Monday, November 9, 2009

(19) Perjalanan menembus kabut

Masih terang tanah ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun Bandung. . Belum lewat setengah enam. Kereta Parahiyangan bergerak pelan meninggalkan kota yang baru bangun. Terlambat beberapa menit. Tidak apa, tak ada yang harus dikejar kejar hari ini. Pikir Bram menenangkan diri. Walau hatinya bergejolak keras. Belum pernah seumur hidup dia bepergian berdua dengan seorang wanita. Belum ada janji dan keterikatan. Kenapa terlalu jauh begini? Badannya terasa tak segar. Semalam mata sulit dipincingkan. Jam satu masih terjaga. Bangun jam empat langsung cuci muka dan lari ke stasiun naik taksi. Rosa sudah datang duluan, menunggu di ruang tunggu bersama Iwan. Dia datang diantar Iwan. Bergegas mereka naik ke gerbong. Tak begitu sesak di kelas eksekutif. Pagi yang hening. Bram tertidur dalam goyangan gerbong. Belum sempat ngobrol sama Rosa.

Rosa duduk tenang. Matanya memandang ke luar jendela. Kabut pagi masih menyaput samar. Terasa tenang dan damai. Hatinya kadang berdesir saat menyadari pergi bersama dengan Bram. Pria yang dia kagumi. Sekejap dia kerling Bram yang tertidur lelap. Bersandar disampingnya. Kabut pagi yang indah. Walaupun pandangan samar samar, manusia selalu yakin bahwa matahari pasti akan datang. Perjalanan telah dimulai. . Antara Bandung Jakarta. Dalam kabut pagi. Moga moga perjalanan bersama Bram akan berlanjut selamanya. Perjalanan ;panjang ke depan. Saat lewat jembatan Cimeta, tiba tiba Bram terbangun. Masih setengah sadar ketika mengetahui tangannya menggamit tangan Rosa.

'Maaf tertidur. Semalam nggak bisa tidur'. Bram memulai percakapan.
''Tak apa apa. Silahkan istirahat mas Bram. Pemandangan di luar indah sekali. Sejuk dan damai'.
' Udara berkabut di luar'
' Saya selalu menikmati kabut pagi. Awal hari yang cerah'.
' Iya tapi kabut juga sering menyebabkan kecelakaan pesawat kan. Yang nampak indah belum tentu selalu aman ?'
'Tak usah dikaitkan. Biar saya menikmati keindahan pagi ini'.

Terlihat di luar lembah hijau yang indah penuh pesona. Jalur kereta Bandung Jakarta memang selalu mempesona. Sejak dulu penumpang di buat takjub.saat lewat di sana. Di akhir tahun lima puluhan di balik keindahan alam itu kadang kadang terjadi penghadangan oleh para pemberontak.

'Mengapa diam mas Bram?'
' Pemandangan di bawah sana begitu cantik mempesona. Damai sekali rasanya. Tak bisa dipercaya konon dulu sering terjadi penghadangan berdarah di dini. Sering makan korban'
'Saya jarang sekali bepergian ke Jakarta. Tak tahu apa apa tentang cerita itu'
' Saya pikir kau dulu sering bolak balik'.
'Apa maksudmu?. Hanya akhir akhir ini saja karena pekerjaan. Biasanya naik suburban.
Bram tak mengira kalau pertanyaannya mungkin diterima terlalu jauh. Dia tak berkeinginan mengorek masa lalu Rosa. Masa lalu bersama Dedi sang mantan suami. Pertanyaan itu tak bermaksud ke sana. Dia memindahkan percakapan.

' Jam berapa kita akan sampai ke Jakarta ?.
'Mungkin sekitar pukul sembilan'.
'Kita terus ke penginapan saja nanti. Akan tilpon ke kantor Pak Rinto dulu. Kalau nggak bisa ketemu hari ini ya besok.
'Saya masih malas mau ngurusin dagangan. Boleh ikut mas Bram?. Saya nanti menunggu di luar.
Bram terdiam sejenak. Mengapa mesti berduaan terus ? Ini masalah karier dan pekerjaan.
'Mengapa kau nggak menemui langganan langganan mu dulu?.
'Masih ragu. Malah dikira mau nagih bayaran. Biar saja saya menunggu di penginapan kalau mas Bram keberatan'.

Jam setengah sembilan lewat sedikit kereta telah memasuki Jakarta. Stasiun Gambir. Mereka langsung naik taksi menuju ke komplek TIM (Taman Ismail Mardjuki). Kebetulan penginapan penuh. Hanya ada satu kamar yang kosong. Petugas menanyakan apakah mereka suami isteri ? Bram berkata singkat ' Sebentar lagi kawin'. Jawaban sekenanya agar tak ditanya surat kawin. Dia ingat temannya, Budi, yang kuliah di kedokteran dan ngurusi penginapan di jalan Pajeksan Yogyakarta. Ceritanya dia selalu debat dengan pasangan yang datang cari kamar tetapi tak bisa menunjukkan surat kawin.

Kamar itu sederhana tetapi bersih. Sayang kamar mandi di luar. Ramai karena hari itu banyak tamu datang. Setelah istirahat sebentar Bram pamit tilpon kantor pak Rinto di Deplu. Ternyata beliau baru bisa ditemui siang jam setengah tiga. Bram bermaksud istirahat dulu. Hanya ada satu tempat tidur besar. Dari kayu jati dengan warna plitur gelap. Kain seprei warna putih bersih berbau harum segar. Dia merebahkan diri di tempat tidur. Sementara Rosa pamit mencari minum. Bram masih tidur tidur ayam ketika Rosa kembali membawa minuman.

'Mas Bram ada minuman'
'Terima kasih, saya juga belum sarapan tadi'
'Mungkin makan pagi dulu di kantin ya? Masih siang nanti kan janjinya'
'Biasanya saya hanya minum jus segar pagi hari. Tetapi tak apa kita makan dulu'.

Rosa ganti baju sebentar. Memakai kaos T shirt dan celana jin. Nampak cantik dan segar. Mereka makan pagi di kantin. Tak banyak pilihan. Ada pecel sama rawon. Berdua mereka pesan rawon. Tak lama berada di kantin. Banyak orang ngobrol di sana. Tidak tahu rombongan dari mana. Keras benar suaranya. Pandangan mereka penuh selidik menatap Bram dan Rosa. Tak enak lama lama di kantin. Selesai sarapan mereka kembali ke kamar.

" Saya akan meneliti berkas berkas saya sebentar, Rosa. Takut kalau nanti ada yang kurang".
"Mengapa kau nampak gelisah?"
"Tak tahulah, hati saya was was terus. Seperti ada yang nggak beres".
"Apanya yang nggak beres? Tenanglah mas Bram, yang penting ketemu pak Rinto, dan dengarkan nasehatnya nanti. Gelisah sendiri tak akan menyelesaikan masalah".

Rosa tak mengerti bahwa Bram galau pikirannya karena dia. Karena pergi bersamanya. Habis meneliti berkas berkas surat, Bram duduk di samping Rosa. Bau harum bunga melati menyentuh lembut. Mereka bicara sekenanya. Tak ada arah pembicaraan yang jelas. Ketika tangan Bram menyentuh jari jari Rosa, mata mereka beradu. Penuh arti. Saling menggenggam.. Tahu tahu Rosa sudah bersandar dalam dekapan Bram. Darah mengalir cepat dan napas napas mereka berdesah memanas. Ketika bibir mereka saling bertaut, berbagai perasaan bercampur jadi satu. Tangan Bram merayap ke berbagai bagian tubuh Rosa yang halus. Dan pakaian mereka terlepas tak terasa. Rosa berbisik lirih. "Jangan tergesa mas. Masih banyak waktu ke depan". Bram tak menyahut. Hanya mendesah perlahan. Ketika terdengar suara mobil berhenti di halaman, mereka juga berhenti bercumbu. Rombongan yang ramai tadi berangkat meninggalkan penginapan.

Jam satu mereka berdua naik taksi ke Pejambon. Bram tak berani meninggalkan Rosa sendirian di penginapan itu. Banyak laki laki bermata liar di sana. Lebih baik Rosa bersamanya. Gedung Departemen Luar Negeri itu nampak megah. Bercat putih. Tak terlalu sulit mencari kantor pak Rinto. Petugas satpam di depan juga tahu siapa pak Rinto. Dia pejabat tingkat Direktur Jendral. Harus menunggu sejam lagi kira kira. Mereka memutuskan menunggu di kantin. Tempatnya nampak bersih dan rapi Sepi karena jam makan siang sudah hampir habis. Bram pesan sayur asem dan Rosa soto.

" Mas Bram, kantornya bagus sekali. Anda pasti senang kerja di sisni'.
' Diterima saja belum. Tak perlu berpikir macam macam lah".
' Orang harus selalu berharap. Optimis. Jangan kecil hati di depan".
' Kecil hati sih enggak. Tapi semuanya datang bersamaan sepertinya. Perlu mengambil keputusan penting dalam hidup dalam waktu yang bersamaan'.
' Mas Bram, ada waktu waktu dimana orang harus mengambil keputusan yang tepat yang menentukan hidup ke depan'. Bram tercenung sejenak, 'Moga moga saya bisa mendapat jalan terbaik'.
' Apapun yang anda pilih, anggaplah itu yang terbaik. Jalani dengan tekun dan semangat'.

Jam setengah tiga tepat Bram sudah datang di kantor pak Rinto. Rosa menunggu di ruang tunggu di bawah.
'Tunggu sebentar mas, bapak masih ada tamu. Apakah anda masih famili dengan Bapak? Tanya sekretaris menyelidik.
' Pakdhe saya teman baik beliau sejak jaman gerilya'.
' Boleh tahu namanya ?. Bapak juga sering cerita jaman gerilya dulu'.
' Dewanto. Nama lengkapnya Kusumo Dewanto"
' Aduh, pak Dewanto. Tahu banget kami. Beliau mantan duta besar di Budapest. Baik baik kan beliau di Bandung ?'.

Ketika tamu sudah pergi, sekretaris yang ramah itu masuk ke kamar pak Rianto. Mungkin meberi tahu siapa tamunya. Sesaat kemudian dia keluar dan minta Bram masuk.
' Selamat datang mas. Anda keponakan mas Dewanto ya?. Siapa namanya '
' Saya Bram. Bramantyo. Salam dari pakdhe'.
' Bagaimana keadaan beliau?. Baik baik kan'
' Sokur pak. Sehat sehat selalu. Saya sendiri dari Yogya'
' Dari Yogya?. Putranya adiknya pak Dewanto kalau gitu?'
'Iya, bapak saya tugas di pemda'.
'Banyak kenangan saya di Yogya, bersama pakdhemu. Kami bergerilya bersama di daerah Yogya lalu di Banaran, Ambarawa'.
' Saya tidak banyak tahu tentang cerita itu'.
' Teman karib kami sekelompok tewas di Banaran. Namanya Kresno. Dimakamkan di sana".
'Saya dengar sepintas dari pak dhe cerita itu'
' Kisah masa lalu yang tragis. Kapan kapan jika saya pensiun akan datang ke sana dengan mas Dewanto. Bagaimana anda? Minat bekerja di Deplu?'.
' Harapan saya demikian jika mungkin pak. Saya lulus jurusan hubungan internasional di Gama'.
' Gini, langsung saja besok ke bagian personalia. Masukkan berkas lamaran lengkap. Saya kasih catatan kecil'.
' Terima kasih sekali pak'.
' Nanti ceritanya disambung lagi. Yang penting selesaikan proses lamaranmu dulu'.

Pak Rianto memberikan satu catatan singkat yang ditulis tangan dalam amplop kecil. Bram minta diri dan mengucapkan terima kasih sebesar besarnya. Besok akan memasukkan lamarannya. Sekarang pegawainya sebagian besar sudah pulang.

***
Setelah makan malam di kantin, Bram dan Rosa segera kembali ke kamar. Pengin cepat istirahat. Semalam mereka kurang tidur, harus bangun pagi. Bram agak sungkan tidur bersama satu tempat tidur. Dia bermaksud tidur di kursi.
' Jangan tidur di kursi. Badanmu tak bisa istirahat mas. Di tempat tidur saja berdua. Tak apa apa'.
'Tak enak dilihat orang kita tidur bersama'.
' Mana orang tahu. Yang penting kita nggak ngapa ngapa kan'

Bram ingat cerita Reni, saat tugas praktek juga sering terpaksa tidur bersama ramai ramai. Apa salahnya asal tak melakukan apa apa? Dia langsung tertidur pulas. Sementara Rosa masih duduk di kursi membaca koran yang dibeli tadi siang. Jam setengah sebelas dia menyusul tidur. Berdampingan dengan Bram. Tak ada rasa takut atau was was. Dia percaya sepenuhnya kepada Bram. Mimpi indah seolah berjalan menembus kabut pagi. Bergandengan tangan dengan orang yang dicintai. Semakin erat tangan tangan mereka saling menggenggam. Semakin melayang perasaan mereka di antara kabut yang indah dan sejuk. Napas mereka mendesah berkepanjangan bersama irama detak jantung yang memburu, Ternyata bukan hanya mimpi semata. Tangan tangan mereka saling memeluk dan meraba. Merambat di antara lekuk lekuk tubuh yang indah. Bibir mereka bertautan di antara suara suara lembut. Saling memanggil nama. Dua jiwa dan raga beradu dan bersatu dalam nikmat tak terhingga. Seolah melayang bersama. Terbang bersama mengarungi lautan cinta tak berbatas. Ketika nikmat itu berlalu mereka sadar akan perbuatan yang baru saja dilakukan. Ada perasaan kecewa di dalam hati. Bram merasa mungkin belum saatnya itu.
' Maaf Rosa kita terlalu jauh sudah'.
' Tak perlu kecewa mas Bram. Saya melakukannya dengan iklas dan sadar. Saya pasrah'.
' Rosa, tak mungkin kita balik kembali. Perjalanan sudah mulai. Mungkin sangat panjang jalan itu'.
' Mas Bram, saya akan senantiasa bersamamu. Berjalan disampingmu apapun yang akan terjadi. Ingat perjalanan awal kita tadi pagi. Menembus kabut pagi yang indah'.

Monday, November 2, 2009

(18). Siapakah anda?

Sore itu Rosa pulang awal. Ingin mempersiapkan diri. Bertemu keluarga Dewanto. Bram memberitahu lewat tilpon pagi tadi kalau pak Dhe dan Budhenya sore itu tak ada acara. Mereka hanya di rumah saja. Bram akan datang menjemput sekitar jam setengah lima nanti. Udara agak mendung. Awan tipis menutup kota Bandung. Tak ada angin bertiup. Namun udara tetap terasa dingin. Rosa memilih pakaian yang paling serasi. Beberapa kali berganti di depan kaca. Hatinya sedikit berdebar. Apa yang akan diceritakan nanti dimuka keluarga Bram? Mungkin pertemuan ini terlalu dini. Rasa khawatir itu ditepis sendiri. Biarlah, apa pun yang terjadi, terjadilah. Manusia tak bisa mengubah masa lalu. Semua telah lewat. Beginilah saya adanya. Akhirnya Rosa memilih gaun panjang warna ungu lembut. Dengan scarf sutera pemberian papanya dulu. Dia selalu menyenangi kombinasi warna lembut. Merasa lebih percaya diri dengan warna itu.

Jam setengah lima kurang sedikit, Bram telah datang. Wajahnya nampak tak tenang. Namun dia mencoba menyembunyikan perasaan. Rosa menyambut dengan tenang. Ada rasa damai di dalam sana melihat wajah Bram.

"Silahkan tunggu dulu mas Bram. Saya belum selesai"
" Saya datang terlalu cepat. Tadi pagi kak Mia datang dari Jakarta. Sempat berbincang sebentar habis makan siang tadi".
"Siapa itu kak Mia?"
" Putra kedua pakdhe Dewanto. Adiknya kak Rio".
" Mas Bram belum pernah cerita"
" Nanti saya kenalkan. Pasti cocok kau. Kak Mia sangat ramah".
" Mungkin saya tak bisa lama. Tita agak rewel sejak pagi. Dia masih tidur sekarang".
" Tak apa apa. Yang penting kau katanya pengin kenal sama pakdheku".

Tak lama kemudian Bram dan Rosa telah berjalan bersama.Berdampingan melewati jalan di tepi pemukiman. Jalan bersih dengan bunga bunga kana di sisi jalan. Bau semerbak melati parfum Rosa kadang menghampiri dengan kembut. Mereka berdua berdiam diri. Tak banyak pembicaraan. Berjalan bersama berdampingan. Hanya hati masing masing yang bergejolak. Apakah ini awal perjalanan bersama ke masa depan ? Tak ada yang tahu dan tak ada yang bisa menjamin. Manusia hanya menjalani garis perjalanan hidup masing masing. Mungkin saja jika hati masing masing mantap dan menghendaki, mereka akan berjalan bersama terus mengarungi perjalanan hidup yang panjang. Berdua seperti sore itu. Berjalan bersama di bawah naungan pohon2 cemara yang berjajar rapi. Kemudian mereka naik opelet ke arah Dago Bukit. Dengan hati hati sekali Bram menggamit tangan Tita. Khawatir Tita yang begitu lembut dan halus akan terjatuh dan tergores di dalam opelet. Penumpang opelet hanya diam memandang. Sopir menatap lewat kaca. Kernet berteriak lepas. Dago, Dago, Dago. Semua mengerti, nampak sejoli yang sedang dimabuk cinta. Tak ada yang tahu, ada keraguan di dalam sana. Di dalam hati sang pria, Bram.

Pak Dhe Dewanto baru bangun tidur sore ketika mereka sampai. Bu Dhe masih duduk di kebun belakang rumah. Membersihkan tanaman bunga kesayangannya. Tak banyak acara mereka dari hari ke hari. Masa pensiun adalah masa istirahat. Mereka nikmati masa istirahat itu dengan melakukan apa yang mereka senangi dari hari ke hari. Tak ada istilah post power syndrome. Masa tugas telah lewat. Tak mau pusing dengan urusan macam macam. Mengikuti berita hanya lewat koran atau TV. Tak ada acara ngrumpi dengan kelompok. Sekarang banyak acara sosial. Pertemuan rutin akar rumput. Namun isinya hanya dipenuhi dengan acara ngrumpi. Mana ada tetangga yang beli mobil baru. Mana yang punya wanita atau pria idaman lain. Semua berita bisa jadi acara menarik untuk ngrumpi. Pasangan Pakdhe Dewanto sama Budhe Larasati, tak kenal itu ngrumpi. Pensiun ya pensiun, titik. Masa istirahat. Tak ada kamus ngrumpi.

" Bram, kok sudah gagah benar kamu. Tak tahu kapan kamu pergi tadi".
" Budhe sama pak Dhe baru istirahat ketika saya pergi. Perkenalkan teman saya Budhe. Rosa".
Rosa mengulurkan tangan dengan sopan. Menyebut namanya lirih Hatinya bergetar.
" Saya Rosa. Pipit Rosalina"
" Nama yang bagus. Silahkan duduk di ruang tengah saja. Biar tak ada angin. Sudah lama berteman dengan Bram nak?.
" Sudah beberapa bulan ini Ibu"
"Mengapa kamu nggak cerita Bram ?. Pakdhe mu baru mandi nampaknya. Tunggu ya. Mia, kesini lah. Ini Bram sama Rosa".

Mia menghambur dari kamar depan. Bercelana jean dengan kaos warna hijau. Kelihatan sangat santai. Dia memang selalu menikmati masa libur di rumah orang tuanya.

"Kemana Bram? Habis ngobrol makan siang tadi terus menghilang?"
" Saya kira kak Mia tidur tadi. Saya tidak pamitan. Menjemput Rosa. Kenalkan, ini Rosa".
"Rosa ?. Bram tak pernah cerita tentang kau Rosa. Saya Mia, sepupu Bram? Sudah kenal lama dengan Bram?
"Baru beberapa bulan belakang ini. Kami berkenalan dalam perjalanan Yogya Bandung". Rosa menjawab tersipu.
"Kenalan terus dekat ya? Biasalah anak muda. Ngapain tunggu tunggu segala"
"Kak Mia tinggal di mana?"
"Saya di Jakarta. Saya kerja di salah satu bank asing. Saya pulang Bandung tiap dua bulan. Sudah lama nggak ketemu Bram".
"Beberapa kali saya ke Bandung, kak Mia nggak ada di Bandung", sela Bram.
"Sering sering datang ke Bandung Bram sekarang. Ada teman dekat lagi. Lama nggak ketemu tahu tahu sudah bawa pasangan".
" Kangen saya sama obrolan kak Mia". Bram tak banyak berkutik. Merasa tersindir.
" Rosa. Bener ya Pipit Rosalina?. Namamu indah sekali seperti parasmu yang cantik. Hati hati sama lelaki. Jaman sekarang banyak hidung belang. Mau enaknya saja. Tetapi boleh jamin Bram, pemuda anteng. Nggak macam macam. Ada rencana berdua yang serius?"
Kata kata Mia memberondong ke arah Rosa. Mia tak menyadari kata kata gurauannya menyentuh luka Rosa yang paling dalam. Muka Rosa memerah.
"Kami hanya berteman dekat kak Mia. Baru beberapa bulan berkenalan. Iya kan mas Bram?."
" Bram kau mau ke Jakarta, melamar kerja kan? Tolong hubungi saya di Jakarta nanti ya? Kita bisa makan malam. Masih pengin ngobrol sama kau".
Bram terkejut menerima tawaran itu. Dia akan ke Jakarta bersama Rosa. Bagaimana mungkin mau mampir ke tempat Mia.
"Saya kumpul sama teman teman dari Yogya kak Mia".
"Di mana nginapnya? Masih sering nginap di dalam kompleks Taman Ismail Mardjuki ?
"Kadang kadang, makanannya enak di situ. Sayur asem sama daging empal. Paling enak yang pernah saya rasakan".

Bram memang sering menginap di penginapan dalam kompleks TIM. Penginapan sederhana untuk para sastrawan dari daerah jika ada acara di Jakarta. Yang istimewa memang makanannya, terutama sayur asem dan daging empal dengan sambal pedas sekali. Dia selalu makan malam di kantin itu. Hanya ramainya nggak karuan. Seniman seniman yang sering nginap di sana, suka ngobrol sampai larut malam. Seolah tak ada lagi waktu esok hari untuk ngobrol. Bukan selalu obrolan berat tentang kebebasan mimbar atau kebebasan berkreasi. Salah seorang dari mereka mimpi aneh saja bisa jadi bahan diskusi berjam jam. Yang penting diskusi. Apapun isi dan maknanya.

Tiba tiba Budhe dan Pakdhe keluar dari kamar. Mereka duduk di kursi panjang di seberang ruangan. Wajah Pakdhe begitu tenang dan berwibawa. Bram dan Rosa tak bisa mengeluarkan kata sepatah pun.

" Siapakah anda? Teman Bram ya?" Tiba tiba Pakdhe bertanya.
"Panjenengan ini gimana sih pak. Tadi kan saya sudah bilang, ada Rosa temannya Bram".
Budhe mencoba mencairkan suasana. Rosa terhenyak dengan pertanyaan langsung itu.
" Perkenalkan saya Rosa, Pakdhe. Pipit Rosalina. Temannya mas Bram".
"Bram tidak pernah cerita tentang anda. Tinggal di Bandung?"
" Iya dekat sini. Di Cisitu sama papa dan mama. Mas Bram banyak cerita tentang Pakdhe dan Budhe".
" Gimana Bram, kau cerita tentang Pakdhe ke Rosa. Tetapi tak cerita tentang Rosa ke pakdhe?". Bram semakin bingung dengan pertanyaan yang menghunjam itu.
"Belum sempat cerita Pakdhe. Baru kenalan beberapa bulan".Jawabnya sekenanya.
" Gimana rencana kamu ke Jakarta? Jadi kan? Saya sudah tulis surat ke Rinto di Deplu. Besok jangan lupa di bawa suratnya"
"Iya Pakdhe. Kami akan berangkat besok pagi pagi".
"Lho memangnya kau ke Jakarta berdua?". Tiba tiba Budhe Larasati menyela. Bram tak sengaja bilang kami tadi. Ini mengungkap rencana mereka pergi ke Jakarta bersama. Rosa memerah mukanya. Bram terdiam sesaat.
"Rosa juga ada acara di Jakarta Budhe. Sekalian sama sama".
" Nak Rosa kuliah di Bandung atau Jakarta?"
"Dulu saya kuliah di Bandung Budhe. Sekarang sudah berhenti. Usaha pakaian anak. Kami pasarkan sampai ke Jakarta juga. Tak berapa besar".
" Jika ke Jakarta dengan Bram. Kita ketemu nanti ya. Bram berikan alamat tempat nginapmu. Saya dua hari lagi pulang Jakarta" Mia menyela. Tak berpikir kalau Bram gelisah luar biasa.
"Iya kak nanti saya tilpon. Tetapi jika urusan selesai saya langsung pulang Yogya".
"Lantas Rosa juga ikut ke Yogya?'
"Tidak kak. Dia kembali ke Bandung".

Bram begitu terperangah dengan pertanyaan tak terduga itu. Dia juga belum punya rencana sesudah acara di Jakarta selesai. Sementara Rosa hanya diam mendengarkan. Pakdhe dan Budhe mengajak mereka berdua duduk di halaman belakang. Mia kembali masuk ke kamar. Dia tahu Bapaknya akan memberikan wejangan. Tak ingin dia terlibat. Mereka berbincang sejenak sambil menikmati angin sore hari. Pakdhe dan Budhe menanyakan secara singkat akan keluarga Rosa. Tak banyak yang bisa dia ceritakan. Juga tak diungkapkan kisah masa lalunya. Belum saatnya. Toh nanti mereka akan tahu dengan berjalannya waktu.

" Pernah ke Yogya Rosa?"
" Belum pernah. Nanti kapan kapan akan khusus ke Yogya jika urusan mas Bram sudah selesai Budhe".
"Belum pernah bertemu bapak ibunya Bram?"
"Belum pernah. Kami bersama mas Bram baru merencanakannya"

Bram terlihat berdiam diri. Dia merasa bingung bagaimana akan memberitahu Bapak ibunya tentang Rosa. Tentang hubungannya dengan Rosa. Tentang kisah masa lalu Rosa. Dia merasa bersalah. Tetapi dia tak punya kekuatan untuk mundur meninggalkan Rosa yang sudah begitu lekat di hatinya. Dia merenung melihat langit memerah di ufuk Barat. Hatinya terbawa gundah. Tarikan napasnya mendesah galau.

" Bram dan Tita. Saya nggak tahu apa rencanamu ke depan. Pikirkan baik baik semuanya. Apapun yang kau putuskan dan rencanakan, kami orang tua hanya bisa ikut berdoa. Moga moga keinginan kalian bisa terkabul". Pakdhe berkata pelan dan berat.
"Iya Pakdhe. Terima kasih". Suara Bram hampir tak terdengar.
" Beritahu bapak ibumu, jika sudah ada rencana ke depan. Jangan membuat mereka menabak nebak. Susah nanti bapak dan ibumu. Biar mereka menikmati masa tua dengan tenang".

Rosa menunduk diam. Hatinya tergetar mendengar kata kata Pakdhe. Mengapa begitu jauh? Kami belum berencana apa apa ke depan. Belum ada rencana bilang ke orang tua segala. Tetapi dalam batin dia bersyukur mendengar wejangan Pakdhe. Mulanya begitu getir mendengar pertanyaan yang begitu berat, siapakah anda. Tetapi dia lega di akhir pembicaraan, Pakdhe mengatakan kalau orang tua hanya bisa ikut berdoa.

Lewat jam enam, Bram mengantar Rosa pulang. Pagi2 besok harus berangkat. Naik kereta jam lima pagi. Sekembali mengantar Rosa, Bram berpamitan ke Pakdhe dan Budhenya, jika besok akan berangkat pagi pagi sekali.

"Ingat pesan saya Bram. Sampaikan pesan saya untuk pak Rinto ya di Deplu. Moga moga kau berhasil"
"Terima kasih Pakdhe dan Budhe. Mohon doa restunya selalu"
" Saya doakan moga moga perjalananmu ke Pejambon, mengawali perjalanan kariermu ke depan sebagai diplomat. Berdoalah anak muda"

Tak lupa Bram menemui Mia sebelum masuk kamar tidur.

"Kak Mia, saya akan kontak kau nanti di Jakarta ya. Tapi jangan bilang sama Bapak ibu di Yogya kalau saya sama Rosa. Biar saya yang memberitahu dulu".
" Tilpon saya ya nanti. Kita sempatkan bertemu. Melihat kau bersama Rosa, saya berpikir masa muda kita akan berakhir. Tak sebebas dulu lagi. Main bersama dalam setiap kesempatan ".
"Untung kau Bram, bisa menggandeng Rosa. Dia cantik dan ramah. Dia sayang banget sama kamu"
"Terima kasih kak Mia. Sampai ketemu lusa.".