Tuesday, June 23, 2009

(17)Impian di antara bintang


Langit bertabur bintang. Tak terlihat bulan di atas sana. Belum saatnya bulan purnama.. Namun tetap saja langit terlihat indah bertabur kelap kelip warna perak. Pikiran manusia sering melayang membayangkan ada apa jauh di sana, di antara bintang di balik tata surya. Bram dalam perjalanan ke Bandung malam itu. Tak mampu memincingkan mata. Pikirannya melayang diantara bintang malam. Perasaan terasa aneh. Sejak kecil sampai lulus universitas dia tak pernah hidup berpisah dengan bapak ibunya. Bapaknya, Raden Mas Rianto Kusumoyudho, dan ibunya Raden Rara Ambarwati, keduanya berdarah biru. Bram dibesarkan dalam lingkungan keluarga Jawa tradisional. Dia selalu merasakan kehangatan dan kasih sayang kedua orang tuanya selama ini. Meski dengan segala tata cara dan kebiasaan yang ketat dalam keluarga.

Sejak pendadaran beberapa minggu lalu, hatinya selalu gelisah. Waktunya telah tiba untuk meninggalkan rumah. Meninggalkan kehangatan ayah ibunya, demi mengarungi perjalanan karier ke depan. Sore tadi sewaktu pamitan, ayahnya memeluk erat dan berkata. "Bram hati hati selalu di jalan ya. Perjalanan sangat panjang ke depan. Ambillah jalan yang terbaik buat masa depanmu". Ibunya memeluknya sambil berkaca kaca. "Hati hati ya nak". Memang benar, walau baru hanya akan mencari pekerjaan di Departemen Luar Negeri, dia sudah membayangkan pasti akan harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Waktunya telah tiba. Tak mungkin ngendon di Yogya terus. Walau ayahnya bisa mencarikan pekerjaan di kantor pemerintah daerah. Keinginan menjadi diplomat sejak kecil sudah membara. Tak mungkin tawar menawar.

Bram sengaja ke Bandung dulu. Minta rekomendasi dari pakdhe Dewanto, pensiunan diplomat RI di Hongaria. Di manapun harus pakai surat rekomendasi untuk memperlancar lamaran. Tetapi dia mampir Bandung juga puya tujuan lain. Menemui Rosa. Pipit Rosalina. Hatinya begitu lekat walau baru kenal beberapa bulan. Wajahnya yang lembut dan selalu ceria seolah memberinya semangat dan harapan. Hatinya berdesir setiap mengingat Rosa. Ingat malam malam dalam perjalanan bis ke Bandung. Pertemuan dan perkenalan secara kebetulan dalam bis waktu itu. Ingat bagaimana Rosa bersandar mesra di pundaknya sepanjang jalan. Tangannya saling menggenggam mesra. Desiran hatinya membawa perasaannya melayang. "Ya Tuhan biarlah kami bergandengan tangan selamanya".

***

Bram tinggal dua malam di rumah pakdhe Dewanto. Kebetulan Rio, putra sulung pakdhenya sedang liburan di bandung. Dia seorang pilot. Orangnya pendiam. Tak banyak ngomong. Sesekali dia ngobrol di ruang tengah dengannya. Orangnya serius sekali.
Sehabis sarapan pagi itu, Rio banyak bertanya.

"Sudah mantap kau rupanya jadi pegawai pemerintah dik Bram?"
" Saya belajar hubungan internasional. Kesempatan untuk mempraktekkan apa yang saya pelajari ya dunia diplomasi mas".
"Apa anda siap memperjuangkan kepentingan Indonesia yang kadang bertentangan dengan suara dunia internasional"?
" Jika diterima di Departemen Luar Negeri, saya hanyalah bagian kecil dari mesin diplomasi Indonesia. Tak mungkin seseorang mampu mengubahnya dalam sesaat. Diplomasi di dunia internasional juga tergantung situasi di dalam negeri. Tak mungkin memperjuangkan citra Indonesia tanpa memperbaiki situasi dalam negeri an?"
"Sokurlah jika anda sudah menyadari sejak awal. Saya selalu kasian dengan diplomat Indonesia di luar negeri. Mereka memperjuangkan citra Indonesia mati matian, sementara di dalam negeri banyak sekali penyimpangan"
" Ya itulah tantangannya. Penyimpangan selalu terjadi di mana mana. Hanya bagaimana kita menekan seminimal mungkin. Diplomasi tidak bisa menutup nutupi berbagai pelanggaran hak azasi di indonesia. Hanya memperkecil dampak negatifnya saja dalam pergaulan internasional".
" Bapak selalu menghadapi berbagai tekanan dan pertanyaan setiap ada kasus di tanah air, sewaktu kami di Budapest. Sedikit banyak juga mengusik kehidupan pribadi kami".
"Itulah yang saya kagumi dari pak dhe. Bagaimana mambawakan citra Indonesia di dunia internasional, meski kita sendiri kadang juga tak bisa mengerti dengan gelompang politik Orde baru di tanah air".
" Bapak adalah mantan pejuang. Dia gampang menyesuaikan. Right or wrong is my country. Sedang kita mengalami pendidikan dan terpapar dengan dunia luar begitu luas. Banyak yang tidak bisa kita mengerti. Seolah negara ini menjadi milik para penguasa itu".
" Cepat atau lambat pasti aka nada perubahan ke perbaikan. Mungkin konstelasi politik saat ini yang terbaik buat negara ini. Tak tahu saya".
" Apakah anda sudah ada rencana berkeluarga Bram?"
" Rencana pasti belum ada. Tetapi ada teman wanita yang dekat sekali".
" Saya ragu untuk cepat berkeluarga karena pekerjaan saya. Saya hanya punya waktu yang sangat terbatas untuk kehidupan keluarga. Makanya saya sampai sekarang masih ingin sendiri".
" Karier dan pekerjaan adalan satu hal. Kehidupan pribadi tak mungkin dikorbankan. Berjalan imbang. Toh pakdhe dan bapak saya juga mampu mempunyai kehidupan yang seimbang".

Ingatan Bram melayang ke Rosa. Tak mungkin dia melupakannya meskipun dia sangat menekuni kariernya. Kehidupan karier dan pribadi harus berjalan imbang. Dua duanya harus jalan bersamaan. Tak ada yang perlu disisihkan dan dimenangkan. Perjalanan masih jauh. Malam nanti rencana akan bicara dengan pak dhenya secara rinci tentang rencananya ke Jakarta. Ke kantor Departemen Luar Negri. Sore penginnya berkunjung ke rumah Rosa.

***
Waktu menunjukkan lewat setengah lima ketika Bram sampai di rumah Rosa. Rosa telah menunggu dengan hati ceria. Dia memakai rok panjang warna ungu dengan selendang warna lila. Sore hari angin terasa dingin di Bandung. Selendang itu berfungsi untuk menahan hawa dingin sore hari. Tetapi Rosa nampak begitu anggun memakainya.
Ketika Bram mengetuk pintu depan, dia menghambur ke ruang depan.
"Selamat Bung Bram. Gimana pesta lulusnya meriah di Yogya?"
"Tak ada pesta, tak ada apa apa. Saya hanya sungkem ke bapak ibu. Itu saja".
"Yang penting Bung telah lulus. Patut disyukuri. Tak gampang lho. Nyatanya saya juga tak sempat lulus"
" Saya selalu bersykur Rosa. Juga bersyukur bisa berkenalan denganmu".
"Mari duduk Bung. Berapa hari di Bandung?"
"Hanya dua hari. Lusa mau terus ke Jakarta. Melamar pekerjaan ke Deplu"
" Mengapa begitu singkat. Kita belum sempat cerita panjang lebar. Tak ada kesempatan jalan ke luar".
"Maaf memang rencananya begitu tergesa. Akan memasukkan lamaran. Nanti keburu tutup. Sekalian minta surat rekomendasi pakdhe Dewanto".

Napas Rosa berdesah. Mungkin kecewa karena tak banyak waktu untuk cerita. Tak banyak waktu untuk mengenal Bram lebih dekat. Dia ingin mengenalnya lebih dekat. Tak ingin mengulang kesalahan menjatuhkan pilihan hanya karena rasa kagum semata.

" Berapa hari rencana di Jakarta Bung Bram?".
" Makin cepat makin baik. Mungkin tiga hari. Mungkin lebih. Tergantung selesainya pendaftaran".
" Jika begitu aku ikut saja ke Jakarta. Sekalian lihat langganan saya di Pasar Rumput".
" Ahh, tak apa apa pergi berdua? Sudah bilang papa sama mama?.
"Mas Bram saya sudah dewasa. Papa sama Mama tak mengontrol saya. Yang penting adalah menyerahkan pekerjaan saya ke Iwan, agar dia bisa ikut mengawasi selama saya tak ditempat".

Bram terhenyak sesaat. Tak bisa berkata ya atau tidak. Dia terkejut dengan keputusan mendadak Rosa untuk ikut ke Jakarta. Dalam hati dia marasa senang. Tetapi juga agak gundah karena berarti hubungan sudah selangkah ke arah serius. Bagaimana harus mengungkapkan ke bapak ibunya. Mereka bicara berdua di ruang depan sampai beberapa jam. Jam delapan malam Bram pamitan. Tetapi Rosa masih menahannya. "Makan malam disni sekalian ya mas Bram. Kita tak sempat makan bersama merayakan kelulusan anda". Bram hanya terperangah menerima tawaran itu. Tak terbiasa dia dengan tawaran seperti itu. Tiba tiba saja mama Rosa ikut keluar dan ikut menimpali. " Iya mas Bram. Tidak setiap hari kan ? Biar Rosa masak sebentar. Tak akan lebih setengah jam. Kami ikut senang mendengar anda sudah lulus. Selamat ya".

Mama Kusuma ikut membantu menyiapkan masakan di dapur bersama Rosa. Tak lewat setengah jam makanan sudah siap. Mereka berdua makan malam. Papa dan mama Kusuma sengaja tak ikut makan malam. Mungkin tak enak akan mengganggu percakapan Rosa dan Bram.

" Mas Bram kenalkan dong aku sama pakdhe Dewanto. Dengar ceritamu saya ingin melihat dan berkenalan dengan beliau. Pasti orangnya penuh percaya diri"
" Saya lihat dulu, apakah besok sore beliau di rumah ya. Biasanya sih banyak di rumah beliau. Acaranya hanya memelihara bunga di kebun sama membaca".
" Aneh jika ditanya mau ngomong apa tentang kita?"
"Ya ngomong apa adanya. Kita berteman. Teman dekat. Sangat dekat".
"Iya mas Bram, tak perlu berjanji terlalu muluk, jika kita belum bisa meyakinkan hati kita masing masing".
"Perjalanan masih panjang. Pacuan belum selesai. Hidup adalah berpacu. Berpacu dengan waktu dan kesempatan"
"Percaya mas Bram. Hanya orang yang mampu berpacu dan mengambil kesempatan di saat yang tepat akan berhasil ke garis finish".

Mereka semakin larut dalam percakapan yang dalam. Tentang masa depan. Tentang perjalanan hidup dan karier. .Begitu tenggelam dan asyik dengan bayangan masing masing . Sementara tangan mereka saling menggemgam. Rosa duduk bersandar di bahu Bram. Pikirannya melayang jauh ke depan. Semoga Tuhan memberikan jalan terbaik. Semoga kedekatan malam ini akan berlanjut selamanya. Ketika napas mereka mendesah dalam keheningan malam, bibir mereka bertaut dalam impian, Impian masa depan. Impian tentang kebahagiaan. Melayang di antara bintang bintang malam. Hati berdesir bersama perasaan melayang di antara impian.
"Mas Bram, apa makna semuanya ini?
" Rosa, kita mencoba membangun perjalanan bersama. Ke masa depan. Tak ada janji. Tak ada sumpah. Hanya keteguhan hati.".
"Semoga keteguhan hati kita akan membimbing ke masa depan mas Bram. Saya tak menuntut apa apa. Tak menagih apa apa.
"Lihatlah langit dan bintang2 itu Rosa. Semoga kita bisa mengarungi perjalanan ke depan. Bersamamu selamanya".

Jam setengah sepuluh malam Bram berpamitan. Terasa proses sejak perkenalannya dengan Rosa, berjalan begitu cepat. Tak tertahankan. Seolah perjalanan air menuruni bukit dan lembah. Hidup memang kadang seperti arus air. Tak bisa mengelak dan menahannya. Asalkan menuju tujuan yang diinginkan.

***