Sunday, November 30, 2008

(1) Namaku Rosa


Di penghujung tahun 1970. Bram dalam perjalanan dari Yogya ke Bandung. Naik bis malam Bandung Express. Nama lengkapnya Bramantyo. Raden Mas Bramantyo Kusumo. Suara bis terdengar mengerang melewati tanjakan bukit Plelen, sesudah lewat Weleri. Belum tua benar sebenarnya bis itu. Tetapi selalu saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Seolah keletihan. Seperti dirinya. Letih menatap karier yang tak juga nampak ujungnya. Sebentar lagi dia lulus. Jurusan Hubungan Internasional di kampus Pagelaran. Kampus Univeritas Gadjah Mada yang numpang di pendopo keraton Yogyakarta. Dia sudah selesai tahun ke empat. Belum punya arah mau ke mana. Kegiatan mahasiswa diluar kampus yang begitu hiruk pikuk tak juga memberi arah jelas baginya. Kadang2 merasa takut, mau kemana masa depannya.

Sudah lama dia tak mengunjungi pakdhenya di Bandung. Beliau sekeluarga tinggal di Bandung setelah pension. Pensiunan duta besar RI di Hongaria, pakde Dewanto. Ingin petuah dari pakdenya yang kaya pengalaman. Dia selalu takjub mendengar petuah petuah pakdenya sejak kecil. "Datanglah ke Budapest anak muda. Kamu bisa banyak belajar di sana". Ayah dan ibunya selalu berharap dia akan menjadi pejabat tinggi pemerintahan. Ayahnya adalah petinggi di kantor pemerintahan Kepatihan. Bram putra semata wayang. Ibunya begitu sayang dan lembut padanya. Seperti halnya wanita2 ningrat Jawa, anggun dan berwibawa. Bram sering membayangkan punya pasangan hidup yang sabar dan anggun seperti ibunya. Ibunya juga wanita ningrat, keluarga berdarah biru. Kakek moyangnya adalah salah satu tokoh dalam perang Diponegoro seabad yang silam.

Menjelang masuk Pekalongan bis berhenti di rumah makan. Penumpang sebelahnya, seorang wanita muda, menggeliat berdiri. Mungkin kecapaian duduk. "Enak bisa turun sebentar", katanya ramah. Terkesima Bram menerima sapaan mendadak itu. Sejak berangkat dari Yogya dia diam seribu bahasa. Tak ambil pusing siapa yang duduk di sebelahnya. Pikirannya melayang kemana mana. "Saya Bram. Bramantyo", Bram cepat memperkenalkan diri. "Namaku Rosa. Pipit Rosalina". Turun dari bis, mereka berdua duduk semeja menikmati makan malam. Bram pesan makanan kesukaannya, nasi rawon. Dulu tak banyak nasi rawon di Jawa Tengah. Ini masakan asli Jawa Timur atau Madura yang telah masuk kasanah makanan nasional.

Rosa teman bicara yang mengasyikkan. Suaranya segar dan merdu. Cerita banyak tentang dirinya. Tentang usahanya. Tak banyak tentang keluarganya. "Saya juga kuliah dulu. Fakultas Ekonomi sampai tahun kedua. Putus dua tahun lalu". Rosa tinggal di Bandung. Di daerah Sangkuriang. Dia pengusaha pakaian. Sering bolak balik ke Yogya karena usahanya. Selesai makan, bis berangkat kembali. Jam telah menunjukkan lewat jam sepuluh malam. Angin malam dingin mulai terasa menusuk. "Bagaimana saya harus memanggil? Tante Rosa? Kak Rosa" Bram agak kikuk memanggil nama Rosa secara langsung. "Panggil saya Rosa. Lebih enak dan akrab khan".

Mereka sempat meneruskan obrolan sepanjang perjalanan. Bram memang tak banyak bisa cerita. Pembawaannya pendiam dan serius. Dia tak bisa berbasa basi, walau konon jadi tokoh mahasiswa di kampusnya. Ah tokoh kan hanya selama perploncoan saja. Tokoh dari mana? Banyak orang kadang suka menokohkan diri sendiri. Kadang lingkunganlah yang memitoskan seseorang. Bram tak suka itu. Dia merasa bukan tokoh bukan apa. Persetan dengan segala mitos tokoh mahasiswa itu. Berhadapan dengan Rosa, dia merasa hangat, ingin cerita banyak. Tentang Yogya. Tentang universitas. Tentang keraton. Tak berani tentang impian impiannya. Rosa banyak bercerita tentang Bandung yang indah. Tentang anak anak Bandung yang suka dansa. Tentang bunga bunga. Seolah mereka sudah lama berteman. Baru dua jam berlalu semenjak berhenti makan di rumah makan tadi.

Kadang angin malam masuk lewat lubang di jendela. Rambut panjang Rosa melambai terterpa angin menyentuh muka Bram. Bau harum melati kadang menyapu ringan. Dia mulai berpikir. Rosa berpenampilan menarik, tingggi semampai, berkulit bersih. Giginya putih berseri, tersusun rapi diantara bibir yang seksi. Mulut indah itu selalu menyungging senyum ramah. Senyum yang menawan. "Bram. Gila kamu. Baru kenal dua jam lalu, pikiranmu jangan kemana mana ". Dia coba mengingatkan dirinya. Ini pikiran gila. Godaan setan. Wajah teman wanitanya, Reni di Yogya kadang datang sekilas. Belum pacaran, hanya kadang suka ngobrol semata. Reni juga cantik dan menarik.Dia calon dokter. Ibu Bram selalu memuji Reni luar biasa.

Tetapi Rosa ini lain rasanya. Ada semangat, ada kekuatan luar biasa dibalik rona cantik dan ramah itu. Dia tadi begitu berapi api cerita tentang usahanya. Tentang kesukaaannya. Tentang bunga bunganya. Dia sekarang tertidur tenang di sebelahnya. Tenang dan damai. Sementara bau melati kadang menyentuh ringan. Tak sadar kepala Rosa bersandar di pundak Bram. Aaah rasanya pengin Bram memeluknya, menjaganya agar tak terantuk. Biarpun bis berkelok ke sana kemari mengikuti jalan yang tak pernah lurus. Bram bertanya dalam hati mengapa para arsitek jalan raya selalu merancang jalan berkelok kelok. Mengapa tak dibuat lurus saja. Semuanya jadi gampang langsung ke tujuan?

Bis masih saja mengerang setiap mendaki tanjakan. Menjelang fajar bis memasuki dataran tinggi Bandung. Rosa terbangun. "Anda tak tidur?" tanyanya. "Saya tak biasa tidur dalam perjalanan". Bram memang tak bisa tidur setiap naik bis malam atau kereta. Pikirannya selalu melayang ke luar jendela, merayapi kegelapan malam. Dia selalu menikmati lamunannya. Tak sadar Rosa masih saja bersandar di pundak Bram. Dia sudah terjaga. Bram menawarkan permen lembut kesukaannya. Mereka kadang meneruskan omongan omongan ringan. Rosa menggeliat ringan ketika tangan Bram membetulkan posisi agar tubuhnya tak terjatuh. Tangan kanan Bram telah melingkari leher Rosa. Aman, tak perlu takut terantuk, walau bis oleng ke kiri atau ke kanan. Napas napas mereka terdengar teratur berirama diantara bau melati. Tak sadar jari jemari mereka telah saling menggenggam. Saling membelai dan meremas. Jari jemari mereka bermain lembut di antara desiran angin malam dan rintihan mesin itu. Tak ada yang bicara. Tak ada yang tertawa. Hanya kadang napas mendesah ringan. Dunia milik mereka berdua. Bis Bandung Express seolah menjadi tumpangan mereka mengarungi malam.

Lamunan lamunan Bram yang menerawang jauh di kegelapan malam, telah kembali ke bumi. Ke wanita cantik bernama Rosa yang bersandar disampingnya. Tangannya memeluk teguh seolah tak akan melepas Rosa darinya. Seolah ingin wanita ini aman dalam pelukannya. Sementara jari jemari mereka menari nari bersama irama napas yang kadang berdesah berkepanjangan. Saling meremas dan bergerak bersama ke daerah rahasia yang memberikan sensasi luar biasa. Jantung berdesir indah. Tak berdetak tanpa aturan. Hanya berdesir bersama lamunan. Jari jemari Bram terus menari menyusur daerah rahasia di paha Rosa yang indah itu. Paha yang begitu lembut dan halus seperti pualam. Kadang Rosa menggeliat dengan desah napas ringan. Sementara kayalan dan impian membubung tinggi bersama tarian jari jemari Bram. Rasa damai melayang bersama desiran jantung yang membawa rasa bahagia yang dalam. Ketika rasa itu semakin membubung, terasa kejang dan nikmat luar biasa. Kedamaian dan kebahagiaan yang dalam. Aaaaah, tarikan napas eskprirasi Rosa terdengar memanjang, dan dia mendarat ke bumi kembali. Ke pelukan Bram teman baru yang dikenal beberapa jam lalu. Rosa seolah menemukan kedamaian dan kebahagiaan disana.

Tangan Bram tetap saja melingkari tubuh Rosa. Seolah berkata " Anda dalam pelukan saya. Dalam lindungan saya. Istirahatlah sayang". Rosa tertidur kembali. Bram terlelap sebentar menjelang masuk Bandung. Bis telah sampai di pemberhentian. Mereka terbangun ketika suara penumpang mulai ramai. " Maafkan apa yang terjadi" kata Bram merasa bersalah. " Tak perlu maaf. Kita lakukan bersama sesadarnya". Bram mencoba menukas kembali "Kita lupakan semuanya ya. Maaf sekali lagi". Rosa tak menghiraukan. Dia memberikan kartu namanya. "Datanglah ke rumah sebelum pulang ke Yogya".

penumpang turun, diantar ke alamat masing masing. Adik Rosa telah menunggu dan menjemputnya pergi. Rosa menghilang dalam keheningan kabut pagi. Bramantyo tertegun seperti habis mimpi. Dia baca berkali kali kartu nama indah itu. "Pipit Rosalina" . Nama yang indah. Penuh gairah dan pesona. "Ah Rosa. Semoga kita akan bertemu kembali"