Thursday, April 23, 2009

(15) Pacuan belum selesai

Ada rasa jenuh menyesak kalbu. Bulan bulan terakhir seolah berpacu menyelesaikan tugas akhir. Berlari resana kemari sebelum pendadaran. Sekarang Bram ingin istirahat sejenak. Begitu jenuh membayangkan kembali kegiatan kuliah selama lima tahun terakhir. Lima tahun lebih dari cukup untuk menyelesaikan pendidikan sarjana. Di berbagai universitas di luar negeri, pendidikan sarjana biasanya diselesaikan dalam waktu empat tahun. Di kampus kampus di Indonesia, berkembang kepercayaan keliru. Kalau tak lulus paling tidak tujuh sampai sembilan tahun atau lebih, tidaklah afdol sebagai sarjana. Masih mentah istilahnya. Bahkan ada dosen yang pernah bilang, ulangi setiap tahun dua kali. Gila. Berarti kan lulus sarjana harus sepuluh tahun. Keburu tua sebelum mengamalkan ilmu yang didapat.

Bram tak percaya. Nilai lebih apa yang diperoleh dengan mengulang kuliah dan menunda kelulusan bertahun tahun ? Bahannya juga itu itu saja. Diktat kumal dengan referensi dari buku buku bahasa Belanda puluhan tahun lewat. Sering para dosen memitoskan diri seolah merekalah sumber ilmu satu satunya. Banyak dosen tak meningkatkan diri dengan pengetahuan terkini. Bram sejak awal berketetapan ingin menyelesaikan secepat mungkin kuliahnya. Masih bisa belajar terus setelah lulus nanti. Manusia harus mampu belajar dan meningkatkan pengetahuan sepanjang masa.

Menyelesaikan tugas akhir dan ujian telah menyita semua waktunya. Ingin istirahat sementara minggu minggu ini. Merasa bersalah tak pernah sempat menulis ke Rosa. Baru minggu kemarin setelah pendadaran, dia bisa tulis surat ke Rosa. Bukan surat cinta. Belum berani bilang cinta. Ada rasa bahagia yang dalam setiap mengingat Rosa. Tak ragu lagi kalau dia sudah jatuh cinta. Tetapi belum berani memutuskan. Sikapnya masih menunggu, mengikuti arus air yang mengalir. Apapun yang terjadi terjadilah. Perjalanan masih jauh. Masih banyak hal yang harus dipikirkan dan dilakukan. Pacuan belum selesai. Baru saja lulus sarjana. Sarjana sosial politik, hubungan internasional. Keren judulnya. Tetapi perjalanan karier masa depan masih kabur. Dia tak ingin klontang klantung melamar dari kanor ke kantor. Ingin bekerja di departemen luar negeri. Tokoh idolanya adalah pakdhe Dewanto. Mantan diplomat senior. Tak ingin jadi pamong praja seperti bapaknya. Sabtu siang Bram masih berkurung diri di kamar membaca koran ketika Reni menilponnya.

"Selamat mas Bram. Saya tahu dari ibu, mas Bram pendadaran minggu kemarin".
"Terima kasih Reni. Tak ada yang istimewa rasanya. Hanya lega setelah semuanya selesai. Jenuh sekali rasanya bulan bulan terakhir kemarin".
" Iya mas, tetapi anda lulus cepat benar. Lima tahun pas. Orang lain kan bisa sembilan tahun".
" Tak ada yang sulit. Hanya salah pandangan saja. Seolah semakin lama di kampus akan semakin matang".
" Banyak yang kerasan dan dapat titel paska sarjana MA*" ( *mahasiswa abadi).
" Gimana keadaanmu Reni? Baik baik kan?".
" Semuanya lancar. Baru saja tugas di Klaten. Minggu ini di Yogya. Dua minggu lagi ke Solo".
" Sokur kalau begitu. Moga moga lancar terus".
"Mas Bram apakah anda ada waktu? Saya pengin ikut merayakan pendadaran anda. Saya traktir jika anda ada waktu".
" Terima kasih sekali. Kau begitu perhatian. Petang ini atau besok boleh lah. Hari hari lain kau sibuk di rumah sakit".
" Sore ini samperin saya di rumah ya. Kira kira jam setengah lima. Daag".

Suara Reni terdengar merdu. Memang empuk suaranya. Dia telah terbiasa mendengarnya bertahun tahun, sejak kanak kanak. Persahabatan jangka panjang. Bram meneruskan baca koran. Dia bilang sama ibunya kalau akan di traktir Reni nanti sore. Ibunya hanya mengiyakan.

" Jangan ngendon di kamar saja kau Bram. Tak baik laki laki ngendon di kamar. Jadi pemalas. Kehilangan banyak kesempatan".
" Makanya pengin keluar sekalian ada yang nraktir Bu. Minggu depan akan ke Jakarta. Melamar pekerjaan. Mampir ke Bandung dulu. Minta surat pengantar pak dhe".
"Bapakmu juga menanyakan apa rencanamu sesudah lulus. Jangan terlalu lama berdiam diri".
" Saya juga ingin cepat dapat pijakan. Prioritas pertama mau melamar di Deplu. Juga melamar ke instansi yang lain tetapi nanti belakangan".
" Saya doakan moga moga terkabulkan impianmu. Tak ingin melamar di pemerintahan daerah ?"
" Nggak tahu Bu nanti belakangan lah. Saya pengin Deplu dulu".
"Bagaimana kabarnya Reni?. Sudah hampir lulus dokter?".
"Baik baik kelihatannya. Dia masih sibuk kepaniteraan klinik di luar kota. Ini baru giliran di Yogya. Masih setahun lagi katanya. Pacarnya keburu nunggu".
" Kau kenal pacarnya? Siapa namanya Bram?"
" Namanya Herman, Saya belum pernah ketemu. Tapi Reni janji mau dikenalkan ke saya".

Ibu Bram dan ibu Reni bersahabat sejak muda. Sering bergurau ingin besanan. Bram tak begitu memperhatikan pertanyaan ibunya. Dia selalu enggan jika ditanya tentang Reni. Tak ada hubungan apa apa. Persahabatan semata. Jam empat Bram pamitan sama ibunya. Bapaknya masih istirahat di kamar. Dia mengemudikan mobil dengan hati hati. Fiat 1100, mobil kesayangan bapaknya. Pelan pelan merayap dari Suryodiningratan ke utara, lewat alun alun selatan belok kanan. Rumah orang tua Reni dikelilingi tembok dengan gapura besar di depan. Reni telah menunggu di pendopo. Nampak cantik, luwes sekali dengan pakaian warna ungu. Ada pita di rambut yang hitam mengkilat. Nampak ceria sore itu.

" Maaf kalau kau lama menunggu Reni."
" Nggak mas. Memang pengin duduk di sini. Angin semilir jam jam segini".
" Sudah pamitan bapak sama ibu?"
" Sudah mas. Mereka mungkin masih istirahat di kamar. Kita langsung berangkat saja. Kecuali kalau mau omong omong dulu".
"Terima kasih. Terus berangkat. Ngobrol sambil jalan".
" Kemana mas Bram? Masih terlalu sore untuk makan malam. Saya pengin ke pantai".
" Boleh kita ke Samas atau ke Parangtritis ?".
" Enak ke Parangtritis. Ada bukit di sana bisa melihat laut dengan lepas"

Melewati plengkung Gading belok ke kiri, sampai pojok beteng membelok ke kanan. Menyusuri jalan ke arah Parangtritis. Suasana sore jalan sudah sepi. Hanya sering terlihat iringan sepeda atau andong ke arah luar kota. Kembali ke tempat masing masing sesudah mencari nafkah di kota. Kiri kanan jalan penuh pepohonan yang rindang. Melindungi para pemakai jalan dari terik matahari. Tiba tiba Reni bicara memecah kesunyian.

" Bagaimana kabar teman barumu di Bandung mas? Masih terus berhubungan kan?
" Mungkin baik baik. Hanya sempat ketemu sekali setelah perkenalan itu. Dia tulis surat sekali setelah itu. Baru sempat membalasnya minggu kemarin sesudah pendadaran".
" Katanya jatuh cinta kok nggak menggebu gebu. Seperti jaman Siti Nurbaya".
"Tak ada yang harus kukejar. Saya baru saja lulus. Dia juga sudah menjanda. Lebih baik saling menyelami dan saling mengenal dulu".
"Apa mas Bram tak merasa tergesa gesa?"
"Saya baru akan berpikir kawin jira sudah mapan. Paling tidak karier sudah jelas. Di jalan yang benar".
"Tetapi kan mas Bram cinta betul sama dia. Siapa namanya? Lupa saya".
"Namanya Rosa. Pipit Rosalina. Saya yakin mencintainya. Hanya belum berani memastikan sekarang. Hanya masalah waktu".
: Baru pertama kali bertemu langsung jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertamakah?".
” Dalam bis itu gelap gulita Reni. Gimana mau jatuh cinta pada pandangan pertama?".
" Kok mas Bram yakin betul kalau jatuh cinta sama Rosa".
" Secara instink, tanpa sengaja, kami melakukan perbuatan diluar batas. Saya begitu terpana melihat dia pasrah di pelukan saya. Menikmati belaian saya. Mencapai puncak kenikmatan dalam pelukan saya. Perasaan saya terbawa. Seolah kami berdua berjalan dalam kegelapan malam menyongsong esok pagi".
" Hiih kok bisa sampai sejauh itu. Kita bergaul rapat. Bergurau hangat. Kadang kadang berdua sendirian dalam kamar. Tak pernah sampai meremas jari jemari. Semua berjalan wajar. Normal normal saja".
" Kita bersahabat layaknya saudara dekat. Hubungan kita sangat platoonis. Tak pernah ada asmara dan nafsu birahi menggelora. Reni saya selalu menganggap kau layaknya adikku".
" Asmara memang aneh mas Bram. Saya tak tahu apakah saya mencintai mas Herman sepenuhnya. Hanya merasa dekat. Tetapi hubungan kami rasanya sangat formal".
" Perjalanan hidup memang penuh warna. Banyak hal tak terduga. Banyak pilihan. Kita harus mampu menetukan pilihan terbaik ke depan Reni".

Mereka sampai di pantai menjelang matahari terbenam. Langit memerah di cakrawala. Permukaan lautan yang luas dan tenang. Indah dan damai. Hening mereka tenggelam dalam alunan pikiran masing masing. Bram menggandeng tangan Reni dengan limpahan rasa sayang.

" Mas Bram, jira kita sudah terikat dengan pasangan masing masing apa bisa menikmati kedekatan seperti ini ya?".
" Kita akan tetap bersahabat. Bahkan bersaudara. Persaudaraan yang abadi. Tetapi kita mungkin sudah terikat dengan pasangan dan keluarga masing masing".
" Mungkin tak sempat memikirkan apa yang pernah kita lalui bersama ya?".
" Kita masing masing akan punya babak baru dalam hidup kita Reni. Kau tahu saya tak punya teman putri yang lain. Hanya kau sahabatku. Saudaraku".
"Terima kasih. Semoga anda selalu bahagia. Terkabul cita citamu mas. Mantapkan hatimu dengan orang yang kau cintai. Saya akan selalu berdoa untukmu. "
" Reni persahabatan kita akan berjalan sepanjang masa".

Bram mengakhiri percakapan dengan memeluk Reni. Berpelukan dalam keheningan masing masing. Persahabatan yang intens. Lewat jam enam Bram dan Reni masuk salah satu rumah makan di pantai. Angin malam bertiup sepoi. Mnghantar hawa sejuk dari laut. Sesejuk dan sedamai pasangan sahabat. Sahabat dalam arti yang sebenarnya.

Friday, April 17, 2009

(14) Surat dari Yogya

Enam bulan telah lewat sejak pertemuan terakhir dengan Bram. Paling tidak dua tiga bulan sekali, Rosa ke Yogya untuk mengurus pemasaran pakaian jadinya. Dengan Barm, dia belum menceritakan kisah masa lalunya bersama Dedi. Asmara yang menggebu yang akhirnya kandas dalam perkawinan yang gagal. Tetapi lega rasanya telah menyampaikan kondisi yang sebenarnya tentang dirinya. Tentang Tita. Bahwa dia seorang janda. Terhempas dalam perjalanan perkawinan. Tak ada beban lagi. Apapun yang terjadi akan dihadapi dengan tenang. Tak ada yang perlu ditutupi. Inilah saya. Inilah Rosa bersama Tita.

Kadang terbersit kegetiran, mengapa tak ada kabar dari Bram? Mungkin dia kecewa mengetahui dirinya seorang janda ? Tak tahulah. Mungkin juga sedang sibuk menyelesaikan ujian akhirnya. Secara tak sadar dia mengharap sesuatu. Menanti kabar dari Bram. Menunggu sepucuk suratnya. Ingin rasanya menulis sesuatu. Tetapi nalurinya mengingatkan untuk menahan diri. Biarlah, apa yang terjadi, terjadilah. Apapun yang akan datang akan diterima dengan sabar. Mencoba sabar setelah menyadari dia terburu buru dalam kisah asmara menggebu sebelumnya.

Kegagalan rumah tangga Rosa tak hanya berdampak terhadap kehidupan pribadinya. Juga ke keluarganya. Bapak Kusuma, ayahnya seolah tak lagi bersemangat mengembangkan usahanya. Pabrik tekstil yang dirintis bertahun tahun dan mulai berkembang, lebih banyak dikendalikan oleh isteri bersama anak lelakinya Iwan. Iwan sebenarnya masih kuliah. Tetapi dia juga kurangi kegiatan akademiknya dan lebih banyak terlibat dalam pengelolaan perusahaan. Membantu mamanya. Sementara Rosa semakin menekuni produksi pakaian anak. Membutuhkan perhatian khusus. Dalam sebulan paling tidak selama seminggu dia harus mengunjungi toko toko pelanggannya di berbagai kota. Tita sudah terbiasa ditinggal sang mama. Dia dekat dengan bibik Irah, dengan Oom Iwan dan dengan oma dan opa.

Suatu sore rosa dan mamanya duduk duduk di depan pavillion. Menikmati udara sore hari sambil minum teh.

" Rosa, Dedi tak pernah menanyakan kabar anaknya?'
" Tidak ma. Saya senang tak ada komunikasi. Status sudah jelas. Dia tak ingin diganggu dan memutuskan hubungan"
"Apakah kau tak bermaksud kontak dengan orang tua Dedi di Jakarta ?"
"Biarlah ma. Saya memang tak berminat sama sekali. Tak ada kata kata sewaktu saya melahirkan Tita. Tak ada berita sewaktu ayah Tita pergi ke Australia. Ini semua sudah menjadi garis perjalanan hidup saya bersama Tita"
" Hati hati selalu nak. Saya dan ayahmu masih sedih melihat semua ini. Lihatlah papamu jadi begitu pendiam sekarang".
"Papa sama mama tak perlu terlalu sedih memikirkan saya. Bukankah saya telah bangkit? Usaha saya sangat berkembang. Dan saya sangat bahagia. Semua untuk Tita".
"Teman baru mu dari Yogya, Bram, gimana kabarnya?"
Rosa terkejut mendengar pertanyaan itu. Tak menyangka mamanya menanyakan masalah itu. Dalam hatinya yang dalam, terbersit harapan bertemu kembali dengan Bram. Dalam suasana yang lebih tenang. Ingin bicara dan membuka semuanya. Semua tentang masa lalunya.
"Bung Bram sedang sibuk ma. Menyelesaikan ujian akhirnya. Saya juga menunggu berita darinya. Moga moga telah beres semuanya".
"Hati hati nak. Jangan terlalu menaruh harapan. Dunia tak selalu seperti yang kita harapkan".
"Papa sekarang kok diam sekali ya ma. Kasihan dia"
"Dia terpukul benar dengan kegagalanmu. Kamu anak kesayangannya. Kebanggaannya. Dia akan bahagia melihatmu bahagia. Jangan mengeluh ke papamu".
"Enggak ma. Saya telah menerima semuanya. Melupakan semuanya. Hanya melihat ke depan".

Percakapan sekilas dengan mamanya memberi kesadaran yang dalam buat Rosa. Dia tak ingin melihat apa dan mamanya terbebani karena dia. Dia mantap ingin menunjukkan kalau dirinya kuat. Menjalani perjalanan hidup yang berat ke depan. Esok hari sesudah percakapan itu, sepucuk surat datang dari Yogya. Dari Bram. Kabar yang ditunggu tunggu selama ini. Dia berdebar. Gembira menerima surat itu. Dia baca dengan tenang di malam hari setelah Tita tidur. Dengan tenang. Apapun isinya. Tulisan tangan yang indah tertuang dalam kertas warna jambon lembut. Hatinya berdesir membaca kata demi kata dalam surat itu.

Salam hangat buat Rosa,

Lama aku ingin menulis sesuatu buatmu. Namur maaf saya selalu ragu untuk mengirimnya. Ragu bagaimana mengungkapkan pikiran dan perasaan saya dalam surat. Inilah surat saya yang pertama. Moga moga kau membacanya dalam suasana yang tenang. Terima kasih sekali atas surat yang kau kirimkan beberapa bulan lalu. Saya masih baca berulang kali. Sambil membayangkan wajahmu yang indah.

Dari mana saya harus mulai surat ini ? Saya ingin sejak dari awal. Sejak kita berkenalan. Saya merasa begitu bahagia ketika berjumpa dan berkenalan denganmu. Dalam perjalanan malam ke Bandung. Banyak harapan dan impian datang dalam benak saya. Mengenai hubungan kita selanjutnya. Ingin berjalan bersamamu menatap masa depan. Melintasi kegelapan malam menatap esok hari yang indah. Seolah perjalanan malam itu menggambarkan kelanjutan persahabatan kita. Saya berharap dan berimaginasi. Impian dan harapan ini yang membawa saya melakukan sesuatu yang tak patut malam itu. Mohon maaf sekali lagi. Saya melakukannya bukan karena iseng. Saya lakukan itu dengan impian indah dan harapan perjalanan ke depan. Dengan penuh rasa hormat dan penghargaan buatmu.

Rosa,
Tak banyak waktu kita untuk saling mengenal lebih dalam. Juga tak banyak kesempatan untuk memikirkan masa depan persahabatan kita. Tetapi rasa kekaguman dan kedekatan saya tak terusik sedikitpun saat kau menceritakan tentang Tita. Tentang dirimu. Kekaguman saya tak akan lekang oleh panas. Tak akan lapuk oleh hujan. Abadi sepanjang masa. Hanya keraguan bagaimana melewati banyak pertanyaan dan ketidak mengertian. Dari keluarga. Dari kerabat dan sahabat. Saya akan mencobanya dan akan datang padamu.

Saya baru saja menyelesaikan pendidikan saya. Minggu kemarin baru saja pendadaran. Seolah mengharapkan kau menemani saat pendadaran itu. Walau kita hanya sahabat. Persahabatan yang moga moga berkembang abadi untuk hidup kita bersama. Saya akan segera mencari pekerjaan. Minggu minggu ke depan akan ke Jakarta. Saya akan sempatkan ke Bandung dan menemuimu. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Mungkin belum bisa kita putuskan. Tak perlu tergesa kan ? Tak ada yang mengejar. Kita bicara tentang perjalanan panjang. Perjalanan hidup menyusur waktu ke masa depan.

Salam hangat dari Yogya.

Bram

Thursday, April 9, 2009

(13) Selamat tinggal kesunyian

Dari hari ke hari, Rosa hanya menanti. Menanti kedatangan Dedi sebelum berangkat ke Australia. Ingin mendengar kata kata dan selamat tinggal. Dia ingin memeluknya dan membisikkan kata kata mesra perpisahan. Dia akan menunggu. Dia akan mendoakan keberhasilan Dedi demi kebahagiaan mereka bertiga. Namun sampai hari keberangkatannya. Dedi tak pernah muncul. Tak ada kata perpisahan. Tak juga lewat telepon. Rosa tetap menunggu dalam kesunyian yang dalam. .Namun dia terhibur karena Tita. Hanya bersama Tita dia menyelami hari hari yang sunyi. Kira kira sebulan kemudian, dia menerima kiriman warkat pos. Alamat pengirim tak jelas. Dari NewCastle, Australia. Ternyata dari Dedi. Isinya singkat dan jelas.

Rosa sayang,
Maaf jika saya tak sempat datang ke Bandung sebelum berangkat. Sampai detik detik terakhir sebelum keberangkatan, saya masih begitu sibuk menyelesaikan dokumen dokumen kontrak di kantor. Bahkan saya tak sempat pamitan dengan mama dan papa. Mereka sedang keluar kota. Hanya bicara lewat tilpon. Moga moga anda dan Tita selalu sehat sehat saja. Sampaikan maaf saya ke papa dan mamamu. Juga ke Iwan. Mohon maaf jika saya tak sempat pamitan ke mereka. Perpisahan ini hanya sementara. Walau mungkin akan lama. Paling tidak dua tahun. Saya akan mencoba pulang menengokmu setelah setahun menjalani program. Saya harap Rosa bisa mengerti situasi yang saya hadapi. Semua demi kebahagiaan kita bersama.
Sayang selalu untukmu dan untuk Tita,
Salam dari Newcastle,
Dedi.

Rosa membaca pesan itu dengan tenang. Ada kekecewaan yang dalam. Namur perasaan itu diredamnya dalam dalam. Dia tak lagi menangis dan merasa sedih. Rasa jengkel dan marah mulai marayap dalam hatinya. "Tega benar dia meninggalkan saya dan Tita tanpa kata perpisahan". Semua kekecewaan, jengkel dan marah diredam dalam hati. Dia hanya diam.

"Kok Dedi tak datang datang lagi Rosa? Baik baik kan semuanya?" Mamanya suatu sore bertanya.
" Iya ma mungkin saja sedang sibuk pekerjaan"
"Sibuk sih bisa saja. Tetapi masak nggak kasih kabar sedikitpun?"
Rosa tak bisa berucap apa apa. Hanya membisu. Matanya berkaca kaca. Tak bisa mengendalikan.
"Ada apa nak? Ada sesuatu yang nggak beres? Katakan apa adanya".
"Ma, kak Dedi ke Australia sudah sebulan ini. Mungkin lama karena ambil program paska di sana"
"Apa katamu? Dia ke Australia? Mengapa nggak pamitan sama mama dan papamu?. Dia bilang sama kau?"
"Iya ma, waktu ke sini bulan lalu, dia bilang singkat. Saya pikir dia masih akan datang ke sini untuk pamitan".
"Moga moga semuanya baik baik saja nak. Tetapi keterlaluan. Tak ada kata sepatahpun untuk papa dan mamamu"
"Dia mohon maaf ma untuk mama dan papa. Katanya tak sempat pamitan. Juga tak sempat pamit sama papa dan mamanya. Sangat sibuk sampai menjelang berangkat".
"Pekerjaan memang tak akan ada habisnya kalau dituruti. Tetapi tak harus melupakan keluarga, tak harus melupakan anak isteri".
'Saya baru terima suratnya dari NewCastle hari ini ma. Saya siap sendirian dalam waktu yang lama. Bersama Tita".
"Saya akan bilang sama papamu. Kau harus tegar dan tabah nak. Jangan gampang menyerah".

***

Bulan berganti bulan. Irama hidup sehari hari berjalan seperti sedia kala. Rosa masih sempat mengikuti kegiatan perkuliahan. Tidak teratur seperti dulu. Dia harus meluangkan waktu untuk Tita. Kadang kadang berita datang dari Dedi. Cuma singkat mengabarkan bahwa semuanya berjalan baik. Tak banyak menanyakan keadaan Tita. Kadang berbulan bulan tak ada berita. Rosa juga tak berminat mencari tahu atau menghubungi. Juga tak mencoba menghubungi papa dan mama Dedi di Jakarta. Bulan bulan pertama Rosa kadang kadang mencoba tilpon orang tua Dedi. Tetapi pembicaraan terasa kaku. Sama sekali tak akrab. Mungkin dia sendiri yang merasa tak bisa akrab. Tak tahulah.

Rosa menyadari kalau dia tak bisa sekedar mengharapkan hidup dari papa dan mama. Dia ingin mandiri, paling tidak mempunyai sesuatu sendiri. Meski sebenarnya papa dan mamanya tak mengharapkannya. Mereka tak kekurangan materi sedikitpun. Mama dan papanya punya pabrik tekstil yang sudah berjalan. Rosa akhirnya memutuskan memulai usaha sendiri. Usaha pakaian jadi. Membuat pakaian anak anak. Mungkin karena dia selalu memikirkan pakaian untuk Tita. Dia berpikir, kalau bisa memproduksi sendiri pakaian anak. Mulai usaha kecil kecilan. Dia mulai menggaji beberapa pegawai dan menggunakan ruang pavillion samping untuk tempat usaha. Papa dan mamanya sangat mendukung dan selalu memberikan pendapat bagaimana meningkatkan mutu dan memasarkan pakaian jadinya.

Hampir terlupakan kesunyian yang selama ini membayangi. Lewat setahun setelah kepergian Dedi, tiba tiba saja di satu siang sehabis makan siang dia menerima suratnya. Isinya singkat tetapi mengubah jalan hidupnya ke depan.

Rosa yang baik,
Semoga kau dan Tita selalu dalam keadaan baik di Bandung. Saya di NewCastle juga selalu dalam keadaan baik. Lama saya tak memberi kabar. Memang sangat sibuk menghadapi kuliah. Tetapi ada sesuatu yang membuatku lama tak menulis. Semakin lama saya semakin menyadari jika kita mungkin tak bisa berjalan bersama. Selama ini saya hanya mengejar cita cita masa depan saya sendiri. Tak banyak memperhatikanmu dan Tita. Saya merasa tak bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami dan seorang ayah. Biarlah saya pasrah menerima keadaan ini. Rosa, semoga kau bisa memperoleh kebahagiaan walau tanpa aku. Kerjarlah cita cita dan kebahagiaanmu. Mungkin suatu saat kita akan bertemu dalam keadaan yang leih baik.
Salam dari New Castle, Dedi.

Surat itu dibacanya dengan tenang.. Tak ada kesedihan karenanya. Tak ada dendam dan kemarahan. Dia semakin mantap untuk bekerja keras mengembangkan usahanya demi anaknya . Demi Tita. Dia sudah duduk di tahun ketiga fakultas ekonomi ketika harus memutuskan untuk meninggalkan bangku kuliah. Demi anak dan demi kelancaran usahanya. Tak bisa semuany dijangkau pada saat yang sama. Harus mengambil keputusan mana yang perlu diprioritaskan. Proses perpisahan dengan Dedi berjalan lancar walau makan waktu lama. Dia juga tak banyak menuntut. Dia merasa mampu sendiri melakukan segalanya demi masa depan Tita. Tak perlu mengharapkan uluran Dedi.

Semuanya menjadi cerita masa lalu Dia ingin melupakannya. Dia hanya ingin melihat ke depan. Apapun jadinya. Usaha pakaian jadinya dia kembangkan. Dia buka workshop untuk memproduksi pakaian jadi khusus pakaian anak. Dia beri merk produknya Titania. Semuanya demi Tita. Selamat tinggal kesunyian. Selamat tinggal kepedihan.

(12) Akhir sebuah impian

Beberapa bulan setelah melangsungkan pernikahan, Dedi lulus dan menyandang gelar sarjana ekonomi. Rosa sangat bangga dengan keberhasilan sang suami. Dia yakin benar, cita cita masa depannya menjadi wanita karier atau pengusaha sukses bisa tetap di kejar walaupun dia telah berkeluarga. Dia menaruh harapan bahwa Dedi akan mendorong dan memberikan bimbingan baginya berjalan ke depan. Suatu sore Dedi mengutarakan rencana mengejutkan. Dia akan kembali ke Jakarta. Bergabung dengan perusahaan papanya.

"Rosa, kesempatan untuk bergerak di Bandung sangat terbatas. Saya tak berani memulai dari nol di sini"
"Kak semuanya harus sabar. Tak ada yang turun dari langit. Kita mulai sedikit demi sedikit di sini. Kita berdua berusaha".
"Papa sama mama penginnya saya bergabung dengan perusahaan papa. Sedang investasi besar besaran untuk perluasan"
Papa Dedi punya banyak perusahaan. Bergerak di berbagai bidang. Import ekspor, distributor, supplier barang barang kebutuhan kantor beberapa departemen pemerintah.
"Jika begitu apa saya berhenti kuliah dan pindah Jakarta?".
" Lebih baik kau meneruskan kuliah di Bandung Rosa. Saya akan balik tiap dua minggu. Nanti kalau semua sudah mapan. Jika anak kita lahir pindah ke Jakarta".

***
Tak ada pertanda jelek pada awalnya. Dedi selalu menengok datang ke Bandung setiap dua minggu. Jum'at malam sampai Bandung, Senin pagi berangkat Jakarta. Kehidupan mereka normal normal saja. Biasa banyak pasangan penganten baru yang harus hidup terpisah beberapa saat. Menunggu sampai pekerjaan stabil. Rosa masih terus mengikuti perkuliahan meskipun perutnya semakin membesar. Hanya kegiatan diskusi dan kelompok belajar dia tak bisa ikut. Sore hari penginnya istirahat di rumah. Dia rajin membaca bahan kuliah.

Menjelang umur kehamilan ke tujuh, Dedi agak jarang datang ke Bandung. Alasannya sibuk, pekerjaan tak bisa ditinggalkan. Sering harus pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Rosa tak begitu merisaukan walau kadang sering merasa sepi. Dia hanya bicara dengan suaminya lewat tilpon, kalau tidak sedang bepergian. Rasanya pengin sekali dia ikut ke Jakarta. Tetapi Dedi selalu bilang, kalau di Jakarta suasana nggak enak. Lari ke sana kemari. Dia akan kesepian jika ikut ke Jakarta. Memang sejak pernikahan itu, Rosa belum sekalipun diajak ke Jakarta. Pengin dia bertemu dengan mertua, papa dan mama Dedi serta adik adiknya. Rosa hanya bisa mengiyakan meskipun dia sebenarnya pengin sekali ikut hijrah ke Jakarta. Dia pupus harapannya, inilah pengorbanan demi kebahagiaan bersama, demi masa depan dan demi anak yang dikandungnya. Semua pasangan baru pasti mengalami masa masa sulit untuk meniti perjalanan ke depan. Belum mapan. Semuanya masih berjuang untuk menata kehidupan berumah tangga.

Saat saat menjelang kelahiran bayinya, Rosa semakin rajin menilpun Dedi. Dua minggu sebelum hari perhitungan lahir, dia ingatkan agar siap siap menunggu kelahiran bayi mereka. Dedi memang mengiyakan akan datang ke Bandung waktu itu. Tetapi kemudian dia bilang bahwa ada jadual pekerjaan yang tak bisa ditinggal'

" Minggu depan saya harus ke Medan dan Pekan Baru. Ada kontrak yang harus dibicarakan tuntas sebelum ditanda tangani".
"Apakah tidak ada orang lain yang bisa mewakili perusahaan kak. Saya butuh kau bersama di sini?"
"Saya usahakan semaksimal mungkin Rosa. Hanya papa, mama atau saya yang bisa menuntaskan urusan ini. Papa ada janji dengan mitra investor Korea. Mereka juga akan datang dalam waktu bersamaan".
"Gimana saya mesti bilang sama mama dan papa jira kak Dedi nggak menunggu saya melahirkan? Rosa hampir terisak dalam tilpon. Dia tak bisa percaya kalau pekerjaan bisa demikian menyita kehidupan suazi isteri.
"Sampaikan maaf saya untuk papa dan mama. Saya akan datang secepat mungkin sesudah urusan selesai semuanya".

Tak semuanya dikatakan ke papa dan mamanya. Semua dipendam dan dirasakan sendiri. Hanya dia bilang sambil lalu kalau Dedi sedang sibuk luar biasa karena pekerjaannya. Agar papa dan mamanya tidak terkejut betul jika Dedi tak menunggu saat dia melahirkan nanti. Ketika waktu melahirkan datang, hanya adiknya Iwan yang ada di dekatnya. Rosa diantar Iwan ke rumah sakit bersalin. Mama dan papanya menyusul kemudian. Mereka baru membereskan urusan pabrik textil yang tengah mulai berproduksi di daerah Bandung selatan. Rosa minta Iwan menghubungi Dedi, namur tak pernah berhasil bicara langsung dengan dia. Iwan hanya meninggalkan pesan kalau kakaknya Rosa di rumah sakit akan melahirkan.

Hari Sabtu sore, Rosa akhirnya melahirkan dengan selamat. Semua lancar. Semua cerah secerah hawa Bandung sore hari. Seolah semua bahagia menyambut kedatangan bayi yang dikandung. Tetapi hati Rosa tetap gundah. Dedi tak juga muncul. Tak ada tilpun. Tak ada pesan. Iwan ikut merasakan kesenduan kakaknya. Tetapi dia hanya berdiam diri. Ketika kedua orang tuanya hadir di rumah sakit, Rosa tak mengungkapkan gejolak hatinya.

"Tak ada berita dari suamimu?" papanya bertanya.
"Mungkin masih di Medan pa. Tetapi Iwan sudah meninggalkan pesan lewat tilpon di rumahnya".
"Moga moga dia cepat menghubungimu'.
"Tak apa, tak ada yang perlu tergesa gesa. Moga moga saja kak Dedi cepat datang dan lihat anaknya".
"Tak semua ayah bisa menunggu kelahiran anak pertama. Banyak peristiwa terjadi bersamaan. Tetapi moga moga dia cepat datang Rosa".

Mama hanya berdiam diri. Dia memendam kekecewaan yang dalam. Tak suka dia memperlihatkannya. Hanya berdiam diri. Mencoba menghibur Rosa sebaik mungkin. Hari Senin pagi, Rosa kembali ke rumah bersama bayinya. Dia sudah siap dan merasa mantap menimang dan membesarkan bayinya sendirian. Jika memang harus demikian. apa boleh buat. Tak bisa berandai andai menunggu. Mungkin saja Dedi memang belum siap menerima kenyataan menjadi seorang ayah. Dengan persetujuan papa dan mamanya dia beri nama anaknya Titania Puspasari.

Hari Sabtu sore, Dedi akhirnya datang.. Naik suburban 4848. Wajahnya nampak lelah dan kuyu. Tak menyiratkan kegembiraan.
" Maaf saya tak bisa tilpon dari Pekan Baru Rosa. Hubungan telepon tak lancar. Saya terima pesan Iwan waktu tiba di Jakarta. Langsung ke sini".
"Semuanya lancar kak. Hanya papa sama mama yang menanyakan kak Dedi. Saya beri nama Tita. Titania Puspasari"
"Nama yang indah. Dia cantik seperti kau" Dedi memandang sekilas bayi di ranjang.
"Kak kapan saya bisa ikut pindah ke Jakarta?. Kan sesudah melahirkan, kita rencana pindah Jakarta".
"Tak usah tergesa Rosa. Biar Tita agak besar sedikit. Supaya nggak repot nanti"
"Kita akan tinggal bersama keluarga papa dan mama atau mau kontrak rumah sendiri nanti?'
"Mungkin tinggal bersama papa dan mama sementara".

Hanya semalam Dedi menunggu Rosa. Hari Minggu siang dia harus kembali ke Jakarta. Hari Senin ada acara rapat di kantor. Rosa mencoba menahannya untuk tinggal beberapa hari lagi. Tak bisa meninggalkan pekerjaan katanya. Tak ada orang yang bisa menggantikannya di kantor. Dedi lebih banyak merenung selama di bandung. Tak sempat ke luar kemana mana. Hanya diam di kamar bertiga dengan bayi Tita. Semalam sempat bicara sebentar dengan papa dan mama. Mereka menanyakan gimana rencana lebih lanjut. Dedi menjawab jika belum punya rencana pasti.

Pagi menjelang keberangkatan ke Jakarta Dedi ingin membicarakan sesuatu dengan Rosa.
"Rosa, ada sesuatu yang musti saya beritahukan padamu."
"Apakah menyangkut kita bertiga?"
"Ya sedikit banyak menyangkut kita sekeluarga. Masa depan kita bersama"
"Katakan jira saya bisa membantumu kak"
"Sebenarnya sudah rencana lama. Tetapi saya tak pernah mengungkapkannya padamu. Saya ingin menempuh program paska sarjana di Australia"
"Berarti harus pisah jauh beberapa tahun kak. Paling tidak kan dua atau tiga tahun. Ada kemungkinan kami ikut nanti?".
"Iya paling tidak dua tahun. Saya tak tahu nanti mungkin kamu bisa menyusul bersama Tita. Tetapi bukan saat saat awal ini".
"Kapan rencana berangkat ?"
" Kira kira dua minggu lagi. Surat panggilannya baru saya terima saat kembali dari Pekan Baru kemarin".

Rosa tak bisa menutupi rasa sedihnya. Dia hanya menangis lirih. Dia ingin hidup seperti kebanyakan keluarga baru. Hudp bersama dan menikmati kebahagiaan. Bukan masalah uang semata. Dia tak pernah merasa kekurangan. Tetapi ketersendirian tanpa kebersamaan dengan suami itulah yang menyiksanya. Dia peluk suaminya dan menangis lirio di dada Dedi. Kesunyian yang mencekam. Keduanya tenggelam dalam perasaan masing masing.

"Sebelum berangkat, usahakan ke sini dulu ya kak. Juga pamit sama papa dan mama".
"Saya belum mengatakannya ke papa dan mamamu. Mungkin besok saja kalau mau berangkat ya".

Siang itu dia mengantar Dedi sampai pintu halaman. Dia seolah merasakan kehilangan orang yang diicintainya. Untuk masa yang lama.
"Ah moga moga ada jalan. Mungkin juga ini jalan terbaik untuk kami bertiga".