Sunday, January 25, 2009

(7) Bandung membara



Kata kata Rosa begitu terngiang dalam kalbu. Bram senantiasa berpikir, kenapa tak ada waktu cukup untuk bicara denganya. Saat dia bertemu beberapa minggu lalu, banyak hal yang ingin dia utarakan. Semuanya tertahan. Semuanya seolah percakapan basa basi semata. Apa yang ada dalam hati, tak semuanya tersampaikan. Dia terpana membaca kalimat demi kalimat yang tersurat dari Rosa. Dia ingin mengungkapkan semua perasaannya. Tetapi untuk menulispun Bram tak mampu mengutarakan isi hati. Seolah terbelenggu. Lewat jam sepuluh malam. Tak tahu berapa lembar kertas telah dirobek, namun surat balasan itu tak kunjung selesai.

Tiba tiba ada ketukan di pintu. Pak Djo bergegas memberitahu. "Gus Bram ada tamu di depan. Namanya mas Parasto ". Bram agak terkejut. Dia kenal Parasto bukan sebagai teman akrab. Hanya sama sama pengurus dewan mahasiswa. Parasto datang boncengan dengan seorang teman yang Bram tidak tahu. "Silahkan masuk mas To" Bram menyilahkan dengan ramah. Tetapi roman muka kedua tamu itu nampak sangat tegang. Tangannya bergetar ketika bersalaman. "Nama saya Sinambela" teman baru itu memperkenalkan diri dengan lugas.
"Bung Bramantyo, tak banyak waktu untuk diskusi. Ada teleks dari Bandung, dari ITB. Seorang mahasiswa dibunuh taruna polisi. Kita harus bergerak. Siapkan teman teman" Parasto membuka pembicaraan.
"Kita tak bisa tinggal diam Bung. Harkat kemanusiaan kita diinjak injak. Seolah kita kita ini pengkhianat bangsa dan mereka berlagak menjadi pahlawan pembela bangsa. Kita harus bergerak". Suara Sinambela berat dan meyakinkan. Dia bicara tanpa eskpresi. Mampu benar orang ini menekan persaannya, pikir Bram.

Mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan serius. Sore tadi ada pertandingan sepak bola antara calon polisi dari Akademi Kepolisian lawan mahasiswa ITB di lapangan kampus. Suasana memanas ketika ternyata kesebelasan calon polisi itu kalah. Pendukung kesebelasan ITB begitu berbinar dalam kemenangan dan berkoar mengolok olok lawan. Para calon polisi itu rupanya kalah berkoar. Saat mereka pulang seorang mahasiswa yang sebenarnya nggak ikut apa apa ditembak di muka kampus. Tubuh mahasiswa malang itu diseret ke dalam truk. Mayatnya kemudian ditemukan dalam gudang di salah satu kantor polisi. Tak ada upaya untuk menolong dari pihak kepolisian. Dibiarkan meninggal pelan kehabisan darah.

"Besok pagi kita akan rapat di kampus. Jam delapan tepat. Silahkan undang wakil dari Sospol" Parasto mengakhiri pembicaraan sebelum pergi. Bram begitu geram mendengar berita itu. Mengapa kami di kampus selalu dimusuhi seolah pengkhianat. Apa yang mereka lakukan para calon polisi dan aparat itu? Pelanggaran hak azasi manusia. Tak bisa menyumbang apapun bagi nama baik republik ini dalam pergaulan antar bangsa. Nama Indonesia hanya semakin terpuruk dan tersisih saja di dunia global. Korupsi, pelanggaran hak azasi manusia, perusakan lingkungan. Hanya diplomasi yang bisa menahan gelombang erosi reputasi ini. Tugas berat bagi para diplomat yang harus mewakili Indonesia di dunia internasional.

Dalam rapat esok paginya di Pagelaran, mahasiswa semua fakultas terwakili. Bram mewakili korps mahasiswa Sospol bersama Parasto. Peristiwa naas kemarin semakin terkuak dalam rapat. Korban adalah mahasiswa ITB, Rene Louis Conrad. Dia sebenarnya tidak ikut dalam pertandingan sepak bola. Dia hanya mondar mandir naik sepeda motor Harley Davidson. Dia menjadi sasaran kemarahan rombongan calon polisi yang kalah dalam pertandingan dan kalah dalam hangar bingar olok olok. Mereka tak dilatih sama sekali untuk berdebat dan menahan diri. Rupanya lebih banyak terlatih menggunakan kekerasan.

Suasana rapat memanas ketika terjadi silang pendapat apakah mahasiswa harus turun ke jalan. Sinambela yang semalam datang ke rumah memberikan jalan tengah. Dia mengusulkan agar mencari fakta dari tangan pertama. Mengirim utusan ke Bandung. Dia bertanya siapa yang akan ditunjuk untuk pergi ke Bandung? Sinambela bicara dengan tenang dan gamblang. Tak terbakar emosi sama sekali walau pasti dalam hati dia marah luar biasa atas pembunuhan biadab itu. Bram terkesan dengan ketenangan teman baru ini.

"Bung, jika anda semua setuju, saya menawarkan diri untuk berangkat malam ini juga" Bram bereaksi. "Saya juga usul kalau kita kirim beberapa teman untuk bertemu Gubernur AkABRI di Magelang. Apa reaksinya dan upayanya mendinginkan situasi ini?". Semua peserta rapat menyetujui jika Bram, Parasto dan Sinambela akan menemui Gubernure AKABRI siang ini. Malam nanti terus ke Bandung. Semua fakta kejadian insiden ITB harus sudah terkumpul dalam dua hari ini.

Jam sepuluh mereka bertiga naik jeep Willys kepunyaan Parasto menuju Magelang. Tadi telah telpon kantor AKBRI minta agar bisa bertemu Gubernur hari ini juga. Sempat berselisih pendapat dengan Wakil Gubernur yang keberatan menerima hari itu. Sinambela dengan tenang berkata " Jendral, kami beritiket baik untuk bicara. Jika tidak diterima kami tak yakin akan mampu menahan teman teman turun ke jalan ". Mereka berangkat dengan pakaian seragam atribut lengkap mahasiswa Gadjah Mada.

Menjelang jam dua belas mereka bertiga telah sampai di kompleks AKABRI Magelang. Setelah melewati gardu penjaga, mereka dipersilahkan langsung menuju ke kantor Gubernur. Menunggu beberapa saat di ruang tamu. Tak lama kemudian mereka dipersilahkan masuk ke ruang rapat. Rupanya Gubernur tak akan menemui mereka sendirian, tetapi lengkap dengan para Wakil dan staf terasnya.

"Selamat datang adik adik sekalian. Selamat datang di ksatrian kami" kata Gubernur mencoba memecah ketegangan. Pikir Bram, ksatrian tempat menggodog para ksatria, tak layak pembunuh berdarah dingin memperoleh fasiltas pendidikan di tempat seperti ini. Ada beberapa staf teras Gubernur, ditambah beberapa wakil taruna senior. Tak sempat menghitung satu persatu. Pikir Bram, hanya menghadapi tiga orang wakil mahasiswa mengapa semua staf teras disiapkan
"Apakah anda sudah makan siang? Jika belum mari kita makan dulu" Gubernur bertanya ramah.
" Teman kami gugur karena pembunuhan Jendral, makan siang bukan tujuan kami datang ke sini", Parasto menjawab selaku ketua rombongan. "Kami ingin langsung ke pokok masalah".

Gubernur kemudian memperkenalkan stafnya satu persatu, termasuk tiga orang taruna senior. Ketika memperkenalkan para taruna itu, dia mengatakan bahwa salah satu dari taruna itu, adalah putra salah satu menteri kabinet pembangunan, tokoh ekonomi Indonesia. Tak tertarik anak siapa, yang penting kami ingin menanyakan kejelasan peristiwa pembunuhan itu. Pertemuan dengan Gubernur berlangsung tak bertele tele. Atas nama mahasiswa, Parasto menyatakan kemarahan atas terjadinya pembunuhan itu dan menuntut agar pelakunya ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Dia juga mempertanyakan kebijakan pendidikan di akademi militer. Sinambela, menimpal mengapa mahasiswa selalu dimusuhi penguasa seolah pengkhianat bangsa? Arogansi aparat dengan pendekatan heavy handed selama ini telah menjadikan budaya kekerasan sebagai alat penyelesaian. Gubernur menerima semua pernyataan mereka dan berjanji akan mencari jalan penyelesaian terbaik. Tak ada kebijakan dalam pendidikan taruna yang menempatkan mahasiswa sebagai musuh. Menjelang akhir pertemuan, Bram mengusulkan agar Gubernur membuat pernyataan sikap secara terbuka agar bisa menyejukkan suasana. "Kami akan ber-reaksi secara matang dan rasional, tetapi tak bisa menjamin bisa mengendalikan emosi teman teman kami".

Pertemuan selesai menjelang jam dua siang. Bertiga mereka bergegas pulang ke Yogya, malam itu harus berangkat ke Bandung. Jam empat Bram sampai ke rumah. Dia bilang sama ibunya kalau akan ke Bandung malam nanti. Ibunya mengingatkan "Bandung sedang gawat Bram, apa tidak bisa ditunda?"
"Ibu, bayangkan jika ibu menjadi ibunda rekan yang meninggal terbunuh itu. Kehilangan putra yang dicintai dengan cara tragis. Saya akan sampaikan duka sedalam dalamnya buat ibunda Rene"
. Ibunya menyadari jika dia tak bisa mengubah rencana Bram untuk berangkat ke Bandung. Dia hanya memeluk putranya dengan rasa sayang yang dalam. Sementara bapaknya hanya berpesan singkat " Hati hati nak. Suasana tak menentu" .

Malam itu mereka bertiga berangkat naik kereta. Rencana sudah matang, mereka akan minta penjelasan selengkap lengkapnya dari Dewan Mahasiswa ITB tentang peristiwa tragis itu. Juga menemui keluarga almarhum untuk menyatakan duka. Bram tak bisa memejamkan mata. Tak bisa dia membayangkan kesedihan ibunda Rene kehilangan putra tercintanya. Ibunya tadi dipamiti kalau mau ke Bandung saja, matanya berkaca kaca. Bram memang sangat mencintai dan dekat sekali dengan ibunya. Dengan bapaknya dia juga bisa dikatakan dekat dan sangat segan. Hanya tak sehangat hubungannya dengan ibu.

Tiba tiba pikirannya melayang ke peristiwa perkenalan dengan Rosa beberapa minggu lalu. Begitu indah. Begitu mengasyikkan. Dia ingin melewati waktu waktunya bersama Rosa nantinya, jika mungkin. Hatinya berdesir mengingat peristiwa pertemuan itu. Ah Rosa kapan, kita sempat bertemu lagi? Tak mungkin dalam kunjungan kali ini. Ada misi yang tak bisa di campur aduk. Misi mencari fakta peristiwa pembunuhan itu, sekaligus mengucapkan duka kepada keluarga almarhum. Esok masih ada hari, masih ada waktu untuk bertemu lagi dengan Rosa. Rasa rindu itu ditutupnya sendiri.