sekali tetapi cukuplah. Ada di luar kota, satu jam perjalanan dari Medan".
" Sering ke Bandung pak?'.
" Sudah lama sekali tak ke Bandung. Tahun lima puluhan saya kuliah pertanian di Bogor. Begitu selesai terus mulai usaha di Sumatra Utara. Saya memang asli Medan".
Mungkin orang itu seumur bapaknya. Namanya pak Simon. Simon Simamora. Kelihatannya suka cerita. Bram hanya banyak mendengar.
"Anak muda sekarang setiap selesai kuliah rata rata pengin ke Jakarta. Siapa yang mau membangun daerah?".
" Kesempatan mengembangkan karier di daerah terbatas pak. Saya juga baru lulus jurusan sosial politik. Baru saja melamar di Deplu".
" Wah pengin jadi diplomat ya?'
" Moga moga pak. Masih jauh. Karier saya belum jelas mau mulai dari mana".
" Anda sendiri yang memutuskan. Jangan menunggu nasib. Dan jangan hanya membuat satu pilihan. Dulu saya pengin jadi pejabat. Bapak saya dulu residen'.
" Mengapa pindah jalur pak?".
"Saya sempat bekerja di kantor pemerintah propinsi selama tiga tahun. Tak betah saya terus mulai usaha swasta sendiri".
"Bapak saya dinas di pemerintah propinsi DIY pak. Sudah hampir tiga puluh tahun. Sebentar lagi pensiun".
" Hanya orang orang yang sabar dan ulet yang bisa bertahan. Birokrasi pemerintahan sangat rumit".
" Bapak saya juga sering cerita pak. Saya tak pernah tertarik bekerja di kantor pemerintahan daerah. Penginnya kalau bisa pengin dinas di departemen luar negeri. Sokur bisa bertugas di perwakilan RI di luar negri".
" Asal tekun dan sabar pasti ada jalan. Jangan mudah bosan. Moga moga cita cita anda terpenuhi. Bapak ibumu pasti bahagia sekali".
" Terima kasih pak".

Putra pak Simon menyewa rumah di daerah utara Bandung. Saat turun dari mobil, pak Simon agak tertatih. Maklum usia menjelang enampuluh tahun. Bram iba melihatnya. Begitu besar harapannya sebagai bapak terhadap anaknya. Bram ingat Bapaknya. Mungkin dia juga demikian, walau tak banyak diungkapkan.
" Salam untuk putra Bapak. Mungkin satu saat nanti kita ketemu lagi pak Simon"
" Selamat jalan Bram. Semoga tercapai ciita citamu bersama Rosa. Pasangan serasi. Keep that way forever".

Menjelang jam delapan malam mereka sampai di rumah Rosa. Papa mama Rosa agak terkejut melihat Rosa datang bersama Bram.
" Semuanya baik baik Rosa?"
" Baik baik ma. Mas Bram menginap semalam di sini ma. Besok pulang ke yogya naik kereta".
" Silahkan ada kamar tamu didepan".

Bram menyalami papa mama Rosa. Dia menjelaskan kalau perjalanan agak lambat. Berangkat dari Jakarta sebelum pukul empat sore. Bram kemudian mandi setelah menempatkan tasnya di dalam kamar. Sementara Rosa buru buru melihat anaknya Tita yang telah tertidur di kamar pavillion samping rumah. Rosa sejenak memeluk Tita yang tertidur pulas.

" Tadi sebelum tidur menanyakan kapan kau pulang Rosa", Mama memberitahu. "Saya bilang besok pagi".
" Aturan memang baru besok pagi ma. Cuma karena urusan telah selesai maka kami cepat cepat pulang, walau telah sore. Saya beli boneka kecil untuk Tita".
" Dia baik baik saja dua hari ini. Tak rewel sama sekali".
" Biar terbiasa ma. Toh saya tak pernah pergi lama".
" Ajak Bram makan malam dulu".

Habis mandi Bram duduk sebentar omong omong sama papa. Iwan masih belum pulang sejak sore tadi turun ke bawah. Mungkin masih banyak urusan kerjaan. Makin banyak pesanan akhir akhir ini.

" Mas Bram makan malam dulu. Papa sama mama sudah makan sejak tadi. Iwan biar nanti sendirian".
" Bagaimana Tita?"
" Sudah tidur sejak tadi. Kata mama dia menanyakan kapan saya pulang".
" Besok pagi pasti gembira sekali bangun tidur lihat mamanya".
" Barusan saya peluk dan saya ciumi, tak terbangun sama sekali. Pulas sekali tidurnya".
" Silahkan makan malam seadanya Bram. Biar ditemani Rosa. Saya sama papa sudah makan sejak tadi", mama menghampiri.

Papa dan mama kemudian pamit masuk kamar. Mereka selalu tidur awal. Tak biasa tidur larut.Tak banyak yang dibicarakan Bram sama Rosa. Mereka makan dengan tenang. Hati masing masing melayang membayangkan masa masa yang akan datang. Lewat jam sepuluh Bram pamit akan masuk kamar, istirahat. Dia peluk Rosa dengan lembut. " Selamat tidur mas Bram. Mimpi indah"
" Bukan hanya mimpi. Kenyataan yang indah dan membahagiakan. Pengin mengulangi dan melakukan selamanya bersamamu".

Bram tiduran di kamar. Badan terasa letih. Tetapi pikiran melayang kemana mana. Tak bisa memincingkan mata. Selalu mengingat peristiwa semalam. Terbang melayang bersama Rosa. Dalam kenikmatan dan kedamaian yang dalam. Dalam desiran desiran rasa yang aneh. Akhirnya terlena dia bersama impian impian indahnya. Tidur pulas dalam buaian mimpi indah. Ada tangan lembut meraba dan membelai mukanya dengan mesra. Ada irama napas lembut memburu. Ada degub jantung bernada riang terdengar dekat sekali. Ada bau harum semerbak yang dia telah hapal sekali.

Bram menggapai tangan lembut itu. Dia genggam dan dia belai tangan itu. Dia peluk tubuh yang indah itu. Aaah ternyata bukan mimpi semata. Rosa telah tergolek mesra disampingnya. Bram menyambutnya dengan seluruh perasaan. Dengan seluruh jiwa. Suara napas mereka yang tersengal memburu berubah hening. Tak ada napsu yang berkobar membara. Yang ada hanyalah keheningan dan kedamaian yang dalam. Perasaan mereka melayang bersama gerakan gerakan ritmis dua tubuh yang berpadu dalam asmara. Melayang dalam kedamaian dan keheningan yang dalam. Seolah melayang menari bersama di antara bintang. Tarian asmara yang lembut, hening dan membuai. Bram dan Rosa bersatu dalam raga, dalam rasa dan jiwa. Akhirnya mereka terjaga ke dunia nyata. Peluh membasahi tubuh tubuh yang indah. Mereka terlelap tidur dalam kedamaian. Tergolek di atas kain seprei putih dengan renda warna warni. Menjelang pagi Rosa terbangun. Tangis Tita telah membangunkannya.

" Mas Bram saya kembali ya. Tita mencari saya"
" Silahkan, besok masih ada waktu"
" Apakah anda kecewa ?"
" Tak ada kata kecewa. Kita melakukannya dengan sadar. Saya juga tahu segala konsekuenaisnya".
" Terima kasih mas Bram".

Bram bangun agak siang. Jam setengah tujuh baru bangun. Matahari sudah meninggi. Rosa sibuk di pavillion memandikan Tita. Tak ada rencana apa apa hari itu. Hanya pengin bersama Rosa menghabiskan hari. Sore nanti kembali ke Yogya. Bersama Iwan, Rosa dan Tita, Bram ikut melihat tempat pabrik tekstil yang dikelola Iwan dan mama. Juga melihat workshop tempat produksi pakain anak anak yang dikelola Rosa. Tak begitu besar tetapi nampak sibuk. Tak kurang lima belas orang bekerja di sana. Rosa hanya sebentar melihat pesanan pesanan yang sudah jadi. Minta asistennya untuk bersama sama mengecek kembali mutu pakaian jadi sebelum dikirim ke pemesan. Bram terkesan akan kecekatan kakak beradik Rosa dan Iwan. Dalam usia yang begitu muda sudah mengendalikan laju perusahaan. Menjamin kelangsungan pendapatan puluhan karyawan.
Setelah melihat lihat kota sejenak, mereka kembali ke rumah. Makan siang bersama papa dan mama.

Jam setengah lima sore, Bram berangkat ke stasiun kereta. Hanya di antar Rosa. Tak banyak pembicaraan dalam perjalanan. Rosa membisu. Terasa berat melepas Bram. Jangan jangan dia hanya main main. Dan tak akan kembali ke Bandung lagi.
Di stasiun sempat minum kopi di salah satu rumah makan di dalam stasiun. Hanya bicara seadanya.

" Mas Bram jangan menyesal ya mas"
" Tak ada yang perlu disesali. Saya dan kau bersama telah berada di pintu masa depan. Masa depan kita bersama".
" Moga moga semua lancar mas. Kita berdoa bersama".
" Kita tidak akan berpisah lagi Rosa"
" Kapan saya bisa ke Yogya?"
" Berikan saya sedikit waktu"
Bram memeluk Rosa dengan hangat. Dikecupnya kening yang indah itu. Dia cium tangan Rosa sebelum naik kereta. Kereta malam menuju Yogya. Salam damai Rosa. Salam bahagia. Berjalan bersama menuju pintu masa depan.